Pemberian ARV Multibulan Dorong Kepatuhan Konsumsi Obat
Kemudahan akses terapi antiretroviral secara multibulan bisa menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terapi antiretroviral pada orang dengan HIV menjadi kunci keberhasilan dalam memutus penularan HIV di masyarakat. Untuk itu, kemudahan akses pada pengobatan sangat penting untuk mendukung keberhasilan terapi tersebut. Salah satunya melalui pemberian obat ARV secara multibulan.
Anggota Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Zubairi Djoerban, di Jakarta, Kamis (30/11/2023), menuturkan, pada orang dengan HIV (ODHIV) yang jumlah virus (viral load) dalam tubuhnya tidak lagi terdeteksi disarankan untuk bisa berobat setidaknya sebulan sekali. Sementara pemeriksaan jumlah virus bisa diulang setahun sekali.
”Orang dengan HIV harus mendapatkan pengobatan seumur hidupnya. Jika harus sebulan sekali dalam hidupnya datang ke fasilitas kesehatan, tentu bisa menimbulkan rasa jenuh. Belum lagi masih ada stigma di masyarakat. Jika ODHIV ini hanya perlu datang tiga bulan sekali ke fasilitas kesehatan, diharapkan kepatuhan dalam pengobatan bisa lebih baik,” katanya.
Saat ini, pengambilan obat antiretroviral (ARV) bagi orang dengan HIV dilakukan setiap satu bulan sekali. Sejumlah wilayah sudah mulai menerapkan pemberian obat ARV secara multibulan (multimonth dispensing/MMD), tetapi itu belum menjadi program yang berkelanjutan.
Orang dengan HIV harus mendapatkan pengobatan seumur hidupnya. Jika harus sebulan sekali dalam hidupnya datang ke fasilitas kesehatan, tentu bisa menimbulkan rasa jenuh. Belum lagi masih ada stigma di masyarakat.
Zubairi menyampaikan, terapi ARV pada orang dengan HIV amat diperlukan untuk menekan jumlah virus HIV dalam tubuh. Umumnya, jumlah virus dalam tubuh akan berkurang secara signifikan setelah mengonsumsi ARV setelah 3-6 bulan. Ketika virus tidak lagi terdeteksi, risiko penularan pun akan sangat berkurang. Risiko pasien mengalami AIDS (acquired immune deficiency syndrome) bisa dicegah.
Akan tetapi, sekalipun virus tidak lagi terdeteksi dalam tubuh, pengobatan ARV harus tetap dilanjutkan seumur hidup. Dengan begitu, kondisi HIV pun bisa terkontrol. Selain melindungi orang dengan HIV dari perburukan, penularan pada orang lain juga bisa dicegah.
”Jika semua orang dengan HIV terdiagnosis dan minum obat, seharusnya tidak akan terjadi penularan lagi. Masalahnya, tidak semua terdiagnosis. Yang terdiagnosis pun tidak semua minum obat. Dan yang minum obat juga tidak semua viral load tersupresi karena kepatuhan minum obat yang rendah serta putus obat yang masih banyak,” ujar Zubairi.
Karena itu, ia mendorong agar pemerintah bisa memperluas layanan pemberian obat multibulan (MMD) di seluruh wilayah Indonesia. Kemudahan akses pengobatan akan berdampak tingkat kepatuhan orang dengan HIV dalam mengonsumsi obat. Sebaliknya, akses obat yang sulit justru membuat angka putus obat menjadi tinggi sehingga harapan untuk memutus rantai penularan sulit dicapai.
Data kumulatif yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan sejak 2004 sampai September 2023 menunjukkan, dari 285.381 orang dengan HIV yang pernah masuk dalam pengobatan ARV dan masih hidup, sebanyak 75.860 orang atau sekitar 26 persen di antaranya tidak mendapatkan tindak lanjut (loss to follow up) dan 233 orang berhenti mendapatkan obat ARV. Jumlah orang dengan HIV yang tercatat masih mendapatkan pengobatan ARV sebanyak 209.288 orang.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Imran Pambudi menyampaikan, pemberian obat ARV secara multibulan telah dijalankan sebagai program percontohan. Penerapan tersebut sudah dilakukan di DKI Jakarta, bahkan sudah ada yang mendapatkan akses obat untuk enam bulan sekali. Namun, terapi itu belum menjadi program yang berkelanjutan.
Ia mengatakan, pemerintah telah menyiapkan petunjuk teknis serta surat edaran untuk pemberian obat ARV multibulan bagi orang dengan HIV di seluruh Indonesia. Diharapkan, akses obat ARV secara multibulan bisa diperluas di wilayah lain.
”Namun, masih ada tantangan dalam penerapannya, seperti persiapan layanan dalam pemberian ARV multibulan, kesiapan dari sisi audit untuk memastikan ketersediaan obat, serta pemeriksaan viral load rutin pada ODHIV,” ujar Imran.
Tantangan
Imran menambahkan, secara umum tantangan lain yang dihadapi dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia ialah infrastruktur sistem kesehatan yang belum optimal dan merata di setiap daerah, regulasi lintas sektor yang belum mendukung percepatan pengendalian HIV, serta masih adanya stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV. Selain itu, pengetahuan masyarakat mengenai HIV/AIDS juga masih kurang sehingga penanganan di masyarakat juga menjadi terhambat.
Karena itu, dukungan dari berbagai pemangku kepentingan dibutuhkan untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut. Dukungan tersebut diperlukan dari pemerintah, akademisi dan praktisi, masyarakat, swasta, media, dan komunitas. ”Komunitas punya peran yang penting untuk mendukung penanggulangan HIV/AIDS. Kita harap pada 2030 target eliminasi HIV bisa tercapai di Indonesia,” ucapnya.