Pada Anak Muda Gayo, Didong Kami Titipkan
Dalam setiap perayaan, seperti pesta pernikahan dan syukuran, kesenian didong wajib ditampilkan. Didong menjadi pengikat sesama orang Gayo.
Dalam setiap perayaan, entah itu pernikahan atau sekadar syukuran, kesenian didong wajib ditampilkan. Didong bukan sekadar kesenian, melainkan juga alat perekat sosial orang-orang Gayo.
”Cerite ni kupi la sikite kaji, engi/sie ngebersemi sebelum merdeka, oh ama/gere kami lupen, sejarah ngepasti/kupi gayo ni e ngen mendunia/cerite terjadi ari masa agresi/eneh belangi dari Eropa…”
(Cerita kopi yang kita bahas adek/yang sudah bersemi dari sebelum merdeka, oh ayah/tidak kami lupa, sejarah sudah pasti/kopi gayo ini sudah mendunia/cerita terjadi dari masa agresi, bibitnya bagus datang dari Eropa..)
Itulah penggalan syair dalam didong yang ditampilkan di panggung Festival Panen Kopi Gayo di Desa Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah, Sabtu (25/11/2023) malam. Kopi menjadi garis merah dalam syair-syair didong yang tampil malam itu.
Didong merupakan kesenian tradisional yang memadukan tepuk tangan, tepuk bantal, dan gerak tubuh yang diiringi syair-syair. Pada 2014, kesenian rakyat Aceh perpaduan antara tari, vokal, dan sastra ini telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda (WBTB) Indonesia untuk kategori tradisi dan ekspresi lisan.
Malam itu, ratusan penonton memadati lapangan voli Desa Paya Tumpi Baru untuk menyaksikan penampilan festival didong antarkampung. Memang begitu adanya, setiap penampilan didong selalu ramai penonton.
Di atas panggung terbuat dari papan yang dilapisi terpal biru, Adha Penara (22) bersama 14 pemain didong duduk bersila. Ini adalah kelompok didong Kuala Laut, semua pemainnya berusia di bawah 23 tahun.
Adha berperan sebagai penepuk tangan. Ada juga penari lain yang bertugas menepuk bantal kecil dan memetik jari. Beberapa klub didong menambahkan instrumen lain, seperti seruling.
Dua orang ceh sebagai vokalis atau pelantun syair duduk di tengah. Balutan busana berhiaskan kerawang gayo, ornamen khas, membuat penampilan mereka kian apik.
Tepuk tangan para pemain didong sangat khas. Posisi telapak tangan saat menepuk dikepal atau telungkup sehingga melahirkan bunyi yang bervariasi. Paduan bunyi petikan jari, tepuk tangan, dan tepuk bantal melahirkan harmoni yang unik.
Mula-mula tempo tepuk tangan berjalan pelan dan ceh melantunkan syair pembuka berisi salam dan pujian. Semakin lama tepuk tangan kian cepat dan tiba-tiba berhenti, seperti rem mendadak. Penonton pun terenyak, lalu disambut tepuk tangan dan siulan penyemangat.
Malam terus merambat, tetapi penonton belum beranjak dari tempat duduknya. Meski cuaca dingin 15 derajat celsius, suasana di panggung kian memanas. Pertunjukan baru usai menjelang pukul 24.00 dini hari.
Baca juga : Festival Budaya Buka Peluang Ekonomi Petani Kopi Gayo
Adha turun dari panggung dengan perasaan bahagia. Dia merasa telah menampilkan didong yang terbaik dan yakin berpeluang untuk juara. Namun, keputusan ada pada dewan juri, para seniman didong senior.
Keesokan malam, panitia mengumumkan Klub didong Kuala Laut lolos sebagai juara 2 dalam festival yang didukung Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tersebut. Adha dan teman-temanya puas. ”Alhamdulillah, kami juara. Ini perdana kami dapat juara. Padahal, kami telah lama tidak pentas,” ucapnya bangga.
Meski lama tidak naik panggung, mereka tetap latihan rutin, minimal dua kali dalam sebulan. Adha telah bermain didong sejak sekolah dasar. Bahkan, sejak masih kanak-kanak, dia sering dibawa orangtuanya menonton didong. Nyaris semua desa di daerahnya memiliki kelompok didong.
Baca juga: Didong, Indahnya Perang Syair
”Saya suka main didong sejak kecil. Memang ini diajarkan oleh orangtua. Istilahnya diwariskan secara turun-temurun,” kata Adha.
Didong adalah salah satu kesenian tradisional yang paling diminati anak muda Gayo. Kesenian ini menarik karena harus dimainkan secara bersama-sama atau berkelompok antara 10 hingga 30 orang. Ada rasa malu pada teman sepantaran jika tidak bisa bermain didong. Didong benar-benar tumbuh bersama dari generasi ke generasi.
Tokoh seniman didong, Hamka Kum, merasa bangga melihat anak-anak muda Gayo yang masih mencintai budayanya. Apa yang dia saksikan di panggung festival membuatnya optimistis didong akan tetap lestari.
”Saya dulu juga belajar didong saat masih anak-anak,” ujarnya.
Hamka adalah seorang ceh didong. Keahliannya menyusun syair sudah diakui seantero Gayo. Hamka dapat membuat syair secara spontan dengan rima yang pas dan bermakna peyorasi.
Selain didong festival, ada juga didong jaluatau tanding. Namun, ada yang menyebutkan didong jalu merupakan cara kolonial Belanda untuk mengadu atau mempertentangkan sesama orang Gayo. Syair dalam didong jalu kerap digunakan untuk membuka aib atau mengolok-olok lawan.
Syair salah satu kekuatan dalam didong. Cerita dalam syair harus menarik dan rima harus sesuai. Sementara tepuk tangan menjadi penuntun irama syair. Untuk memadukan itu semua, perlu kelihaian yang tinggi.
Pada festival panen kopi, semua klub didong diwajibkan membawakan syair tentang kopi. Dari satu kata ”kopi” telah lahir ratusan atau bahkan ribuan syair. Kopi memang menjadi sumber kehidupan orang Gayo, termasuk dalam berkesenian.
Tanaman kopi, terutama jenis arabika, pertama kali diperkenalkan dan ditanam di kawasan dataran tinggi Gayo di Takengon, Aceh Tengah. Mengutip buku Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo (2012) terbitan Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh, Belanda resmi membuka perkebunan kopi arabika pada tahun 1930.
Baca juga: Berburu Paus Bukan Cuma Urusan Perut
M Junus Melalatoa dalam buku Didong Kesenian Tradisional Gayo (1982) menyebutkan, kesenian didong sama tuanya dengan orang Gayo itu sendiri. Penggunaan alat musik dari anggota tubuh menunjukkan kesenian ini telah ada sebelum era peralatan musik lahir.
Dalam buku itu disebutkan didong mendekati pengertian kata ”dendang” dalam bahasa Indonesia. Arti ”dendang” adalah nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian.
Didong dalam sejarahnya lahir dalam kisah kerajaan Islam pertama di Aceh, Linge. Saat itu, anak Raja Linge XIII, Sengeda, membangunkan gajah putih, jelmaan adiknya dari pembaringan dan bertolak menuju Kerajaan Aceh di Banda Aceh.
Pengikut Sengeda mengikuti perjalanan gajah putih itu sambil mengucapkan kata ”enti dong, enti dong, enti dong”. Artinya, jangan berhenti, jalan terus.
Budayawan Gayo, Salman Yoga, mengatakan, sejarah masih bisa diperdebatkan, tetapi kesenian didong akan tetap kekal dalam kehidupan orang Gayo.
”Di Gayo, setiap ada perayaan, seperti pesta pernikahan atau syukuran, didong kesenian yang wajib tampilkan. Didong menjadi pengikat sesama orang Gayo,” kata Salman.
Saat Aceh diamuk konflik bersenjata, panggung didong skala besar memang sempat pasang surut. Tetapi, di panggung-panggung kecil, didong terus tampil. Didong tetap lestari atas dasar kecintaan orang Gayo pada seni tradisi tersebut.
Didong terus tumbuh sesuai dengan zamannya. Dulu, didong sering dijadikan media dakwah dan nasihat kehidupan hingga kritik sosial. Kini, didong bahkan digunakan untuk kampanye calon anggota legislatif. Isi syair didong sangat dinamis sehingga dapat disesuaikan dengan kondisi saat itu.
Kepala Pokja Ketahanan Budaya Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbudristek Syukur Asih Suprojo menambahkan, kekuatan kebudayaan ada di desa, dan selama ini warga desa telah melestarikan kebudayaan tersebut, salah satunya didong. Melalui program pemajuan kebudayaan, pemerintah mendorong warga agar dapat memanfaatkan semua potensi kebudayaan untuk kemajuan desa, baik dari sisi ekonomi maupun pelestarian budaya.
”Dataran tinggi Gayo memiliki kekayaan budaya yang beragam dan jika dikelola dengan tepat akan menghasilkan nilai tambah yang besar bagi daerah dan masyarakat sebagai pelaku kebudayaan,” paparnya.
Zaman terus berkembang, tetapi didong tetap bertahan. Pada diri anak muda Gayo, kini didong dititipkan.
Baca juga: Perang Syair di Panggung Didong