Menuju Pengelolaan Sampah yang Lebih Baik
Kesadaran publik mengelola sampah cenderung minim. Pemanfaatan kembali sampah hanya dilakukan 19,3 persen responden.
Sampah masih menjadi masalah laten di Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa, Indonesia termasuk negara dengan produksi sampah terbesar di dunia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat penduduk Indonesia memproduksi 69,2 juta ton timbulan sampah nasional tahun 2022.
Jutaan ton sampah yang dihasilkan tiap tahun tanpa pengelolaan yang baik turut mendegradasi lingkungan hidup. Sampah menyebabkan banyak kasus penyakit, penurunan kualitas tanah dan air karena pencemaran, hingga kerugian ekonomi yang tak sedikit.
Dari berbagai jenis sampah, salah satu yang terbesar dan sangat sulit terurai adalah sampah plastik. Sebanyak 18 persen dari 69,2 juta ton timbulan sampah tahun 2022 merupakan sampah plastik.
Meski jumlahnya cukup besar, publik menilai pengelolaan sampah plastik sejak level rumah tangga (domestik) hingga tingkat industri masih minim. Penilaian tersebut terekam dalam jajak pendapat Kompas pada November 2022. Belum maksimalnya pengelolaan sampah plastik ini tidak terlepas dari masifnya penggunaan plastik pada berbagai produk konsumen, kebijakan pemerintah yang belum optimal, dukungan infrastruktur pengelolaan sampah yang belum memadai, dan perilaku masyarakat yang belum sepenuhnya berpartisipasi dalam pengurangan dan pengelolaan sampah.
Dari sisi produsen, masih banyak produk makanan, minuman, kesehatan, kecantikan, dan lainnya berkemasan plastik. Akumulasi sampah plastik mendorong makin rentannya lingkungan tempat hidup terhadap pencemaran dan penurunan kualitas.
Adapun dari aspek kebijakan, pengelolaan sampah dinilai publik masih minim. Termasuk pada tahap sosialisasi program 3R (reduce, reuse, recycle). Sebagian besar responden (82,3 persen) menyatakan, mereka belum tahu atau bahkan tidak pernah mendengar tentang program pengurangan dan pengelolaan sampah di sekitar tempat tinggalnya.
Baca juga; Sampah di Enam Kota Didominasi Kemasan Plastik Kecil
Kebijakan pengelolaan sampah yang belum berjalan maksimal ini semakin mendapat tantangan dengan minimnya infrastruktur pengelolaan sampah, seperti bank sampah dan rumah kompos. Setidaknya 41,8 persen responden mengungkapkan, tidak ada bank sampah di lingkungan tempat tinggalnya.
Hal tersebut senada dengan ketersediaan rumah kompos yang sangat terbatas. Sedikitnya enam dari sepuluh orang menyatakan tidak ada rumah kompos di sekitar tempat tinggal mereka. Kondisi ini bertolak belakang dengan target pemerintah dalam pengurangan sampah nasional.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 menetapkan target pengelolaan sampah domestik hingga 100 persen pada tahun 2025. Khusus sampah plastik, target yang ditetapkan adalah penurunan timbulan sampah hingga 30 persen pada 2030. Sementara tanggung jawab pengurangan sampah plastik diberikan kepada produsen.
Peran masyarakat
Fenomena tersebut menggambarkan Indonesia masih memiliki segudang pekerjaan rumah pengelolaan sampah. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional KLHK, dua komposisi terbesar timbulan sampah adalah sisa makanan dan plastik. Sumber terbesarnya berasal dari rumah tangga, pasar, dan perniagaan.
Jutaan ton sampah perlu mendapatkan penanganan serius dengan pelibatan banyak pihak, salah satunya ialah masyarakat. Proses sosialisasi belum maksimal sehingga praktik pengolahan sampah belum menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Contoh, dalam praktik sehari-hari, hanya sekitar 21,7 persen responden yang selalu membawa tas belanja saat ke pasar atau swalayan.
Baca juga; Beragam Langkah Perubahan dalam Pengelolaan Sampah
Minat masyarakat membawa alat makan untuk mengurangi sendok atau garpu plastik juga rendah, hanya 12 persen yang selalu membawa alat makan. Demikian pula praktik membeli kebutuhan secara isi ulang yang hanya dilakukan oleh 7,3 persen responden. Di sini letak urgensi peningkatan literasi publik melalui pendidikan agar minimal mampu mengurangi sampah dan berlanjut pada memilah sampah.
Survei yang dilakukan Litbang Kompas juga mendalami aksi publik terkait program 3R atau mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), dan mendaur ulang (recycle).
Aktivitas pemanfaatan kembali sampah, seperti mengumpulkan kemasan plastik untuk wadah atau menggunakan kemasan besar, hanya dilakukan oleh 19,3 persen responden. Sebanyak 29,6 persen mengaku jarang menggunakan kembali sampah dan 51,1 persen tidak pernah berpartisipasi dalam penggunaan kembali sampah.
Hal serupa ditunjukkan juga dari rendahnya partisipasi publik dalam mendaur ulang sampah. Setidaknya 67,1 persen responden tidak pernah mendaur ulang sampah, mulai dari sisa makanan untuk kompos, menyalurkan jelantah minyak untuk biodiesel, membuat kerajinan tangan dari kemasan produk, hingga sesederhana memisahkan sampah organik dan anorganik.
Peran publik dalam pengelolaan sampah terbilang sangat rendah. Hal itu tentu tidak lepas dari keaktifan pemerintah pusat dan daerah dalam sosialisasi dan implementasi program di level tapak.
Di tengah rendahnya partisipasi publik, ada secercah harapan untuk memperbaiki pengelolaan sampah. Ada sedikitnya 70,9 persen responden yang bersedia melibatkan diri dalam program 3R, serta 58,3 persen bersedia menyarankan orang lain untuk ikut program pengelolaan sampah.
Pelibatan masyarakat kian penting mengingat mereka adalah salah satu pelaku aktif penyumbang sampah. Namun, kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah tidak akan muncul begitu saja di benak mereka. Dibutuhkan pelibatan semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, komunitas, hingga perusahaan swasta.
Kebijakan dan infrastruktur
Pengelolaan sampah yang lebih baik membutuhkan kemauan politik yang tinggi oleh pemerintah daerah dan pusat. Kemauan politik penting dalam menentukan keberhasilan program pengelolaan sampah plastik.
Jika tidak diambil kebijakan dan upaya-upaya yang luar biasa, persoalan sampah akan sulit diselesaikan dan hanya akan menumpuk makin banyak di tahun-tahun berikutnya.
Saat ini pengelolaan sampah masih sangat minim. Kebijakan yang diambil pemerintah belum memperoleh hasil maksimal. Masih banyak masyarakat dan produsen sampah plastik yang abai dengan agenda besar pemerintah mengurangi sampah plastik.
Kemauan politik yang kuat akan berimplikasi pada penyelenggaraan program pengelolaan sampah yang berjalan dengan maksimal, baik secara target pengurangan sampah maupun dukungan dana dari pemerintah. Penyediaan infrastruktur untuk pengelolaan sampah juga dapat tersedia dengan tepat, seperti tempat pembuangan sementara (TPS) dan tempat pemrosesan akhir (TPA).
Saat ini banyak daerah mengalami masalah pelik karena banyak TPS dan TPA yang penuh dan tidak beroperasi dengan maksimal. Penumpukan sampah di sudut-sudut desa dan kota terjadi, seperti di Bandung dan Yogyakarta. Penyediaan infrastruktur yang memadai memang menjadi salah satu masalah paling krusial pemerintah dalam upaya pengelolaan sampah.
Berbagai temuan problem menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menangani dan mengelola sampah. Pengelolaan ini memerlukan dukungan peningkatan sarana pengelolaan sampah, penambahan mobil atau gerobak sampah, serta penambahan petugas kebersihan. Dari sisi hulu, produsen juga diharapkan mendukung dengan mengurangi kemasan sampah plastik kecil.
Terakhir, menuntaskan masalah sampah membutuhkan kerja kolaboratif yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan produsen. Segenap elemen bangsa harus bergerak bersama menuju pengelolaan sampah yang lebih baik guna mencapai visi net zero waste management yang berkelanjutan. (LITBANG KOMPAS)