Berburu Paus Bukan Cuma Urusan Perut
Nelayan Lamalera tangguh menantang ombak berburu paus di lautan. Tradisi ini cara hidup yang mengkristal dalam budaya.
Bagi orang Lamalera, tradisi berburu paus, lumba-lumba, dan pari manta bukan urusan sejengkal perut semata. Tradisi ratusan tahun di selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, itu menjadi landasan hidup yang mewujud dalam beragam ekspresi budaya.
Senyap menyergap Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Senin malam (20/11/2023). Debur ombak sayup terdengar. Asap mengepul dari dapur rumah-rumah warga yang sedang menyiapkan santap malam.
Alunan syair lie yang dinyanyikan Kristoforus Plea Hariona (66) memecah keheningan kampung nelayan itu. Sang lamafa atau juru tikam paus tersebut melantunkan syair berbahasa Lamalera dalam festival budaya ”Tani Tenane Fule Penete”.
Lie merupakan nyanyian selama proses melaut yang dipercaya bisa mendatangkan pertolongan. Syairnya beragam, sesuai dengan situasi di laut. Beberapa di antaranya ditujukan untuk meminta angin saat berlayar dan kemudahan mendapatkan ikan dan binatang buruan di laut lainnya.
”Sayangnya, banyak generasi muda mulai lupa. Padahal, ini budaya dari nenek moyang yang harus terus dilestarikan,” ujarnya.
Bersama tutu koda, lie adalah tradisi lisan yang menyimpan pengetahuan lokal suku Lamalera. Tutu koda merupakan penuturan sejarah suku, ritual, dan pengalaman seseorang kepada generasi muda dalam bentuk dialog.
Malam itu, Kristoforus membawakan lie tentang kesulitan nelayan mencari pari manta. Konteksnya, pari manta tak kunjung didapat meski peledang(perahu) sudah berlayar seharian.
Baca juga: Desa Garda Terdepan Pemajuan Kebudayaan
”Kami minta kemudahan kepada leluhur agar tempuling menancap dengan kuat sehingga tidak lepas. Dengan begitu, kami dapat hasil tangkapan untuk memberi makan istri dan anak di darat,” katanya.
Orang Lamalera memburu paus, lumba-lumba, dan pari manta tidak sekadar untuk kebutuhan keluarganya. Setelah hewan-hewan besar itu ditangkap, dagingnya dibagi kepada warga setempat, termasuk fakir miskin, janda, dan orang sakit.
Kristoforus mempunyai segudang pengalaman selama lebih dari 40 tahun menjadi lamafa. Bahkan, beberapa di antaranya nyaris merenggut nyawanya.
Saat menceritakan tutu koda, ia mengisahkan pengalamannya pada 1999 ketika diseret pari manta hingga kedalaman lebih dari 20 meter. Kala itu, tangan kanannya terlilit tali yang diikatkan ke tempuling.
Tangan kanannya tak bisa bergerak karena pari manta terus menariknya menjauhi permukaan laut. Ia kesulitan bernapas. Sementara nelayan lain di atas peledang sudah kehilangan jejaknya.
Kristoforus nyaris menyerah. ”Saya semakin jauh tenggelam. Dalam hati saya mengatakan, oh Tuhan, tolong saya. Anak saya paling kecil baru berusia 10 bulan. Kalau saya tidak ada, bagaimana nasib keluarga,” ujarnya.
Permintaan itu terkabul. Jerat tali di tangan kanannya terlepas. Ia kemudian berenang ke permukaan dan naik ke peledang. Pari manta yang sebelumnya berontak pun berhasil ditangkap.
Malam itu, ketangguhan Kristoforus sebagai lamafa luruh saat menyaksikan cucunya, Lukas (12), melempar tempuling yang menghunjam batang pisang. Matanya berkaca-kaca. Air matanya nyaris tumpah.
Bersama teman-temannya di Sekolah Dasar Katolik Lamalera, Lukas memperagakan tradisi berburu paus saat menampilkan tarian Olla Morip. Batang pisang diibaratkan sebagai paus yang diburu di lautan.
Para siswa meneriakkan baleo, baleo, baleo, pertanda melihat mamalia paus atau ikan besar lainnya. Mereka pun menyerukan kata hilibe berulang-ulang yang sering dilakukan nelayan untuk memompa semangat saat mendayung peledang berburu paus.
”Saya yang cari bambu untuk tempulingnya tadi sore. Lukas bilang kalau sudah besar ingin jadi lamafa. Anak-anak itu adalah pewaris budaya Lamalera,” ucapnya.
Ritual
Tutu koda tidak hanya tradisi bagi masyarakat nelayan. Petani di Lamalera yang tinggal di pegunungan juga mewarisi budaya ini. Mereka bermukim di Dusun 4 Lamamanu, Desa Lamalera A, yang terletak di kaki Gunung Ile Labalekang.
Gambar peledang, paus, dan pari manta menjadi motif umum dalam produk tenun Lamalera.
Dalam festival budaya itu, warga Lamamanu membawakan tutu koda meminta hujan untuk memulai musim tanam. Sebab, kemarau masih melanda meski sudah di pengujung tahun.
Mulut Thomas Gokok (61), pemuka adat di dusun itu, komat-kamit mengucapkan mantra. ”Igo, Bol, Beda, salan pelasar. Begem ujuk apu si. Kawa mula penolanga. Oleng upasa mamula utaja makejavaja,” begitu penggalan mantra yang dibacakan. Artinya, ’Salam kepada Igo, Bol, Beda (penunggu tempat keramat). Beri embun sedikit. Kami sebentar lagi memulai musim tanam. Kebun akan segera ditanam kacang-kacangan.’
Mantra itu biasanya diucapkan di tiga tempat yang disebut Bol Levu, Vai Mapa, dan Potek. Ketiganya berada di sekitar Gunung Ile Labalekang.
Semula, untuk menjaga kesakralannya, warga berencana hanya memperagakan ritual tanpa membacakan mantranya. ”Namun, kami sadar, kalau mantranya tidak diucapkan, bagaimana anak-anak bisa tahu dan melestarikannya? Demi budaya ini tetap terjaga, kami sepakat untuk menampilkan ritual secara utuh,” ujarnya.
Lihat juga: Belajar Membuat Benang Tenun Lamalera
Gerimis sempat turun selama mantra itu dibacakan. Sejumlah pengunjung festival budaya pun kaget. Namun, gerimis reda saat Thomas dan warga Lamamanu lainnya mengakhiri tutu koda tersebut.
Menenun
Selain tradisi lisan dan tarian, tradisi berburu paus di Lamalera juga mewujud dalam obyek kebudayaan lain, yaitu pengetahuan tradisional berupa menenun yang disebut tani tenane. Gambar peledang, paus, dan pari manta menjadi motif umum dalam produk tenun Lamalera.
Aktivitas ini digeluti oleh ibu-ibu. Mereka menenun saat suami sedang melaut. Beberapa penenun masih memintal sendiri benang dari kapas dan menggunakan pewarna alami. Salah satunya adalah Katarina Kremo Tapoona (57) yang sudah menenun sejak remaja.
”Perempuan Lamalera bisa membuat sendiri benang dan warna dari bahan alami. Namun, harus diakui, sudah banyak yang menggunakan benang pabrik dan pewarna kimia,” ujarnya.
Agar kearifan lokal itu tidak terus tergerus, Katarina pun membagikan ilmunya kepada remaja perempuan Lamalera dalam lokakarya singkat tenun ikat. Prosesnya mulai dari pemintalan benang, membuat motif, hingga pewarnaan.
Ia menunjukkan noda hitam di kedua telapak tangannya. Noda itu bukti pengalaman panjangnya membuat pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan.
Warna hitam, misalnya, dihasilkan dari daun tarum. Daun jenis tanaman perdu itu dihancurkan lalu direndam selama 3-6 hari. Setelah itu dicampur dengan kapur sirih untuk menghasilkan warna lebih pekat.
Sementara warna kuning berasal dari campuran kunyit dan kemiri yang direbus selama 24 jam. Adapun warna hijau dibuat dengan merendam daun ketapang dan daun tomat.
”Setelah benang dicelup dengan pewarna alami, dijemur dengan cara dianginkan. Jangan terkena sinar matahari langsung karena akan membuat warnanya cepat pudar,” jelasnya.
Pemintalan benang dan pembuatan pewarna alami membutuhkan waktu berhari-hari. Alhasil, banyak penenun Lamalera meninggalkan cara tersebut. Mereka beralih memakai benang pabrikan serta pewarna kimia karena lebih praktis.
Katarina pun memakluminya. Namun, ia tidak ingin tradisi dan pengetahuan lokal itu lenyap digilas zaman. Apalagi jumlah penenun yang menggunakan pewarna alami semakin menyusut.
”Pemakaian benang toko dan pewarna buatan tidak mungkin dilawan karena lebih praktis. Hanya saja pengetahuan menenun secara alami itu juga harus dijaga. Jika tidak, budaya menenun yang asli akan hilang,” ujarnya.
Pamong Budaya Balai Pelestarian Kebudayaan NTT I Putu Putra Kusuma Yudha mengatakan, desa menjadi hulu dalam pelestarian kebudayaan. Sebab, mayoritas obyek pemajuan kebudayaan (OPK) berada di desa-desa.
”Selama ini kita sangat lemah dalam data potensi budaya yang ada di desa. Dokumen-dokumen pendukung secara tertulis sedikit, meskipun dalam tradisi lisan sangat kaya,” katanya.
Benturan konservasi
Tradisi berburu paus juga bermuara pada sistem perdagangan masyarakat Lamalera. Hingga saat ini, mereka masih menerapkan sistem barter dengan menukarkan daging paus, lumba-lumba, dan pari manta yang sudah dikeringkan.
Setiap Sabtu pagi, ibu-ibu dari Lamalera menumpang bus menuju Pasar Barter Wulandoni. Pasar itu berjarak sekitar 9 kilometer. Di sana mereka bertemu orang-orang dari gunung untuk menukarkan hasil laut dengan komoditas pertanian, seperti jagung, singkong, keladi, dan sayur-mayur.
”Dulu sebelum ada kendaraan, mama-mama jalan kaki ke pasar. Jadi, harus berangkat subuh. Mereka membawa obor yang menggunakan bahan bakar minyak ikan paus untuk menerangi jalan,” ujar Daya Desa Lamalera A Alexander Muko Keraf.
Dalam tiga tahun terakhir, Alexander menjadi daya desa di Lamalera A. Ia bertugas menggerakkan warga mengoptimalkan potensi desa untuk mendukung program pemajuan kebudayaan desa dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Baca juga: Melestarikan Ragam Budaya Memajukan Desa
Perburuan paus di Lamalera kerap dibenturkan dengan konservasi. Namun, Alexander menegaskan, perburuan paus dilakukan secara tradisional dan bukan untuk kepentingan industri.
Tradisi itu diperkirakan telah berusia lebih dari 500 tahun. Nelayan di sana tidak menangkap paus biru. Mereka lebih sering memburu paus sperma yang melintasi perairan selatan Lembata.
Menurut Alexander, tradisi berburu paus ibarat akar bagi budaya Lamalera. Budaya-budaya itu pun mewariskan nilai-nilai luhur, seperti gotong royong, kerja keras, dan peduli terhadap sesama.
”Jadi, ini bukan cuma urusan perut. Kalau tradisi berburu paus yang sudah berjalan ratusan tahun dilarang, budaya-budaya Lamalera pun akan hilang,” katanya.