Masjid Arsitektur Tradisional Jadi Inspirasi Persatuan dan Kerukunan Indonesia
Kehadiran masjid tradisional menjadi sumber inspirasi keharmonisan bagi masyarakat Indonesia. Upaya pelestarian dibutuhkan mengingat jejak dan eksistensinya yang mulai menghilang.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·4 menit baca
MALUKU TENGAH, KOMPAS — Jumlah masjid dengan arsitektur tradisional di Indonesia terus menurun akibat semakin minimnya warga yang memiliki keilmuan dan keinginan untuk melanjutkan tradisi bangunan tersebut. Padahal, masjid tradisional dapat menjadi sumber inspirasi kerukunan dan persatuan bagi masyarakat Indonesia. Upaya pelestarian mendesak dilakukan.
Sejarawan dari Ecole Francaise d’Extreme Orient (EFEO), Helene Njoto, menjelaskan, keberadaan masjid kayu dengan gaya arsitektur tradisional atap tumpang menjadi salah satu penanda masuknya Islam ke Indonesia. Masjid dengan arsitektur tradisional merupakan bentuk akulturasi budaya dalam suatu kawasan. Hal ini dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia untuk terus bertahan memperjuangkan persatuan antarsuku dan agama.
”Warisan budaya ini harus dijaga karena Indonesia menjadi konservasionis atau pelestari arsitektur seperti ini. Ada perpaduan budaya dari Hindu, Buddha, dan kebudayaan lain. Gaya ini juga tidak eksklusif di suatu tempat, tapi berbagai tempat di Indonesia, sehingga bisa menjadi simbol persatuan di masa depan,” ucapnya di Kaitetu, Maluku Tengah, Maluku, Kamis (16/11/2023).
Jumlah masjid tradisional di Indonesia, menurut dia, sudah jauh berkurang. Kini tersisa 10-15 masjid tradisional berarsitektur atap tumpang yang berdiri di era pra-Islam pada abad ke-15 hingga ke-17. Masjid atap tumpang memiliki ciri bentuk kubah segi empat yang bertingkat dengan ujung mengerucut di atas. Gaya bangunan ini dapat dilihat di masjid tradisional di Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, dan bangunan tempat pertemuan di Bali, Wantilan.
Di Asia Tenggara, jejak masjid ini juga sudah sulit ditemukan, seperti di kawasan Filipina bagian selatan, Malaysia, Brunei Darussalam, atau Singapura.
Sejak dua tahun lalu, EFEO, dengan dukungan dana dari lembaga International Alliance for the Protection of Heritage in Conflict Area (ALIPH), memulai proyek pelestarian masjid tradisional di Indonesia. Masjid Wapaue di Kaitetu, Maluku Tengah, dipilih menjadi lokasi pelestarian.
Masjid yang diperkirakan berdiri pada tahun 1414 Masehi ini masih menjaga tradisi pengerjaan masjid secara tradisional. Di dekat masjid ini juga berdiri Gereja Imanuel yang didirikan tahun 1659.
Helene menuturkan, eksistensi teknik arsitektur tradisional perlu terus dijaga. Pihaknya pun membangun galeri dan tempat lokakarya agar masyarakat dari luar dapat belajar kepada para ahli masjid tradisional di Kaitetu.
Meski menjadi tempat sakral bagi penduduk Muslim di Maluku Tengah, komunitas Kristen di Maluku juga terlibat aktif dalam menjaganya. Hal tersebut pula yang menjadi alasan pemilihan masjid ini sebagai obyek pelestarian budaya di wilayah pascakonflik sesuai kriteria ALIPH.
”Pelestarian bangunan tradisional juga menjadi ikon pembangunan perdamaian atau peacebuilding, khususnya bagi Maluku yang sempat didera konflik pada puluhan tahun silam,” ujarnya.
Kawasan budaya
Rencana pelestarian kawasan budaya perlu menjadi fokus pemerintah, khususnya dalam menyeimbangkan aspek pariwisata dan keberlanjutan pariwisata. Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kebudayaan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Restu Gunawan mengapresiasi upaya pelestarian ini karena sesuai dengan program pemajuan kawasan budaya yang dicetuskan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2023 pada Oktober lalu.
Warisan budaya, seperti masjid tradisional, dapat pula menjadi simbol perdamaian dan kerukunan.
Ia menyebut, jumlah masjid tradisional terus turun, salah satunya diakibatkan semakin banyaknya masyarakat yang memilih membangun masjid dengan gaya dari kawasan Timur Tengah. Sistem dan keilmuan bangunan yang masih terus diturunkan oleh para warga Kaitetu dinilai sebagai faktor utama bertahannya masjid tradisional di sana. Berkaca pada hal tersebut, ia mengatakan, pelestarian harus menitikberatkan pada peran masyarakat sehingga warisan budaya tetap ada.
Melalui program pemajuan kawasan budaya, pemerintah akan mengutamakan pentingnya pelestarian ketimbang pariwisata semata. Pariwisata dianggap sebagai faktor pendukung, bukan tujuan utama pelestarian.
”Pemangku adat di Maluku masih memegang tradisi, itu mengapa budayanya tetap ada. Beberapa upaya pelestarian berorientasi proyek saja. Setelah proyek selesai, selesai juga pelestariannya. Ini yang menjadi fokus pemerintah, bagaimana kawasan-kawasan tetap menarik, namun budayanya terjaga,” ujarnya.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XX Dody Wiranto mengatakan, Kepulauan Maluku memiliki potensi pelestarian budaya dan sejarah yang beragam. Upaya pelestarian aset-aset di sana perlu didorong agar nilai-nilai kerukunan dan persatuan yang ada di budaya lampau bisa diimplementasikan di masa kini serta yang akan datang.
”Obyek budaya di masa lalu memberi kita arah, dari mana kita berasal, dan ke mana kita harus mengarahkan peradaban bangsa kita di masa depan,” ucapnya.