Masjid Raya Sumbar, Simbol Berpadunya Adat dan Syarak
Masjid Raya Sumatera Barat bukan sekadar tempat menunaikan ibadah bagi umat Islam. Masjid ini juga menjadi simbol berpadunya adat dan syarak dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Masjid Raya Sumatera Barat bukan sekadar tempat menunaikan ibadah bagi umat Islam. Masjid ini juga menjadi simbol berpadunya adat dan syarak dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Simbol-simbol di masjid ini menyampaikan pesan persatuan di tengah masyarakat.
Medi Mardizon (56) tuntas menunaikan shalat dzuhur bersama ratusan jamaah lainnya di Masjid Raya Sumatera Barat. Usai memanjatkan doa dan istirahat sejenak, pria berkemeja putih itu menuruni tangga lantai dua. Cerah terpancar dari wajahnya meski sebagian tersebunyi di balik masker putih.
Masjid Raya Sumbar adalah satu tempat favorit bagi Mardizon untuk menunaikan shalat wajib berjamaah. Terakhir kali agen perusahaan asuransi ini ke sini tiga hari lalu. Jika waktu dan kondisinya pas, ia mengupayakan datang ke sini dari rumahnya yang berjarak sekitar 2 kilometer di Kelurahan Parak Gadang, Kecamatan Padang Timur.
Mardizon mulai beribadah ke Masjid Raya Sumbar, terutama untuk shalat Jumat, sejak masjid dibuka pada 2014. Menurut dia, masjid ini unik dibanding masjid pada umumnya. Sebagai masyarakat Sumbar, ia bangga terhadap masjid ini karena selain megah, juga menunjukkan ciri khas daerah. ”Masjid ini menunjukkan karakter Minangkabau,” katanya, Minggu (2/5/2021).
Masjid Raya Sumbar berdiri di lahan sekitar 4 hektar di pinggir Jalan Khatib Sulaiman, Kelurahan Alai Parak Kopi, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Pembangunan masjid ini ditandai dengan peletakan batu pertama pada 21 Desember 2007 dan selesai pada 4 Januari 2019. Masjid secara resmi mulai digunakan pada 7 Februari 2014 pada era Gubernur Irwan Prayitno. Pembangunannya memakan biaya sekitar Rp 325 miliar-Rp 330 miliar, yang sebagian besar berasal dari APBD Sumbar.
Bentuk masjid ini identik dengan bangunan tradisional di Ranah Minangkabau. Meskipun dimodifikasi, empat sudut atap Masjid Raya Sumbar mengadopsi bentuk gonjong rumah gadang, rumah adat Minangkabau. Keempat sisi luar masjid didesain menyerupai kain songket dengan tujuh motif pucuak rabuang di setiap sisinya.
Di samping kanan bangunan masjid berdiri menara setinggi 85 meter. Menara ini mulai dibuka untuk sejak 30 April 2021. Awalnya, masjid ini direncanakan punya empat menara. Namun, karena keterbatasan anggaran, hanya satu menara yang jadi dibangun.
Bangunan masjid punya tiga lantai, yaitu lantai dasar, lantai I, dan lantai II mezanin. Menurut Ketua Pengurus Masjid Raya Sumbar Sobhan Lubis, total kapasitas masjid bisa menampung sekitar 20.000 jemaah. Selain tangga, masjid ini juga punya dua lereng (ramp) lebar sebagai akses pengunjung menuju lantai I yang sekaligus bisa berfungsi sebagai tempat berlindung jika terjadi gempa dan tsunami.
Gubernur Sumbar periode 2005-2009, Gamawan Fauzi, bercerita, ide pembangunan Masjid Raya Sumbar muncul karena belum adanya masjid raya yang representatif di Sumbar. Pemprov sering kesulitan mencarikan masjid yang layak untuk menyambut pimpinan negara dan tamu negara. Sementara itu, Sumbar sering digaungkan sebagai daerah religius dengan filosofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah atau ABS-SBK.
”Pak JK pernah menyindir saya. Waktu itu shalat Jumat di Masjid (Agung) Nurul Iman (di Padang). ’Mana masjid raya Sumbar?’ Pak JK tertawa. ’(Sumbar) ini adat basandi syarak (syarak basandi kitabullah), masjid rayanya sebesar ini?’,” kata Gamawan menirukan kata Wakil Presiden Jusuf Kalla berkunjung ke Sumbar di awal-awal Gamawan menjabat gubernur.
Selain kondisi itu, Gamawan juga menilai Sumbar perlu memiliki landmark baru yang mencerminkan Keminangkabauan. Setiap membahas Sumbar, landmark yang muncul selalu Jam Gadang di Bukittinggi. Padahal, Bukittinggi bukan ibu kota Sumbar dan Jam Gadang juga tidak banyak kaitannya dengan simbol Minangkabau, kecuali atap gonjongnya.
Atas berbagai pemikiran tersebut, pembangunan Masjid Raya Sumbar dijalankan di era Gamawan. Sayembara pun digelar untuk mencari desain masjid pada tahun 2006. Desain harus mencerminkan ABS-SBK dan juga berfungsi sebagai tempat berlindung masyarakat ketika gempa dan tsunami. Penjurian melibatkan banyak unsur, mulai dari ahli arsitektur, ahli teknik sipil, Majelis Ulama Indonesia Sumbar, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, budayawan, dan lainnya.
Menurut Gamawan, peserta sayembara dengan hadiah juara pertama Rp 150 juta itu tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari mancanegara seperti Jerman dan Malaysia. Lebih dari 90 desain yang masuk. Dari hasil seleksi tim penilai, akhirnya ada tiga desain yang diajukan kepada Gamawan, yang akhirnya memilih desain karya arsitek asal Bandung, Rizal Muslimin, sebagai pemenang.
Desain tersebut dinilai menjawab kebutuhan Sumbar. Selain memiliki ciri khas Minangkabau, kisah Nabi Muhammad saw juga menjadi inspirasi dalam desainnya. Selain itu, yang tidak kalah penting, masjid didesain tahan gempa serta berfungsi sebagai selter saat gempa dan tsunami.
Awalnya, banyak yang mempertanyakan desain yang antimainstream itu. Sebab, umumnya masjid identik dengan kubah. ’Saya jawab, ada yang pakai kubah tetapi bukan masjid. Gedung Putih di AS, pakai kubah tapi bukan masjid. Di Rusia, banyak bangunan pakai kubah tapi bukan masjid,” ujar Gamawan.
Simbol persatuan
Desain Masjid Raya Sumbar terinspirasi dari kisah Nabi Muhammad SAW saat mendamaikan empat suku Quraisy yang berselisih saat pemugaran Ka’bah. Mereka bertengkar tentang kelompok mana yang lebih berhak mengangkat dan meletakkan batu hajar aswad ke tempat semula.
Atas saran tetua suku, mereka sepakat menunjuk orang yang pertama kali tiba di Masjidil Haram esok pagi sebagai pemberi solusi. Ternyata yang pertama kali tiba adalah Muhammad yang saat itu masih berusia 35 tahun, belum berstatus nabi dan rasul. Muhammad pun ditunjuk sebagai pendamai dan diberitahu duduk perkaranya.
Muhammad lantas membuka serbannya, menghamparkannya di tanah, kemudian meletakkan batu hajar aswad di tengah-tengah serban. Ia meminta perwakilan keempat suku memegang ujung-ujung serban dan mengangkat batu hajar aswad bersama-sama ke dekat posisi semula di dinding Ka’bah. Terakhir, Muhammad meletakkan hajar aswad kembali ke tempatnya. Keempat suku Quraisy puas dengan solusi itu dan perselisihan pun berakhir.
Bentuk kain serban Nabi Muhmmad SAW saat digunakan untuk mengangkat batu hajar aswad itulah yang kemudian diadopsi di atap Masjid Raya Sumbar. ”Kain itu menjadi media untuk mempersatukan masyarakat,” kata Rizal Muslimin, arsitek yang merancang desain Masjid Raya Sumbar.
Simbol mempersatukan itu juga tergambar pada bagian dalam masjid yang meniadakan tiang atau kolom di tengah ruangan. Ketiadaan kolom itu menghilangkan sekat, batas, ataupun halangan di antara jamaah. Mata bebas memandang ke segala penjuru masjid.
Untuk menghilangkan kolom itu, Rizal memakai sistem struktur bentang lebar dengan memanfaatkan konsep kain yang dibentangkan. Ujung-ujung rangkaian atap bergantung pada empat kolom di sudut masjid. Adapun beban bagian tengah atap ditopang oleh kolom busur bersilang di dalam masjid.
Tidak hanya sarat dengan simbol-simbol Islam, Masjid Raya Sumbar juga mengadaptasi arsitektur lokal. Simbol-simbol Islam (syarak) dan simbol-simbol adat bersatu di masjid ini. Konsep kain terbentang di atap masjid, dipadukan dengan bentuk gonjong Rumah Gadang. Bentuk itu diharapkan familiar dengan masyarakat Sumbar sehingga tidak terasa asing.
Sementara itu, pada keempat sisi luar masjid dirancang menyerupai kain songket Minangkabau bermotif pucuak rabuang atau pucuk rebung diselingi dengan kaligrafi nama Allah dan Muhammad SAW. Masyarakat bisa memetik pelajaran dari motif pucuak rabuang ini. Ketika berbentuk rebung, bambu bisa jadi makanan. Semakin tua, bambu semakin kuat tetapi juga semakin lentur.
”Ini penting, tidak hanya semakin kuat dan semakin kokoh, tetapi juga lentur. Jadi, seseorang selain punya pendirian yang kokoh tetapi juga harus fleksibel dan berpikiran terbuka,” kata Rizal, yang sejak 2015 menjadi dosen arsitektur di The University of Sidney, Australia.
Rizal menambahkan, ia pernah menyematkan nama Mahligai Minang pada masjid ini. Mahligai adalah puncak suatu bangunan. Mahligai Minang dimaknai sebagai puncak kemenangan masyarakat Minangkabau atas keberhasilan mereka mengamalkan filosofi ABS-SBK. Masjid Raya Sumbar adalah selebrasi atau perayaan terhadap nilai-nilai tersebut.
”Mereka bisa menyatukan adat dan agama, yang kemudian berkontribusi melalui tokoh pejuang yang bisa mempersatukan masyarakat. Orang tidak lagi melihat Bung Hatta sebagai murni Islam atau murni Sumbar, tetapi keduanya melebur, tak bisa lagi dilepas,” ujarnya.
Dosen sejarah peradaban Islam UIN Imam Bonjol Padang, Sudarman, berpandangan, Masjid Raya Sumbar adalah arsitektur modern yang mengakomodasi arsitektur lokal, seperti gonjong dan ragam hias rumah gadang. ”Masjid ini adalah protipe masjid modern yang tidak meninggalkan lokalitasnya,” katanya.
Dari segi arsitektur, kata Sudarman, bangunan ini tidak terlihat sebagai suatu masjid karena lebih dominan aspek rumah gadangnya. Namun, di dalamnya, banyak ditemukan unsur-unsur yang juga mengakomodasi arsitektur Islam, seperti kaligrafi.
Sudarman melanjutkan, adat dan syarak memang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sesuai filosofi ABS-SBK. Untuk hal-hal yang bersifat tetap dan tak bisa diubah, adat memang harus tunduk pada ajaran Islam. Walakin, ajaran Islam juga mengakomodasi sesuatu yang bersifat berubah-ubah sesuai kondisi masyarakat.
Masjid di Minangkabau
Menurut Sudarman, masjid di awal masa Islam tidak punya arsitektur seperti saat ini. Masjid pada masa awal itu hanya bangunan segi empat, tidak bermenara, tidak berkubah, dan tidak bermihrab. Ketika Islam mulai menyebar ke Eropa dan Persia, masjid mulai mengadopsi menara, mihrab, dan kubah. Kubah, misalnya, diadopsi dari Eropa.
Ajaran Islam, kata Sudarman, sangat mengakomodasi arsitektur lokal. Di Sumbar, pada zaman dulu, masjid mempunyai atap yang berundak-undak/bertingkat-tingkat, bangunan berpanggung, dan tidak mengenal menara.
Penulis buku Arsitektur Masjid di Minangkabau dari Masa ke Masa ini mengatakan, secara garis besar, ada tiga masa perkembangan arsitektur masjid di Minangkabau, yaitu zaman klasik (abad ke-17 hingga awal abad ke-19), zaman peralihan (abad ke-19 hingga abad ke-20), dan zaman modern (abad ke-20 hingga sekarang).
Zaman klasik adalah masa awal kedatangan Islam di Minangkabau dan membangun masjid. Pada masa ini, arsitektur masjid mengakomodasi bangunan sebelumnya, seperti pura dengan atap berundak-undak. Menurut Sudarman, bentuk itu diterapkan agar penganut baru Islam di Minangkabau tidak terkejut dan merasa asing.
Mayoritas ciri masjid zaman klasik, yaitu berpanggung dan atap berundak-undak, dan punya satu tiang macu/utama. Contoh masjid zaman klasik, yaitu Masjid Raya Lima Kaum di Tanah Datar dan Masjid Asasi di Padang Panjang, yang juga mengakomodasi ciri bangunan rumah gadang.
Pada zaman peralihan terjadi transisi pengetahuan arsitektur di Minangkabau antara lokal dan luar. Masjid di Minangkabau mulai dipengaruhi arsitektur kolonial dengan ciri bertembok dan berbeton. Masjid juga sudah mempergunakan keramik. Unsur-unsur arsitektur masjid pada zaman ini beragam, mulai dari unsur Minangkabau, unsur kolonial, bahkan ada unsur China, seperti yang terdapat pada Masjid Raya Gantiang di Padang dan Masjid Raya Rao Rao di Tanah Datar.
Adapun pada zaman modern, arsitektur masjid di Sumbar sangat beragam. Contoh masjid dengan arsitektur modern adalah Masjid Taqwa Muhammadiyah di Padang dan Masjid Raya Sumbar di Padang. Walaupun memiliki desain modern, masjid tersebut tetap mengakomodasi arsitektur lokal.
Peran masjid
Sudarman menjelaskan, masjid ataupun surau di Minangkabau tidak sekadar tempat beribadah bagi umat Islam. Pada masa lampau, masjid juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, seperti membaca dan menulis, serta mengasah keterampilan, seperti silek (silat). Selain itu, masjid juga punya fungsi dalam kegiatan perekonomian masyarakat.
Sekarang, menurut Sudarman, fungsi itu masih dipertahankan di beberapa masjid. Masjid tidak sekadar tempat beribadah, tetapi juga fungsi lain sepeti pusat pendidikan Taman Pendidik Al Quran (TPA/TPQ) serta koperasi masjid.
Masjid Raya Sumbar pada Ramadhan ini, misalnya, selain sebagai tempat shalat wajib lima waktu dan shalat sunah Tarwih dan Witir, juga berfungsi sebagai majelis ilmu, terutama tentang agama Islam. Setiap pukul 10.00-12.00 pada Senin-Kamis, kata Sobhan, masjid menggelar tadarus Al Quran untuk memperbaiki bacaan Al Quran jamaah.
Sementara itu, setiap pukul 10.00-12.00 pada Sabtu-Minggu, masjid menggelar kajian terhadap kitab-kitab lama, yaitu tentang ajaran dan hukum-hukum Islam. ”Kegiatan ini diikuti oleh jemaah tetap, mahasiswa, dan masyarakat umum,” kata Sobhan.
Kawasan masjid juga menjadi pusat perkantoran sejumlah lembaga, antara lain Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Sumbar, Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Sumbar, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Sumbar, Badan Wakaf Indonesia (BWI) Sumbar, dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Sumbar.
Kemudian, ada kantor Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Sumbar dan Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (JPRMI) Sumbar. Selain itu, di kawasan masjid berdiri pula gedung kantor LKAAM Sumbar dan gedung Bundo Kanduang Sumbar.
Untuk penerapan ibadah, pengurus masjid berupaya menerapkan protokol kesehatan bagi jemaah. Di dekat akses masuk lantai dasar, pengurus menyediakan tempat mencuci tangan. Kemudian, petugas memeriksa suhu tubuh serta kelengkapan masker jamaah yang masuk ke ruang shalat lantai I. Namun, di dalam, sejumlah jemaah membuka masker. Shalat dilangsungkan dengan saf rapat.
Pada awal masa pandemi, akhir Maret 2020, Masjid Raya Sumbar sempat ditutup. Masjid kembali dibuka untuk ibadah pada 19 Juni 2020 dengan pengaturan saf berjarak di lantai dasar. Adapun lantai I digunakan kembali untuk ibadah pada 7 April 2021.
Gamawan berharap pembangunan Masjid Raya Sumbar terus dilanjutkan oleh Pemprov dan DPRD Sumbar sesuai perencanaan awal. Masjid mesti betul-betul merepresentasikan ABS-SBK. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga diproyeksikan sebagai Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam (Islamic Center) serta pusat perekonomian syariah.