Program anti-perundungan di sekolah harus menekankan jenis perundungan akibat perbedaan karakteristik fisik dan sosial.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Siswa yang menjadi korban perundungan karena perbedaan karakteristik fisik dan sosial, seperti penyakit, etnis, atau seksualitas, mempunyai risiko tambahan mengalami trauma. Program anti-perundungan dan pencegahan kekerasan di sekolah harus lebih memperhatikan hal ini dan pendidik dan tenaga kependidikan perlu bekerja untuk mengidentifikasi mereka yang karakteristiknya sangat rentan.
Temuan ini diterbitkan secara daring dalam Journal of School Violence pada Kamis (9/11/2023). Penelitian melibatkan lebih dari 2.200 anak muda korban intimidasi dan perundungan di Amerika Serikat.
Dalam kajian ini, para peneliti menyelidiki data Suplemen Kejahatan Sekolah orang-orang di bawah usia 18 tahun pada Survei Korban Kejahatan Nasional tahun 2017 dan 2019. Ini adalah sebuah survei rumah tangga nasional dua tahunan di AS.
Dalam survei itu, siswa ditanya apakah dalam satu tahun terakhir ada yang mengolok-olok, menghina dengan cara yang menyakitkan, menyebarkan desas-desus atau mencoba membuat orang lain tidak menyukai mereka, mengancam, mendorong, meludahi, atau mencoba membuat mereka melakukan hal-hal yang tidak ingin mereka lakukan, seperti memberikan uang.
Mereka yang mengatakan telah menjadi korban dalam satu atau lebih cara-cara tersebut lalu ditanya apakah mereka pernah menganggap hal ini berkaitan dengan ras, agama, latar belakang etnis, disabilitas, jender, orientasi seksual, atau penampilan fisik mereka. Mereka kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mengatakan bahwa pengalaman mereka merupakan hasil bias semacam ini dan kelompok yang mengatakan bahwa mereka tidak merasakannya.
Penelitian tersebut kemudian menganalisis dampaknya terhadap para korban dan menanyakan apakah mereka yang mengalami lebih dari satu jenis bias lebih mungkin mengalami dampak buruk dibandingkan mereka yang hanya mengalami satu jenis bias.
Studi ini menemukan bahwa sekitar seperempat siswa telah menjadi korban dalam satu tahun terakhir dan sekitar 4 dari 10 siswa merasa tindakan tersebut dilatarbelakangi oleh bias diskriminasi. Sekitar 3 dari 10 responden merasa bias tersebut terkait dengan penampilan fisik.
”Studi ini menambah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa viktimisasi remaja yang dimotivasi oleh bias dan diskriminasi memiliki dampak yang unik. Saya menemukan, perundungan yang melibatkan berbagai jenis bias tampaknya sangat berpengaruh,” kata penulis utama kajian tersebut, Allison Kurpiel dari Pennsylvania State University, dalam keterangan tertulisnya.
Menurut dia, kemungkinan siswa korban perundungan akibat bias diskriminasi merasakan dampak negatif terhadap tugas sekolah juga lebih besar. Hubungan antara viktimisasi yang bias dan dampaknya terhadap tugas sekolah diamati pada siswa di seluruh sekolah yang diteliti.
Program pencegahan
Temuan ini menyimpulkan bahwa program anti-intimidasi dan pencegahan kekerasan di sekolah harus lebih menekankan pada jenis perundungan yang didasarkan pada diskriminasi fisik dan sosial. Tenaga pendidik di sekolah diharapkan mengidentifikasi mereka yang karena karakteristiknya menjadi sangat rentan dirundung.
”Temuan ini menunjukkan bahwa sekolah harus memprioritaskan program yang menargetkan pengurangan viktimisasi yang bias. Kegagalan dalam melakukan hal ini dapat memperburuk keadaan, seperti rusaknya harga diri siswa, kesehatan fisik, hubungan sosial, dan prestasi pendidikan,” kata Kurpiel.
Kajian ini juga menemukan, bentuk viktimisasi yang paling umum adalah ancaman atau penyebaran rumor yang masing-masing dialami oleh sekitar dua pertiga korban. Secara keseluruhan, siswa yang melaporkan bias terhadap mereka merasa bahwa mereka mengalami lebih banyak jenis viktimisasi dibandingkan siswa yang tidak melaporkannya.
Terkait dampak yang dirasakan, dampak negatif terhadap harga diri merupakan dampak yang paling umum dan dilaporkan oleh lebih dari seperempat korban. Sementara dampak terhadap kesehatan fisik merupakan dampak yang paling jarang terjadi dan dialami oleh kurang dari satu dari tujuh korban.
Dampak negatif terhadap harga diri merupakan dampak yang paling umum dan dilaporkan oleh lebih dari seperempat korban.
Penelitian tersebut menemukan, mereka yang merasa menjadi korban perundungan akibat bias memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar untuk menderita dampak negatif pada harga diri mereka serta memiliki kemungkinan lebih besar mengalami gangguan kesehatan fisik, hubungan sosial, dan tugas sekolah.
Semakin banyak jenis bias yang dialami siswa, maka semakin besar pula dampak negatifnya pada performa akademik anak. Anak perempuan lebih mungkin menderita dampak negatif tersebut dibandingkan anak laki-laki, begitu pula anak perempuan yang mempunyai nilai lebih rendah.
”Agresi teman sebaya yang melibatkan prasangka menyebabkan kerugian tambahan dan dapat mengancam kemampuan sekolah untuk menciptakan lingkungan pembelajaran inklusif,” kata Kurpiel.
Kurpiel merekomendasikan sekolah ”bekerja untuk meningkatkan kesadaran akan isu-isu ini” dan bahwa program pencegahan harus bertujuan, khususnya, untuk mengidentifikasi siswa yang berisiko karena berbagai faktor dalam kehidupan mereka.
”Salah satu intervensi potensial adalah meningkatkan organisasi sekolah yang dirancang untuk mendorong inklusivitas,” ujarnya.
Temuan Kurpiel ini menguatkan penelitian sebelumnya di Journal of Asthma pada Januari 2023, yang menunjukkan anak dengan karakteristik berbeda, termasuk karena sakit, rentan jadi korban perundungan. Dalam kajian ini, para peneliti menemukan bahwa remaja penderita asma lebih cenderung menjadi korban perundungan.
Dalam kajian ini, Jean-Marie Bruzzese dan tim dari Columbia Nursing mengaitkan korban perundungan di kalangan remaja dengan sejumlah masalah psikologis dan sosial yang dapat berlangsung seumur hidup. Temuan utama dari penelitian ini, 28,6 persen siswa di antara 1.905 total siswa sekolah menengah di perdesaan yang menderita asma melaporkan menjadi korban intimidasi karena sakit yang dideritanya.