Indonesia-Australia Beri Hibah 38 Riset Lingkungan dan Perubahan Iklim
Pemerintah Australia dan Indonesia meluncurkan Program Koneksi untuk mendukung riset dan inovasi di kedua negara. Di tahap pertama, program ini memberikan 38 hibah riset di bidang lingkungan dan perubahan iklim.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Australia dan Indonesia memperkuat kerja sama riset dengan meluncurkan Program Kemitraan Pengetahuan Australia-Indonesia atau Koneksi. Kolaborasi yang melibatkan ratusan universitas dan lembaga riset di kedua negara ini diharapkan mendukung hilirisasi penelitian dan inovasi teknologi di berbagai bidang.
Program Koneksi yang berlangsung selama lima tahun ke depan tersebut akan menyokong lembaga pengetahuan di Indonesia dan Australia dalam penelitian bersama. Pada tahun pertama, program ini memberikan hibah riset untuk 38 proyek penelitian di bidang lingkungan dan perubahan iklim.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Amich Alhumami mengatakan, Program Koneksi diharapkan melahirkan praktik-praktik baik yang menjadi fondasi penguatan kerja sama triple helix antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri. Hal itu disampaikan saat peluncuran program tersebut di Gedung Bappenas, Senin (13/11/2023).
”Hal ini sangat penting, terutama untuk mendukung proses hilirisasi penelitian dan inovasi teknologi yang mencapai kemajuan serta kesejahteraan masyarakat. Selain itu, penguatan triple helix penting sebagai upaya mengubah hasil-hasil riset inovasi menjadi produk komersial yang bernilai ekonomi sehingga dapat dipasarkan di berbagai sektor industri yang bisa memacu produktivitas ekonomi,” ujarnya.
Amich menuturkan, Program Koneksi menerapkan prinsip kesetaraan dan inklusivitas dengan melibatkan peneliti dari berbagai lembaga. Dengan begitu, kolaborasi multipihak akan memberikan sumbangsih penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut dia, program itu relevan setidaknya untuk dua misi pembangunan. Pertama, mengembangkan riset ilmiah guna melahirkan pengetahuan baru berupa intensi dan inovasi teknologi untuk pembangunan inklusi berkelanjutan. Kedua, mengembangkan perencanaan berbasis bukti demi mendukung penyusunan rancangan teknokratik pembangunan.
”Peluncuran Program Koneksi merupakan momentum penting memperkuat kemitraan strategis Indonesia-Australia dan harus tetap kita rawat ke depannya,” ucapnya.
Duta Besar Australia untuk Indonesia Penny Williams menuturkan, melalui Program Koneksi, kemitraan Australia dan Indonesia akan menjadi lebih transformatif. Sebab, kerja sama ini bermuara pada solusi berupa kebijakan dan teknologi yang lebih inklusif.
Program Koneksi yang berlangsung selama lima tahun ke depan tersebut akan menyokong lembaga pengetahuan di Indonesia dan Australia dalam penelitian bersama.
”Koneksi diharapkan menghasilkan riset dan kemitraan yang multidisiplin untuk mendorong ekonomi berbasis pengetahuan,” katanya.
Pada tahap pertama, 38 proposal penelitian telah terpilih sebagai penerima hibah penelitian. Kolaborasi riset ini melibatkan lebih dari 100 institusi di Australia dan Indonesia, seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, organisasi penelitian, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil.
Penelitian berjudul ”Mengembangkan Pendekatan Terpadu untuk Adaptasi Perubahan Iklim, Ketahanan Pangan, dan Kehutanan Sosial di Kalangan Masyarakat Rentan dan Masyarakat Adat di Indonesia Timur”, misalnya, melibatkan sejumlah institusi di dalam negeri, di antaranya Universitas Nusa Nipa, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sumatera Utara, Universitas Budi Luhur, Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara, serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nusa Tenggara Timur. Riset ini bekerja sama dengan Crawford School of Public Policy & Centre for the Public Awareness of Science, Australian National University.
Sementara riset berjudul ”Kerja Paksa dan Perubahan Iklim: Mempertahankan Fokus pada Perempuan dan Anak-Anak” dikerjakan para peneliti dari Universitas Diponegoro serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dari pihak Australia, penelitian ini menggandeng Griffith University.
Transformasi digital
Penny mengatakan, dalam waktu dekat Program Koneksi akan menggulirkan penelitian kedua dengan tema transformasi digital bidang kesehatan, ketahanan pangan, dan energi. ”Topik ini sangat penting untuk pemulihan ekonomi di kedua negara pascapandemi Covid-19,” ucapnya.
Penny menambahkan, Australia dan Indonesia telah menjadi mitra pembangunan strategis sejak lama. Kerja sama itu meliputi berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Selama 2019-2022, terdapat lebih dari 4.000 publikasi penelitian hasil kemitraan kedua negara. Australia juga telah memberikan lebih dari 15.000 beasiswa S-2 dan S-3 kepada warga negara Indonesia. ”Kebanyakan dari mereka saat ini menduduki posisi penting di pemerintahan, bisnis, akademisi, serta sektor swasta,” ujar Penny.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menyambut baik Program Koneksi yang akan dijalankan hingga lima tahun ke depan. Menurut dia, sinergi dan kolaborasi sejumlah pihak dalam program itu akan semakin menguatkan ekosistem riset di kedua negara.
”Hadirnya Program Koneksi yang menjadikan riset sebagai basis kebijakan akan membuat hasil penelitian yang dihasilkan perguruan tinggi di Indonesia berdampak lebih luas dan semakin bermakna,” ujarnya.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyebutkan, Program Koneksi menjadi titik pangkal untuk memperkuat kolaborasi di bidang pendidikan, riset, dan inovasi antara Indonesia dan Australia. Pihaknya mendukung program itu dan telah bersepakat melakukan pendanaan bersama atau joint funding untuk penelitian.
”Untuk itu, saya mengundang seluruh periset di Indonesia, baik di kampus, industri, maupun di BRIN, bisa mengajukan proposal penelitian,” ucapnya.