Sekolah Inklusi, Niat untuk Merangkul Perbedaan
Pendidikan inklusif semestinya menjadi jiwa dari penyelenggaraan pendidikan.
Hak mendapatkan pendidikan menjadi hak semua anak bangsa tanpa terkecuali, termasuk anak penyandang disabilitas. Sistem pendidikan Indonesia memberikan pilihan bagi anak-anak difabel untuk bersekolah di Sekolah Luar Biasa atau SLB yang memang dirancang khusus ataupun sekolah reguler yang menyatakan dirinya sebagai sekolah inklusi alias menerima juga anak-anak berkebutuhan khusus.
Lebih dari lima tahun, SMA Negeri 68 Jakarta di Kawasan Salemba menerima siswa atau anak berkebutuhan khusus (ABK). Tidak ada penanda sebagai sekolah inklusi yang tertera di plang sekolah. Masyarakat bisa mengetahui sekolah ini sebagai salah satu SMA reguler yang menerima ABK dari daftar sekolah yang menerima jalur inklusi di wilayah DKI Jakarta.
Salah satu penanda yang bisa terlihat di SMAN 68 Jakarta sebagai sekolah yang ramah penyandang disabilitas ialah adanya ramp atau jalur pengganti anak tangga yang dapat dilalui kursi roda untuk penyandang disabilitas. Ramp yang dicat berwarna hijau selalu ada di samping anak tangga dari lantai satu hingga ke lantai lima. Namun, ramp ini hanya ada di bagian tangga yang terdekat dari ruang piket guru.
Baca juga: Sekolah Inklusi, Menyemai Kesetaraan bagi Penyandang Disabilitas
Wakil Kepala Sekolah Bidang Sarana dan Prasarana SMAN 68 Jakarta Indah yang ditemui pada Kamis (9/11/2023) mengatakan, sekolah mengikuti aturan sebagai sekolah inklusi lima tahun terakhir. Sesuai ketentuan, untuk tiap satu rombongan belajar (rombel) maksimal ada dua ABK.
”Sekolah kami ada 8 rombel, berarti untuk penerimaan ABK kuotanya maksimal 16 anak. Namun, sejauh ini belum pernah sampai maksimal, sekitar lima orang,” kata Indah.
Salah satu persoalan yang sering mencuat terkait keberadaan sekolah inklusi ialah kesiapan guru yang memahami karakteristik dan kebutuhan belajar siswa penyandang disabilitas.
Beragam anak penyandang disabilitas diterima di sekolah ini. Seringnya, anak dengan IQ rendah, autisme, dan ada juga dengan masalah pendengaran. Mereka langsung berbaur dengan siswa lainnya sejak awal.
Sekolah inklusi tidak dibatasi zonasi. Selama kuota masih ada, siswa penyandang disabilitas seharusnya diterima asal memiliki surat dokter yang memastikan calon siswa tersebut menyandang disabilitas.
Menurut Indah, tantangan menjadi sekolah inklusi utamanya adalah terkait kesiapan para guru. Tidak ada guru yang secara khusus mendapat pendidikan tentang penyandang disabilitas. Sekolah pun menyesuaikan sendiri kebijakannya, termasuk dalam pembelajaran untuk dapat mengakomodasi kebutuhan belajar anak difabel dan tumbuh kembangnya secara optimal selama di sekolah inklusi.
Memberi dukungan
Salsabila dan Rizky, siswa kelas XII IPS 3 SMAN 68 Jakarta, mengatakan, keberadaan para siswa penyandang disabilitas dapat diterima dengan baik. Meskipun pernah ada siswa penyandang disabilitas yang tantrum di dalam kelas, teman-teman di kelas berusaha untuk memahami dan bahkan memberikan dukungan.
Salsabila mengisahkan, di kelasnya ada siswa difabel yang lamban belajar. Saat guru menjelaskan, siswa tersebut tidak bisa fokus dan sering bergerak ke sana kemari.
”Setelah bersama-sama selama tiga tahun, kami semakin belajar untuk memahami mereka. Bahkan, ada teman difabel kami yang jago banget sejarah. Pokoknya pintar banget. Kami berharap supaya sekolah dapat terus mengomunikasikan keberadaan siswa berkebutuhan khusus secara terbuka dan memberikan dukungan yang lebih baik lagi,” ujar Salsabila.
Baca juga: Buka Lebar Akses Pendidikan untuk Anak dengan Disabilitas
Salah satu persoalan yang sering mencuat terkait keberadaan sekolah inklusi ialah kesiapan guru yang memahami karakteristik dan kebutuhan belajar siswa penyandang disabilitas.
Bank Dunia menemukan, meski Indonesia membuat kemajuan dalam membangun kerangka kebijakan pendidikan inklusif, implementasi kebijakannya menjadi tantangan berat karena menghadapi berbagai masalah.
Pendidikan inklusif belum diutamakan dalam sistem pendidikan karena tanggung jawab penyampaian layanan dan penganggaran tak selaras. selain itu, kapasitas administratif untuk menerapkan kebijakan juga terbatas. Hal itu termasuk kurangnya pelatihan bagi guru di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, dari segi kuantitas maupun kualitas, menjadi tantangan utama. Kualitas pelatihan juga penting lantaran banyak guru di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak percaya diri untuk mengajar anak berkebutuhan khusus, bahkan setelah menerima pelatihan.
Sulistiyorini, orangtua anak difabel di Surabaya, Jawa Timur, menyekolahkan anaknya, Ralingga Makalu Donni, yang akrab disapa Donni dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai SMP di sekolah inklusi. Ketika SMA. Donni yang mengalami downsyndrome terpaksa menjadi siswa homeschooling karena di sekolah yang dituju tidak ada guru bayangan.
Di sekolah inklusi yang siap mendukung anak berkebutuhan khusus, para siswa berkebutuhan khusus mampu berprestasi. Donni tumbuh sebagai atlet difabel. Banyak prestasi diraih, dari medali emas, perak, hingga perunggu di level kota bahkan nasional. Selain lari, ia juga juara lomba bocce (bowling tunagrahita).
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Frieda Maryam Mangunsong mengatakan, orang terdekat anak berkebutuhan khusus adalah pihak utama yang bisa memastikan anak tersebut mandiri dan bahagia. Dengan dukungan lingkungan dan para pendidik yang memahami pendidikan inklusif, jalan mereka menjadi anak-anak yang mandiri dan bahagia akan terbuka.
Transformasi
Ketua Tim Inovasi dan Transformasi Pembelajaran, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kemendikbudristek, Meike Anastasia menyampaikan, setiap anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Dalam pemenuhan hak atas pendidikan tersebut, setiap anak berhak untuk belajar bersama dengan teman sebayanya di sekolah yang sama, di kelas yang sama, dan dekat dengan tempat tinggal.
Berdasarkan data di Kemendikbudristek hingga Oktober 2023, ada 306.980 siswa difabel yang ada di sekolah. Mereka belajar di SLB hingga sekolah inklusi PAUD, SMP, SMA/SMK, ataupun Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.
Kemendikbudristek telah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru). Permendikbudristek ini mengatur PPDB dengan jalur zonasi dengan kriteria usia dan jarak sekolah dari tempat tinggal; jalur prestasi; jalur perpindahan orangtua; jalur afirmasi yang diperuntukkan bagi calon peserta didik dari keluarga ekonomi rendah; dan peserta didik berkebutuhan khusus. Untuk SLB dan SMK, sistem zonasi ini tidak berlaku.
Baca juga: Konsep Pendidikan Inklusi Belum Banyak Dipahami Sekolah
Meike mengakui, perkembangan penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak mudah. Perlu proses perubahan paradigma berpikir dan cara pandang dari semua pelaku pendidikan terhadap konsep pendidikan inklusif. Nantinya, pemahaman tersebut akan mewujudkan komitmen terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif.
”Yang penting ada niat, kemauan, dan kesiapan hati dari para pemangku kepentingan untuk merangkul perbedaan,” ujar Meike.
Menurut Meike, pendidikan inklusif menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Transformasi pendidikan inklusif yang dilakukan sekarang ialah mendorong pemerintah daerah untuk berkomitmen terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Mereka diharapkan memfasilitasi pembentukan unit layanan difabel bidang pendidikan melalui penguatan fungsi perangkat daerah.
Selanjutnya, pemda juga diharapkan memasukkan iklim inklusivitas sebagai salah satu indikator rapor pendidikan pemerintah daerah dan satuan pendidikan. Pemerintah daerah harus memfasilitasi satuan pendidikan, terutama satuan pendidikan yang sudah menerima peserta didik berkebutuhan khusus. Fasilitasi dimaksud meliputi penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang memiliki kompetensi pendidikan khusus serta penyediaan sarana dan prasarana yang aksesibel untuk semua anak.
Baca juga: Pendidikan Inklusif Menjadi Kebutuhan Daerah dan Penyandang Disabilitas
”Guna mendukung guru-guru di sekolah inklusi, disediakan platform Merdeka Mengajar bagi semua guru untuk belajar tentang bagaimana cara memberikan layanan pendidikan yang tepat bagi peserta didik berkebutuhan khusus,” jelas Meike.
Meike menambahkan, pemerintah terus mendorong semua sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan yang inklusif, pendidikan yang mengakomodasi semua peserta didik. Selain itu, pemerintah juga menguatkan dan meningkatkan peran dan fungsi guru sebagai profesional dan sebagai fasilitator pendidikan bagi individu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan berkarakter. Hal lainnya, mengubah Kurikulum Pendidikan tinggi dan mewajibkan mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan untuk mengikuti mata kuliah pendidikan khusus.