Pekan Kebudayaan Nasional 2023 menjadi momen orang-orang ”Pulo” di Kepulauan Seribu untuk menarasikan kembali sejarah mereka. Selain kawasan kepulauan yang eksotis, mereka juga memiliki modal budaya.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·5 menit baca
Dalam Program Olahrasa Pekan Kebudayaan Nasional 2023, Departemen Sejarah Kelurahan Pulau Panggang berhasil menerbitkan Buku Saku Kelurahan Pulau Panggang. Di situlah sejarah singkat orang ”Pulo” di Kepulauan Seribu didokumentasikan, termasuk kisah tentang pengusiran bajak laut dari Pulau Panggang.
Pulau Panggang adalah pulau berpenghuni pertama di Kepulauan Seribu. Pulau ini berada di bagian tengah di antara pulau-pulau lainnya sehingga relatif aman dari bencana alam dan strategis untuk dihuni.
Nama Pulau Panggang berasal dari kata panggang yang berarti dimasak di atas api atau dibakar. Kata panggang pertama kali diteriakkan oleh ”Orang Pulo”—demikian masyarakat di Kepulauan Seribu menyebut diri—terhadap para bajak laut yang dikalahkan oleh pendekar di pulau ini.
Kebudayaan dan tradisi di sini menjadi sumber yang kemudian diolah menjadi produk tarian serta aneka macam ekspresi lokal.
Teriakan ”panggang” Orang Pulo bukan berarti ajakan untuk membakar para bajak laut hidup-hidup, tetapi seruan untuk membakar kapal-kapal bajak laut supaya mereka tidak kembali lagi ke Pulau Panggang. Dahulu, Pulau Panggang memang menjadi incaran bajak laut karena sejak abad ke-16 pulau ini sudah digunakan sebagai tempat transit pelayaran kapal dan pada abad ke-17 berkembang menjadi tempat perdagangan.
”Kita sekarang sampai di Makam Darah Putih. Darah Putih dipercayai sebagai orang yang sakti, dia menjadi penjaga bagi masyarakat Pulau Panggang. Konon, beliaulah yang menghalau bajak laut yang datang ke Pulau Panggang,” kata Komar, pemandu tur sejarah Kelurahan Pulau Panggang, Sabtu (28/10/2023), di Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Ini adalah momen perdana Komar memandu Tur Sejarah di Pulau Panggang. Komar memakai baju putih. Di punggungnya tersemat tulisan Departemen Sejarah Kelurahan Pulau Panggang.
Wajahnya berseri-seri karena peserta tur perdana kali ini bukan wisatawan pada umumnya, melainkan Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid. Buku Saku Kelurahan Pulau Panggang yang diinisiasi MES 56 dan Rumah Literasi Hijau menjadi pegangannya untuk memaparkan sejarah seputar Pulau Panggang, Pulau Pramuka, dan Pulau Karya.
Di tengah terik matahari, Hilmar mengikuti tur yang ditempuh mulai dari Pulau Pramuka menggunakan kapal motor ke Pulau Panggang, kemudian dilanjutkan berjalan kaki menyusuri gang-gang kampung Pulau Panggang yang sempit. Di pulau ini tak ada mobil. Sepeda motor pun harus bergantian untuk menyusuri gang-gang.
Para penjual berkeliling menjajakan dagangan dengan gerobak kecil karena sempitnya jalan. Meskipun Kabupaten Kepulauan Seribu menjadi bagian dari Provinsi DKI Jakarta, kondisi ekonomi masyarakatnya jauh dari warga DKI Jakarta. Garis kemiskinan di kabupaten ini di bawah garis kemiskinan Jakarta.
Situs Makam Darah Putih hanyalah satu dari beberapa titik di Pulau Panggang yang berhasil didokumentasikan dalam buku saku tersebut. Tur dimulai dari Dermaga Pulau Panggang, lalu Masjid An-Ni’mah merupakan salah satu bangunan tertua di Pulau Panggang, Gedung Kawedanan yang dulu dibangun Belanda pada awal abad ke-20 sebagai kantor administrasi atau karesidenan, serta beberapa makam tua yang dipercaya sebagai leluhur warga Pulau Panggang dan sekitarnya.
”Boleh jadi buku saku ini lebih banyak didasarkan pada sumber lisan sekunder yang telah berselang abad lamanya, dan dikuatkan oleh artefak makam, serta sedikit sekali dokumen pendukung. Penggalian yang dilakukan dalam waktu sebentar juga membuatnya tampil simpel dengan tema-tema pokok,” kata Mahariah, Koordinator Tim Penggerak Program Olahrasa di Pulau Pramuka sekaligus Ketua Rumah Literasi Hijau.
Mengolah sampah
Program Olahrasa Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 yang diinisiasi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek di Kepulauan Seribu juga mengangkat praktik-praktik baik pengelolaan sampah dengan pendekatan kesenian yang selama ini diinisiasi Rumah Literasi Hijau. Komunitas ini awalnya berkembang di Pulau Panggang dan kemudian meluas ke pulau-pulau lainnya di Kepulauan Seribu.
Basis pergerakan Rumah Literasi Hijau adalah pelestarian lingkungan. Mereka rutin menanam mangrove, merawat terumbu karang, dan mengolah sampah. ”Untuk mengolah sampah, setiap rumah kita ajari bagaimana memilah dan mengolah sampah di rumah. Kalau ada sampah yang tidak bisa diolah di rumah, sampah bisa dibawa ke komunitas (Rumah Literasi Hijau), dan jika kami tidak bisa, sampah baru diangkut ke pemerintah (dinas lingkungan hidup). Jadi, ujungnya di pemerintah tinggal sedikit,” ucap Mahariah.
Akhir bulan lalu, Program Olahrasa PKN 2023 dipuncaki dengan acara Hajatan Pulang Babang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Ajang ini menampilkan ekshibisi sederhana daur ulang kertas bekas, pengolahan minyak jelantah, ecoprint, ecobrick, pameran foto, serta pemetaan sejarah seputar Pulau Panggang, Pulau Pramuka, dan Pulau Karya. Hasil dari pemetaan sejarah hasil kolaborasi Rumah Literasi Hijau, MES 56, dan Ditjen Kebudayaan ini kemudian dipraktikkan menjadi tur sejarah ke pulau-pulau tersebut.
Masyarakat antusias mengikuti Hajatan Pulang Babang yang digelar di pelataran Dermaga Pulau Pramuka, Sabtu (28/10/2023). Mereka menggelar bazar kuliner tradisional, pentas tari, arak-arakan budaya, dan tur sejarah.
”Suasananya terbangun. Semua terlibat mulai dari anak-anak, orang-orang muda, ibu-ibu, dan bapak-bapak. Kebudayaan dan tradisi di sini menjadi sumber yang kemudian diolah menjadi produk tarian serta aneka macam ekspresi lokal. Orang merasa tergerak untuk melakukan sesuatu hal yang baik secara bersama-sama,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid.
Seusai berakhirnya program Olahrasa PKN 2023, masyarakat Kepulauan Seribu mesti menyelesaikan pekerjaan rumah mereka ke depan, yaitu menjaga keberlanjutan pengolahan sampah, meneruskan workshop dan wisata edukasi, serta tur sejarah menyusuri narasi sejarah orang-orang ”Pulo”. Harapannya, apa yang sudah dirintis mulai dari Pulau Panggang bisa bereplikasi ke pulau-pulau lainnya.