Kisah ”Anak Seberang Pulau” yang Terpinggirkan di Ibu Kota Negeri
Suatu hari di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Suasana cerah di tengah hamparan laut dan pulau-pulau cantik, tetapi keberuntungan masih jauh dari tangan Margu (43). Sudah tiga hari, tidak ada ikan terjerat jaringnya
Mentari bergerak perlahan dari ufuk timur Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Paparan sinarnya mengubah pesisir pantai menjadi biru muda. Pasir putih di dasar laut seakan berkilau, menambah pesona pulau seluas 9 hektar itu.
Di atas perahu, Margu (43) menyiapkan alat pancing hingga jaring ikan. Ia juga membawa serantang makanan, kopi, dan sebungkus rokok kretek. Dia lalu menyalakan mesin perahu. Perahu biru-putih itu berlayar dengan kecepatan sedang kian menjauh melintas di pulau-pulau kecil gugusan Kepulauan Seribu.
Perahu berhenti kira-kira dua mil jauhnya dari garis pantai. Di situ, Margu mulai menebar jaring ikan. Ketika surya memerah di ufuk barat, Margu kembali ke pesisir pantai. Setelah perahu bersandar di dermaga, lelaki itu bergegas kembali ke rumah. Air mukanya masam. Rupanya hari itu laut tak bersahabat.
”Sudah tiga hari, pulang tidak bawa ikan. Istirahat dulu, ikan lagi susah,” kata Margu menceritakan kembali aktivitasnya beberapa hari terakhir, saat ditemui di dermaga nelayan Pulau Panggang, Rabu (16/6/2021) pagi.
Hari itu, Margu memilih untuk tak melaut karena beberapa kali pulang dengan tangan hampa. Sejak pukul 07.00, dia hanya beraktivitas ringan di sekitar dermaga dengan menjahit jaring penangkap ikan baru.
Kedua tangannya lincah dan terampil memasukkan bulir-bulir timah pemberat di bagian ujung jaring. Sembari menjahit, lelaki itu berkisah sudah 30 tahun menjadi nelayan dengan tangkapan ikan yang terus menurun.
Kepulauan Seribu merupakan daerah dengan persentase kemiskinan tertinggi dibandingkan lima wilayah lain di DKI Jakarta. Sebanyak 14,87 persen penduduknya masuk kategori miskin (BPS, 2020)
Puncaknya kian terasa sejak 2010-an hingga kini. Tangkapan nelayan tak lagi menentu. Dahulu, berada di laut dengan waktu aktivitas dari pukul 07.00 sampai pukul 17.00, jumlah ikan yang diperoleh bisa 50 kilogram. Ikan yang didapat pun beragam, mulai dari tongkol, tenggirin, kerapu, hingga ekor kuning. Sebagai contoh, harga ikan tongkol di sana Rp 15.000 per kilogram. Artinya, jika mendapat 50 kilogram ikan tongkol, pendapatannya pada hari itu Rp 750.000.
”Sekarang kalaupun dapat ikan jumlahnya sedikit. Satu hari paling dapat Rp 100.000. Itu belum untuk solar, rokok kita, makan. Ya, itulah sekarang,” katanya.
Baca juga: Pudarnya Senyum Bahagia Anak-anak Metropolitan
Penghasilan dari nelayan tangkap sama sekali tak mencukupi untuk keperluan hidup sehari-hari. Bahan bakar solar untuk melaut dengan jarak tempuh 2 mil minimal 5 liter. Sementara harga seliter solar Rp 8.000. Artinya, sekali melaut, Margu merogoh kocek Rp 40.000 tanpa hasil.
Mayoritas nelayan
Rabu (16/6/2021) hingga Kamis (17/6/2021), dermaga nelayan di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang sepi dari aktivitas nelayan. Perahu-perahu lebih banyak bersandar dan ditinggal pemiliknya.
Pemandangan ini kontras dengan data yang menunjukkan mayoritas warga Kepulauan Seribu berprofesi sebagai nelayan. Dari data laman statistik.jakarta.go.id, jumlah penduduk Kepulauan Seribu pada 2018 sebanyak 28.289 jiwa. Dari jumlah itu, mata pencaharian penduduk Kepulauan Seribu didominasi nelayan dengan presentasi 56,79 persen.
Haji Gonyol (59), salah satu pengepul ikan di Pulau Pramuka, bahkan setelah Lebaran 2021 belum pernah mendistribusikan ikan ke wilayah Jakarta Utara. Tak ada nelayan yang membawa ikan ke tempatnya.
”Selama Covid-19, ikan-ikan pun kayaknya ikut lockdown. Semestinya jam begini (pukul 18.00) saya sudah packing ikan. Di mana tuh, kosong total, satu kilo pun enggak ada,” kata lelaki yang sudah menjadi pengepul sejak 1990-an.
Pengepul ikan di Pulau Pramuka mulai merasakan dampak berkurangnya tangkapan nelayan selama lima tahun terakhir. Jauh sebelum tangkapan nelayan berkurang, para pengepul ikan sehari bisa mengumpulkan hingga satu ton ikan.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah ikan yang berhasil ditampung oleh pengepul 100 kilogram sampai 200 kilogram. Ikan kemudian dikirim untuk dijual lagi ke tempat pelelangan ikan di wilayah Jakarta Utara.
Baca juga: Wisata Kepulauan Seribu Berangsur Pulih di Tengah Pandemi
Berkurangnya tangkapan nelayan berpengaruh pada pendapatan warga yang selama ini bekerja sebagai tukang pikul. Mereka dominan ibu rumah tangga yang mencari tambahan pendapatan demi membantu menopang ekonomi keluarga.
Salah satunya, Suhaya (46). Warga RT 001 RW 007, Kelurahan Pulau Panggang itu, bekerja sebagai kuli pikul sejak bercerai dari suaminya pada 2012. Penghasilannya Rp 50.000 per hari.
Ibu dua anak itu kini beralih kerja membantu ayahnya yang telah lansia sebagai petani budidaya rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut mulai dari pembibitan hingga memanen membutuhkan waktu 40 hari.
Setiap kali panen, jumlah rumput laut kering yang didapat mencapai 50 kilogram. Artinya penghasilan Suhaya dan ayahnya sebagai petani rumput laut Rp 2 juta setiap 40 hari.
Dampak pandemi
Pendapatan yang kian tak menentu para nelayan di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang sebenarnya ditopang dengan kehadiran wisatawan yang rutin berkunjung ke sana. Namun, selama pandemi Covid-19, kunjungan wisatawan berkurang drastis.
Baca juga: Two-Day Tour on Pulau Harapan
Sait (54), sebelum masa pandemi Covid-19 setiap pekan perahunya sering disewa oleh wisatawan untuk mengelilingi pulau-pulau terdekat di wilayah itu. Biaya sewa sekali memandu wisatawan mulai dari Rp 350.000 sampai Rp 500.000.
”Selama ada berita Covid-19 ini, tidak pernah ada yang sewa kapal. Mau enggak mau, ya, setiap hari ke laut,” kata Sait.
Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, Kepulauan Seribu merupakan daerah dengan persentase kemiskinan tertinggi dibandingkan dengan lima wilayah lain di DKI Jakarta. Sebanyak 14,87 persen penduduknya masuk kategori miskin. Di lima wilayah DKI lain, maksimal persentase kemiskinan sekitar 6 persen.
Masih dari BPS, Indeks Kedalaman Kemiskinan di Pulau Seribu pada 2019 sebesar 1,95. Angka itu kembali meningkat atau memburuk menjadi 2,10 pada 2020. Kepulauan Seribu juga menduduki peringkat pertama Indeks Keparahan Kemiskinan dibandingkan dengan lima wilayah administrasi lain di Jakarta. Pada 2019, Indeks Keparahan Kemiskinan di Kepulauan Seribu sebesar 0,46 dan pada 2020 sebesar 0,42.
Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu, pada 2020, jumlah keluarga miskin di wilayah itu sebanyak 8.395 keluarga. Mereka tersebar di enam pulau permukiman, yakni Pulau Kelapa, Pulau Harapan, Pulau Panggang, Pulau Tidung, Pulau Pari, dan Pulau Untung Jawa.
”Potensi utama daerah kepulauan ini mengandalkan pariwisata. Selama masa Covid-19 banyak pembatasan yang mengurangi aktivitas wisata, mulai dari transportasi hingga tempat penginapan. Ini yang berdampak pada menurunnya kegiatan ekonomi warga,” kata Bupati Kepulauan Seribu Junaedi, saat dihubungi pada Minggu (20/6/2021).
Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati, warga Kepulauan Seribu terjebak dalam kemiskinan meski wilayah mereka masuk sebagai salah satu dari prioritas pembangunan 10 destinasi wisata superprioritas. Ini karena warga setempat tidak diberi akses untuk terlibat langsung dalam mengelola potensi pariwisata di wilayahnya.
Baca juga: Privatisasi Pulau-pulau Kecil Ancam Kesejahteraan Nelayan
”Di Pulau Seribu, nyaris di atas 70 persen pulau-pulau itu sudah tidak dimiliki oleh masyarakat. Artinya, ruang akses dan kontrol mereka semakin sulit,” kata Susan.
Berdasarkan catatan Kiara, pada awal 2019, di Kepulauan Seribu terdapat 110 pulau kecil. Namun, 86 pulau telah dimiliki secara perorangan.
Saat warga Kepulauan Seribu hanya menjadi penonton ketika keindahan alamnya dieksploitasi, ruang hidup mereka dari berburu ikan pun kian menyempit. Kerusakan lingkungan jadi faktor utama ikan-ikan di Kepulauan Seribu kian berkurang.
Baca juga: Pencemaran Rugikan Warga Pesisir
Beberapa kerusakan lingkungan itu, antara lain, Teluk Jakarta masih menjadi tong sampah raksasa dari 13 anak sungai. Selain itu, tumpahan minyak di Karawang akibat kebocoran anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java yang terjadi pada 2019 dan yang terbaru pada April 2021.
”Ada juga proyek-proyek yang merusak ekosistem di Kepulauan Seribu, mulai dari pembangunan 17 pulau. Walaupun belum semua terbangun, tetapi itu berdampak luar biasa. Belum lagi adanya pengerukan dan penimbunan pasir yang dilakukan oleh beberapa oknum,” kata Susan.
Warga Pulau Seribu kini distigma miskin di tengah kompleksitas persoalan yang tak pernah mereka mulai. Mereka seperti anak tiri yang terlupakan hanya karena dipisahkan lautan. Petikan gitar dan nyanyian empat pemuda pulau yang memecah kesunyian malam di dermaga Pulau Pramuka pada Kamis (17/6/2021) dini hari seolah-olah menggambarkan keresahan warga Pulau Seribu.
”....Kuakui ku sangat sangat menginginkanmu
Tapi kini kusadar ku diantara kalian
Aku tak mengerti ini semua harus terjadi
Kuakui ku sangat sangat mengharapkanmu
Tapi kini kusadar ku tak akan bisaAku tak mengerti ini semua harus terjadi...”
(Di Antara Kalian, Dipopulerkan oleh d\'Masiv)