Memaknai Kecerdasan Buatan dalam Goresan Peradaban
Seniman Kelompok Tu7uh Rupa memaknai kecerdasan buatan lewat instalasi dan lukisan pada pameran Titimangsa di BBJ.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) mengundang kekaguman sekaligus kecemasan. Padahal, beragam buah kecerdasan sudah sejak lama menggores peradaban manusia. Tujuh seniman dari Kelompok Tu7uh Rupa memaknai perjalanan kecerdasan itu lewat karya instalasi dan lukisan yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) pada 10-16 November 2023.
Pameran bertajuk Titimangsa ini menampilkan 14 lukisan dan satu seni instalasi. Pameran ini dibuka oleh Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Hendry Ch Bangun, Kamis (9/11/2023) malam.
Tujuh perupa yang berpartisipasi adalah Ireng Halimun, Novandi, M Hady Santoso, Feriendas, Ernawan Prianggodo, Yusuf Dwiyono, dan M Solech. Mereka memaknai kecerdasan dengan beragam interpretasi.
Perupa M Hady Santoso memaknai petilasan kecerdasan manusia lewat seni instalasi ”Melipat Waktu” dan lukisan ”Jejak Peradaban Nusantara”. Keduanya dikawinkan dalam satu format displai. Lukisannya menginterpretasikan masa lalu, sementara instalasinya menggambarkan perkembangan masa kini dan masa mendatang.
”Sekarang kita tercengang dengan kehadiran AI. Padahal, peradaban bangsa Nusantara di masa lalu juga mempunyai kecerdasan yang hebat di masanya. Pesan ini yang ingin saya sampaikan,” ujarnya.
Instalasi ”Melipat Waktu” terinspirasi dari otak manusia. Instalasi ini terbuat dari bubur kertas yang dibentuk menyerupai otak manusia. Bahan dasarnya berasal dari koran dan karton bekas seberat 15 kilogram.
Hady mengatakan, karya instalasi itu menggambarkan peradaban Atlantis yang disimbolkan sebagai peradaban maju di masanya. Namun, wilayah itu tenggelam di dasar lautan akibat gempa. Ia meyakini, daratan yang tersisa berada di Indonesia.
Sementara lukisan ”Jejak Peradaban Nusantara” terinspirasi dari lukisan dinding di goa-goa purba yang tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lukisan dinding goa puluhan ribu tahun tersebut merupakan salah satu petunjuk yang menandai eksistensi nenek moyang bangsa Nusantara di masa lalu.
”Lukisan goa juga bukti kecerdasan generasi pendahulu kita di masanya. Hal ini yang perlu disadari oleh generasi sekarang agar tidak minder dengan kecerdasan buatan yang sedang tren,” katanya.
Instalasi ’Melipat Waktu’ terinspirasi dari otak manusia. Instalasi ini terbuat dari bubur kertas yang dibentuk menyerupai otak manusia.
Menurut Hady, kehadiran AI tidak perlu ditanggapi dengan ketakutan berlebihan. Ia meyakini, kecerdasan buatan tidak akan melampaui kecerdasan otak manusia, terutama dalam menghasilkan orisinalitas ide dan kreativitas.
Ia mengutip pernyataan CEO Open AI Sam Altman yang menyebutkan, AI tidak akan pernah lebih pintar dari otak manusia selagi masih ada ide-ide brilian yang dihasilkan otak manusia. Jadi, kehadiran AI bukan sebagai pesaing, melainkan mitra manusia dalam mengerjakan berbagai hal.
Menghasilkan kreativitas
”Kecerdasan buatan atau AI memang bisa meniru dengan sangat hebat. AI juga cerdas, terutama dalam menjiplak. Namun, otak manusia menghasilkan kreativitas yang luar biasa. Ini yang menjadi keunggulan,” ucapnya.
Dua lukisan Novandi berjudul ”Urat Ni Nangka Ma Tu Urat Ni Hotang Tudia Hamu Mangalangka Di Si Ma Dapotan” dan ”Hana Nguni Hana Mangke, Tan Hana Nguni Tan Hana Mangka” memotret jejak kecerdasan dengan mengeksplorasi aksara Batak dan bahasa Sunda kuno. Lukisan ini masing-masing terdiri atas dua panel yang menjembatani masa lalu dan era modern yang dilambangkan dengan kode-kode digital.
Kurator Bentara Budaya, Efix Mulyadi, mengatakan, tema AI menarik untuk diulas karena sangat dekat dengan kehidupan manusia era sekarang. Kecerdasan buatan nyaris tidak bisa dilepaskan dari aktivitas sehari-hari.
”Pertanyaannya, apakah AI akan membantu kehidupan atau bakal menjadi pesaing? Terlebih lagi, apakah menjadi musuh? Sebab, tetap ada kemungkinan AI menjadi mandiri dan lepas dari kontrol manusia,” ujarnya.
Efix menilai, para perupa dalam pameran tersebut umumnya bersikap moderat dengan memandang AI sebagai penolong yang bisa meringankan dan memudahkan kehidupan manusia. Namun, ada juga yang menempatkan AI dan prospek pengembangannya sebagai bagian dari sejarah peradaban.
”Potongan sejarah umat manusia dan lingkungan alamnya yang bolak-balik terancam punah dan mampu bangkit kembali. Lukisan di goa-goa prasejarah menandai kehadiran manusia yang telah mampu mengekspresikan kehadirannya di tengah alam semesta.”
Efix menambahkan, manusia modern sering merasa kagum sekaligus tak berdaya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehidupan mereka juga tidak terlepas dari berbagai mitos.
Di era sekarang, menurut Efix, mitos kontemporer di Indonesia barangkali termasuk kasus korupsi dan hukum yang tak berkeadilan. Bisa juga identitas kelompok yang menguat sehingga berpotensi mengancam kebersamaan.
”Hal-hal itu seperti di luar kendali kita. Lantas, apakah AI boleh dimasukkan dalam deretan atau kelompok itu? Ini bergantung bagaimana cara kita memandangnya,” ujarnya.
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri menuturkan, selain menyajikan karya yang menarik, tajuk Titimangsa yang diangkat dalam pameran itu juga mempunyai momentum yang bagus. Dalam budaya Jawa, titimangsa sering diasosiasikan dengan momen yang ditandai peristiwa tertentu. Artinya, waktu tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari peristiwa yang berlangsung pada momen tersebut.