Lukisan Penangkap Realitas Kehidupan
Kata-kata terkadang tak cukup menggambarkan kompleksnya realitas kehidupan. Realitas itu justru ditangkap dan dimaknai lebih mendalam melalui lukisan yang lugas merefleksikan fenomena-fenomena sosial.
Kebanyakan ilmuwan memotret realitas kehidupan dalam tulisan dan buku. Mengamati aktivitas masyarakat, meneliti dengan metode ilmiah, dan menuliskannya sebagai gagasan intelektual.
Akan tetapi, pakem itu tidak cukup bagi Bapak Antropologi Indonesia, Prof Koentjaraningrat (1923-1999). Lukisan bertema manusia dan budaya karyanya menjadi pendamping sepadan bagi buku-bukunya yang menjadi bacaan wajib bagi dunia antropologi Tanah Air.
Sekitar 60 lukisan karya Pak Koen-demikian sapaan akrabnya–dipajang dalam pameran budaya dan seni Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat” di Bentara Budaya Jakarta, pada 8-15 Juni 2023. Meski hanya melihat sekilas, pengunjung dapat menangkap nuansa antropologi di lukisannya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Semiarto Aji Purwanto mengatakan, antropologi merupakan ilmu tentang manusia dan mendeskripsikan aktivitasnya, termasuk dalam kebudayaan atau adat istiadat. ”Banyak orang mengenal Pak Koen sebagai antropolog melalui tulisan-tulisannya. Namun, ternyata beliau paripurna karena juga bisa mengungkapkan realitas kehidupan secara visual dalam lukisan-lukisan penuh makna,” ujarnya di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (9/6/2023).
Baca Juga: Merawat Jejak Seabad Koentjaraningrat
Pernyataan ini bisa diuji dengan mengamati kekhasan lukisan Koentjaraningrat. Lukisan tahun 1990 berjudul ”Anak Baduy Dalam”, misalnya, menggambarkan tiga anak laki-laki yang mengenakan jamang atau baju dan ikat kepala atau telekung putih.
Selain itu, ketiganya menggunakan bawahan atau kain samping berwarna hitam. Mereka tidak memakai alas kaki. Perpaduan busana ini merupakan ciri khas masyarakat Baduy Dalam yang masih dipertahankan hingga sekarang.
Lukisan tahun 1989 berjudul ”Ibu & Anak Irian” menggambarkan seorang ibu menggendong anaknya di pundak. Keduanya dilukiskan bertelanjang dada.
Lihat Juga: Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat
Ada juga lukisan ”Anak-anak Sasak” yang dibuat pada 1990. Obyek lukisan ini adalah empat anak Suku Sasak, Nusa Tenggara Barat, dengan latar rumah adat suku tersebut.
Koentjaraningrat juga intens memotret realitas budaya. Hal ini antara lain terekam dalam beberapa lukisannya berjudul ”Penari Jaipong”, ”Penari Bali”, ”Penari Jawa”, ”Barong”, serta ”Gatotkaca & Jatayu”.
”Dalam merefleksikan pengamatannya, Pak Koen menggunakan media yang menarik, yaitu lewat seni rupa. Ini bisa dipakai untuk lebih mendalami antropologi secara visual,” kata Semiarto.
Kekayaan penelitian lapangan
Kemampuan Koentjaraningrat menangkap realitas kehidupan lewat lukisan tidak terlepas dari kekayaan pengalamannya dalam penelitian lapangan. Pada 1958-1959, ia meneliti masyarakat di Pegunungan Serayu Selatan, Jawa Tengah. Selanjutnya, ia meneliti warga adat Bonggo di pesisir utara Irian Jaya (sekarang Papua) pada 1963-1964.
Ia juga meneliti nilai budaya penduduk daerah semi industri di Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara pada 1984. Sementara pada 1984 mengamati pembangunan dan perubahan kebudayaan di Jateng.
Antropolog kelahiran Yogyakarta, 15 Juni 1923, itu tak luput mengkaji kehidupan sosial di luar negeri. Ia meneliti masyarakat nelayan di Teluk Ijsselmeer, Belanda, pada 1967, serta kemajemukan suku bangsa di Yugoslavia dan konflik bahasa di Belgia pada 1987-1988.
Akan tetapi, karya seni rupa Koentjaraningrat masih kurang diekspos. Padahal, menurut Hilmar, hal itu diperlukan untuk mengetahui dan membedah latar pemikiran di balik pembuatan setiap lukisannya.
Pak Koen menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Sastra UI pada 1953. Ia kemudian meraih gelar Master of Arts di bidang Antropologi dari Yale University pada 1956. Setelah itu meraih gelar doktor antropologi di Fakultas Sastra UI pada 1958.
Anak Koentjaraningrat, Sita Damayanti Satar, mengatakan, kata antropologi amat melekat pada nama ayahnya. ”Hal ini tidak berlebihan karena sebagian besar hidupnya didedikasikan pada ilmu antropologi yang dicintainya,” katanya.
Selain menulis, Pak Koen juga suka melukis. Di waktu senggang saat masa SMA, ia terbiasa melukis dan mempelajari tari Jawa.
Kontribusinya pada ilmu antropologi tak terbantahkan. Penulis buku Sejarah Teori Antropologi itu merintis berdirinya 11 jurusan antropologi di berbagai universitas di dalam negeri.
Karya buku lainnya berjudul Pengantar Ilmu Antropologi, Tokoh-Tokoh Antropologi, Masyarakat Desa di Indonesia, Metodologi Penelitian Masyarakat, dan Ritus Peralihan di Indonesia. Hingga saat ini, karya-karya dan pemikirannya kerap menjadi acuan penelitian mengenai sosial budaya dan masyarakat Indonesia.
Kurang diekspos
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid menuturkan, Koentjaraningrat mampu merekam realitas melalui tulisan dan visual. Dia mempunyai daya aktualitas dan artistik yang kuat.
Pak Koen melukis dengan berbagai media, seperti pensil, krayon, cat air, cat minyak, dan tinta hitam. Dengan pendekatan realis, lukisannya menampilkan gambaran kehidupan masyarakat sehari-hari.
”Setiap pilihan ini tentu berdampak bagaimana karya itu dieksekusi. Dari karyanya, sangat kelihatan kalau pelukisnya menguasai bidang itu, seni visual,” ujarnya.
Akan tetapi, karya seni rupa Koentjaraningrat masih kurang diekspos. Padahal, menurut Hilmar, hal itu diperlukan untuk mengetahui dan membedah latar pemikiran di balik pembuatan setiap lukisannya.
”Misalnya, sosok anak begitu menonjol dalam lukisan Pak Koen. Pemikiran di belakangnya yang kita ingin tahu,” katanya.
Baca Juga: Kedepankan Strategi Pembangunan Berbasis Lokalitas
Kurator Bentara Budaya Efix Mulyadi menyebutkan, Koentjaraningrat memiliki kemampuan olah seni rupa yang mumpuni. Dengan pendekatan realisme, lukisan-lukisannya menghadirkan benda atau obyek seperti dalam kehidupan nyata.
”Betapa keterampilannya begitu tinggi. Seorang yang betul-betul ilmuwan dan betul-betul pelukis. Itu satu anugerah luar biasa,” ujarnya.
Menurut Efix, lukisan Koentjaraningrat tidak kalah bagus dari karya pelukis-pelukis terkenal. Namun, dalam rutinitasnya sebagai ilmuwan, Pak Koen tidak punya cukup waktu untuk ”berkibar” dalam dunia seni rupa.
”Akan tetapi, keunggulannya tetap tak berkurang karena hal itu. Banyak karyanya menunjukkan kedekatan dengan dunia antropologi. Lukisannya selalu berkutat pada manusia. Itu sesuatu yang khas dan sangat menarik,” ujarnya.
Melalui tulisan ilmiah dan lukisan, Koentjaraningrat membuktikan jika sains dan seni bukanlah dunia yang selamanya terpisah. Keduanya justru saling melengkapi sehingga membuat daya tangkapnya terhadap realitas kehidupan menjadi lebih utuh dan tajam.