Pemikiran Koentjaraningrat masih melekat dalam jagat ilmu antropologi saat ini. Lukisannya yang bertema manusia dan budaya menunjukkan kekayaan kreativitasnya dalam merekam realitas sosial.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Suasana pembukaan pameran budaya dan seni Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (8/6/2023) malam. Dalam pameran tersebut, ditampilkan karya-karya lukisan, pemikiran, dan koleksi Koentjaraningrat, ilmuwan dan tokoh antropologi pertama Indonesia.
Sebagai ilmuwan, Profesor Koentjaraningrat (1923-1999) tidak hanya meninggalkan jejak intelektual dalam buku yang memuat pemikirannya. Bapak Antropologi Indonesia itu juga mewariskan jejak seni budaya lewat karya lukisan, koleksi keris, dan berbagai benda memorabilia lainnya. Melalui pameran menyambut satu abad kelahirannya, jejak-jejak itu terus dirawat agar tetap diingat.
Puluhan lukisan yang dipajang di Bentara Budaya Jakarta seakan menggambarkan sisi lain Koentjaraningrat, Kamis (8/6/2023). Namun, lukisan yang didominasi tema manusia dan budaya itu justru menampilkan keutuhan Pak Koen, demikian sapaan akrabnya, dalam menyelami jagat antropologi.
Beberapa lukisannya kental dengan nuansa masyarakat adat, seperti yang berjudul ”Anak Baduy Dalam”, ”Anak-anak Sasak”, serta ”Ibu dan Anak Irian”. Ada juga karya bertema seni budaya, dalam dan luar negeri, di antaranya berjudul ”Penari Jaipong”, ”Penari Bali”, ”Menara Pura Batubulan”, ”Barong”, ”Gatotkaca dan Jatayu”, ”Anak Jepang Berkimono”, serta ”Kuil Jepang”.
Buah kreativitas seni rupa tersebut ikut mengiringi perjalanan hidup Koentjaraningrat merintis berdirinya 11 jurusan antropologi di berbagai universitas di Tanah Air. Tak heran jika namanya kerap diidentikkan dengan antropologi.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid (kanan) menerima cendera mata dari Ibu Stien Koentjaraningrat saat pembukaan pameran budaya dan seni Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (8/6/2023) malam.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, Koentjaraningrat mampu merekam realitas melalui tulisan dan visual. ”Orang mungkin melihat ini (lukisan) sisi lain Pak Koen. Tidak. Dia punya kemampuan aktual dan artistik yang kuat. Untuk menangkap realitas, sering kali kata-kata saja tidak cukup,” ujarnya saat membuka pameran budaya dan seni ”Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat”, Kamis malam.
Upaya Koentjaraningrat merekam realitas sosial dalam lukisan bukanlah kebetulan. Hal ini dilatarbelakangi dengan pemahaman yang kuat. Oleh sebab itu, lukisannya bukan sekadar gambar.
Antropolog kelahiran Yogyakarta, 15 Juni 1923, itu melukis dengan berbagai media, seperti pensil, krayon, cat air, cat minyak, dan tinta hitam. Dengan pendekatan realis, lukisannya menampilkan gambaran kehidupan masyarakat sehari-hari. ”Setiap pilihan ini tentu berdampak bagaimana karya itu dieksekusi. Dari karyanya sangat kelihatan kalau pelukisnya menguasai bidang itu, seni visual,” ujarnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengunjung memfoto lukisan yang menampilkan sosok Stien Koentjaraningrat saat pembukaan pameran budaya dan seni Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (8/6/2023) malam.
Hilmar menambahkan, Koentjaraningrat juga pernah menggelar pameran seni di Bentara Budaya Jakarta pada 1987. Namun, sering kali lukisannya ditampilkan sebagai karya seorang ilmuwan yang bisa melukis. ”Padahal, seharusnya diperlakukan sebagai karya pelukis. Di situlah kita bisa menempatkan lukisan Pak Koen secara lebih obyektif dalam perjalanan sejarah seni rupa di Indonesia,” katanya.
Pameran yang berlangsung hingga 15 Juni 2023 itu turut menampilkan buku-buku karya Koentjaraningrat, seperti Pengantar Ilmu Antropologi, Sejarah Teori Antropologi, Tokoh-tokoh Antropologi, Masyarakat Desa di Indonesia, Metodologi Penelitian Masyarakat, dan Ritus Peralihan di Indonesia.
Hingga saat ini, karya-karya dan pemikirannya kerap menjadi acuan penelitian mengenai sosial budaya dan masyarakat Indonesia. Selain pameran, peringatan seabad Koentjaraningrat juga diisi dengan kegiatan diskusi, seminar, peluncuran buku, dan pementasan wayang orang.
Upaya Koentjaraningrat merekam realitas sosial dalam lukisan bukanlah kebetulan. Hal ini dilatarbelakangi dengan pemahaman yang kuat. Oleh sebab itu, lukisannya bukan sekadar gambar.
Pak Koen menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1953. Kemudian ia meraih gelar Master of Arts di bidang Antropologi dari Yale University tahun 1956 dan meraih gelar Doktor Antropologi di Fakultas Sastra UI pada 1958.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Profesor Semiarto Aji Purwanto mengatakan, Koentjaraningrat lebih dari sekadar ahli antropologi. Tulisan-tulisannya tidak hanya populer di kalangan kampus dan pengambil kebijakan, tetapi juga masyarakat luas.
”Dia membangun ilmu antropologi di Indonesia. Posisi penting ini tidak tergantikan,” ujarnya.
Kepiawaian Koentjaraningrat dalam melukis sejalan dengan kegigihannya memotret berbagai fenomena di masyarakat. Sebab, antropologi juga mendeskripsikan budaya dan kehidupan manusia dalam beragam medium.
Penghargaan Bintang Mahaputera Utama ditampilkan dalam pameran budaya dan seni Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (8/6/2023) malam. Dalam pameran tersebut, ditampilkan karya-karya lukisan, pemikiran, dan koleksi Koentjaraningrat, ilmuwan dan tokoh antropologi pertama Indonesia.
”Mendeskripsikan itu bisa dengan tulisan. Di masanya, Pak Koen punya media menarik, yaitu lukisan. Di masa sekarang semakin kaya dengan audio visual dan infografik,” ujarnya.
Integrasi bangsa
Menurut Aji, Koentjaraningrat mengembangkan antropologi di Indonesia tidak sebatas mendalami ilmunya. Namun, hal itu juga menjadi kepentingan Indonesia masa depan, terutama dalam menjaga keutuhan bangsa. ”Apa yang membuat negara kita terintegrasi sebagai satu kesatuan bangsa? Antara lain lewat ilmu antropologi dengan memperkuat pemahaman kita sebagai bagian dari bangsa yang tidak terpisahkan,” ujarnya.
Menurut Aji, dalam ilmu antropologi, data penelitian bukanlah satu-satunya hal penting. Refleksi peneliti terhadap data tersebut juga tak kalah pentingnya. Obyek anak-anak masyarakat adat mendominasi lukisan Pak Koen. ”Barangkali beliau merefleksikan masa depan Indonesia ada di suku-suku bangsa tersebut. Bukan di generasi saat itu, melainkan di masa depan,” ujarnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Suasana pembukaan pameran budaya dan seni Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (8/6/2023) malam.
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri menyebutkan, cara memahami kebudayaan ala Koentjaraningrat terus menjadi rujukan meskipun telah bermunculan banyak teori baru. Salah satu yang dirujuk adalah definisi kebudayaan yang merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
”Mengapa teori kebudayaan Koentjaraningrat menjadi rujukan penting? Karena rumusan itu sederhana dan tepat,” katanya.
Kurator Bentara Budaya, Efix Mulyadi, menyebutkan, Koentjaraningrat juga seorang penari. Di dalam kultur Jawa, penari tidak hanya belajar gerak tari dan berbagai kaitannya dengan karakter sosok yang dibawakan, tetapi juga mesti mendalami filosofinya.
”Menari bukan sekadar perkara teknik mengolah tubuh, melainkan juga memahami dan mengalami isi atau nilai-nilai di balik yang kasat mata. Lengkaplah hidup seorang Koentjaraningrat,” ujarnya.