Kedepankan Strategi Pembangunan Berbasis Lokalitas
Strategi pembangunan semestinya berorientasi kepentingan lokal dan mempertimbangkan unsur sosial budaya. Hal ini sangat terbuka diwujudkan lewat desentralisasi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Suasana diskusi publik “Pemikiran Koentjaraningrat tentang Manusia Indonesia dan Masalah-masalah Kebangsaan Masa Kini” di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (9/6/2023). Diskusi ini merupakan rangkaian dari pameran budaya dan seni Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat yang digelar di Bentara Budaya Jakarta pada 8-15 Juni 2023.
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan antropologi bisa menjadi landasan kuat bagi banyak sektor, termasuk pembangunan. Dengan keberagaman masyarakat dan wilayahnya yang luas, Indonesia perlu mengedepankan strategi berbasis lokalitas sehingga tidak melupakan aspek sosial budaya.
Desentralisasi yang lahir berkat reformasi 1998 membuka peluang untuk menjalankan pembangunan berbasis lokalitas itu. Namun, kesempatan itu kurang dioptimalkan. Padahal, strategi ini berguna untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.
”Kita perlu mengedepankan strategi pembangunan berbasis lokalitas sehingga bisa menghasilkan segala sesuatu yang inklusif,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Profesor Semiarto Aji Purwanto dalam diskusi publik ”Pemikiran Koentjaraningrat tentang Manusia Indonesia dan Masalah-masalah Kebangsaan Masa Kini” di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (9/6/2023).
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Profesor Semiarto Aji Purwanto menghadiri diskusi publik “Pemikiran Koentjaraningrat tentang Manusia Indonesia dan Masalah-masalah Kebangsaan Masa Kini” di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (9/6/2023).
Diskusi ini dimoderatori Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra. Kegiatan diskusi merupakan rangkaian dari pameran budaya dan seni Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat yang digelar di Bentara Budaya Jakarta pada 8-15 Juni 2023. Selain itu, akan ada juga peluncuran buku dan diskusi seni rupa pada 13 Juni serta pementasan wayang orang pada 15 Juni.
Aji menuturkan, dalam mengembangkan jurusan antropologi di perguruan tinggi di Tanah Air, Profesor Koentjaraningrat (1923-1999) tidak hanya bertujuan mengenalkan keragaman etnografi. Namun, Bapak Antropologi Indonesia itu ikut menekankan antropologi sebagai salah satu instrumen pembangunan.
Pembangunan semestinya berorientasi kepentingan lokal dan melibatkan unsur sosial budaya. Hal ini sangat terbuka diwujudkan lewat desentralisasi yang mendistribusikan kekuasaan ke daerah, termasuk dalam melakukan pembangunan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Foto udara aktivitas pembangunan Bendungan Temef di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Selasa (6/62023). Bendungan berbiaya Rp 2,7 triliun ini ditargetkan akan selesai seluruhnya pada tahun 2023.
Menurut Aji, setelah berakhirnya sistem sentralistik Orde Baru, seharusnya tidak ada lagi satu strategi besar untuk pembangunan di setiap daerah. Konsep pembangunan di level nasional cukup bersifat umum.
”Mesti ada reorientasi dari sisi kebijakan praksis. Tidak bisa lagi ada satu lembaga khusus yang merencanakan program pembangunan untuk semua daerah,” ujarnya.
Aji mencontohkan, musyawarah perencanaan pembangunan tingkat desa telah menunjukkan perencanaan partisipatif. Sebab, masyarakat terlibat langsung menentukan arah pembangunan.
Namun, sering kali orientasi pembangunan itu bergeser dalam musrenbang di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Pengklusteran program yang dihimpun dari banyak tempat justru berpotensi membuat unsur partisipasi di tingkat akar rumput tersebut kurang diakomodasi.
Setelah berakhirnya sistem sentralistik Orde Baru, seharusnya tidak ada lagi satu strategi besar untuk pembangunan di setiap daerah. Konsep pembangunan di level nasional cukup bersifat umum.
”Yang tadinya (program pembangunan) sangat spesifik, begitu naik (level musrenbang) menjadi terkelompok. Misalnya, dikelompokkan dalam program penguatan institusi pertanian atau perikanan. Padahal, di level bawah tidak seperti itu,” jelasnya.
Strategi pembangunan yang tepat sasaran membutuhkan kreativitas daerah. Namun, menurut Aji, kreativitas itu justru lebih sering muncul sebatas pelaporan program, tidak dalam pelaksanaan di lapangan.
”Memang diperlukan strategi berorientasi lokal. Malangnya, dalam birokrasi kebanyakan, inginnya satu model. Padahal, sudah diberi kesempatan untuk membuat strategi kebijakan berbeda,” katanya.
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robert, mengatakan, meskipun pembangunan penting, aspek kemanusiaan dan kebudayaan juga tidak boleh dikesampingkan. Kedua aspek ini menjadi fokus dari pemikiran Koentjaraningrat.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Koleksi buku-buku Koentjaraningrat ditampilkan dalam pameran budaya dan seni "Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat" di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (8/6/2023) malam.
”Kita bisa saja bicara panjang tentang pembangunan. Namun, kalau tidak memahami manusia dan budayanya, mau seperti apa jadinya?” katanya.
Robert mencontohkan pembangunan di Papua yang kurang mempertimbangkan dimensi kultural. Kebijakan pembangunan di sana terkesan memakai pendekatan top down atau dari atas ke bawah sehingga cenderung sentralistik.
”Mestinya itu kita balik agar tidak mengulang sejarah buruk seperti model Orde Baru. Belum lagi dengan adanya tantangan perubahan iklim. Jadi, mana bisa lagi memakai konsep pembangunan lama,” jelasnya.
Visi kebangsaan
Semiarto Aji menyebutkan, dalam mengembangkan antropologi di Indonesia, Pak Koen, sapaan akrab Koentjaraningrat, tidak cuma fokus pada keilmuannya. Gagasannya dalam mengenalkan etnografi juga bertujuan merekatkan persatuan bangsa.
”Di sini, kita bisa melihat visi kebangsaan Pak Koen. Ia menawarkan antropologi bukan sekadar ilmu, melainkan pendekatan alternatif menyatukan bangsa,” ujarnya.
Koentjaraningrat menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Sastra UI pada tahun 1953. Kemudian ia meraih gelar Master of Arts di bidang Antropologi dari Yale University pada 1956 dan meraih gelar Doktor Antropologi di Fakultas Sastra UI pada 1958.
Ia merintis berdirinya 11 jurusan antropologi di berbagai universitas di Tanah Air. Tak heran jika namanya kerap diidentikkan dengan antropologi. Tulisan-tulisannya tidak hanya populer di kalangan kampus dan pengambil kebijakan, tetapi juga masyarakat luas.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Antropolog budaya Sandra Hamid menghadiri diskusi publik “Pemikiran Koentjaraningrat tentang Manusia Indonesia dan Masalah-masalah Kebangsaan Masa Kini” di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (9/6/2023).
Antropolog budaya Sandra Hamid menyebutkan, pemikiran Koentjaraningrat menjadi pelajaran penting mengenai apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Ia kerap menguraikan berbagai persoalan sosial, seperti ledakan populasi dan kemiskinan, kemudian mencoba mencari jalan keluarnya.
”Yang menarik dari Pak Koen adalah selalu memberikan solusi. Jika ada masalah, dia bilang harus melakukan perubahan, ini ada caranya,” ujarnya.