Penyandang autisme cenderung mendapatkan ruang sempit dalam berekspresi. Padahal, kekayaan imaji seniman autistik yang dituangkan dalam beragam karya seni justru memperluas lanskap artistik.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Para pengunjung melihat karya lukisan yang dipamerkan di acara pameran seni rupa bertajuk Bianglala Seribu Imajinasi” di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (5/3/2023). Pameran seni rupa bertajuk ”Bianglala Seribu Imajinasi” ini diselenggarakan dalam rangka Hari Peduli Autisme Sedunia pada April 2023. Pameran ini menampilkan karya dari 29 seniman penyandang autisme.
JAKARTA, KOMPAS — Stigma terhadap penyandang autisme terus menjalar ke berbagai ruang, termasuk dalam berekspresi. Padahal, karya seni yang mereka hasilkan tak kalah indah, bahkan punya keunggulan tersendiri. Imaji seniman autistik tersebut justru memperluas lanskap artistik.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah untuk memberi tempat bagi penyandang autisme dalam ruang sosial, kultural, dan berkesenian. Penyebabnya adalah prasangka dan stigma yang berujung pada perlakuan diskriminatif.
Padahal, ruang berkesenian harus inklusif agar bisa menampung semua golongan. Namun, diskursus inklusivitas sering kali hanya membahas perbedaan etnik, agama, dan identitas sosial lainnya. Sementara perbedaan kondisi fisik dan mental cenderung jarang dibahas.
FAKHRI FADLURROHMAN
Seorang pengunjung memotret karya seni berupa origami yang dipamerkan di acara pameran seni rupa bertajuk Bianglala Seribu Imajinasi” di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (5/3/2023).
Saat membuka pameran seni rupa ”Bianglala Seribu Imajinasi” di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (5/4/2023), Hilmar menyampaikan, karya para seniman autistik menangkap banyak metafora dan imajinasi yang tidak lazim. ”Ini sangat penting. Kalau ingin ruang budaya yang inklusif, biarkan semua orang masuk, termasuk penyandang autisme. Lanskap artistik kita akan jauh lebih luas dari yang kita bayangkan,” ujarnya.
Pameran yang digelar bekerja sama dengan Yayasan Autisma Indonesia itu menampilkan 102 karya dari 29 seniman autistik. Selain dari Jakarta, mereka berasal dari sejumlah kota, yaitu Bogor, Serang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Bandar Lampung.
Pameran berlangsung di Bentara Budaya Jakarta pada 6-11 April, pukul 10.00-18.00. Karya yang ditampilkan terdiri dari beragam tema, mulai dari aktivitas sehari-hari, kebudayaan, lanskap kota, bencana, hingga spiritualitas.
Masih banyak pekerjaan rumah untuk memberi tempat bagi penyandang autisme dalam ruang sosial, kultural, dan berkesenian. Penyebabnya adalah prasangka dan stigma yang berujung pada perlakuan diskriminatif.
Lukisan berjudul ”Pasar Tradisional” karya Gregorius Andhika Meidiyanto, misalnya, menggambarkan suasana pasar yang sangat sibuk. Lukisan ini menonjolkan beberapa detail, tidak hanya aneka jenis barang dagangan, tetapi juga interaksi antara penjual dan pembeli.
Sementara seniman Anugrah Fadly memamerkan lukisan berjudul ”Abstraksi Gempa Turki”. Goresan cat akrilik yang tidak rata memunculkan nuansa kerusakan akibat bencana tersebut.
Adapun seniman Anfield Wibowo menampilkan lukisan berjudul ”Malaikat Gabriel dan Maria”. Dua lukisan dengan dasar berwarna hitam ini tidak menggambarkan obyek yang terlalu konkret, tetapi menjadi salah satu karya yang sangat menarik perhatian pengunjung untuk berfoto.
Para pengunjung melihat lukisan yang dipamerkan di acara pameran seni rupa bertajuk Bianglala Seribu Imajinasi” di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (5/3/2023).
Menurut Hilmar, ruang berkesenian perlu lebih banyak menampilkan karya dari sudut pandang berbeda. Sebab, penyandang autisme lebih intens dan lebih fokus dalam berimajinasi sehingga menghasilkan karya tidak biasa.
”Kebanyakan teman-teman ini (seniman autistik) tidak belajar seni secara formal. Namun, teknik mereka terus berkembang, dan hal itu muncul dari dalam (diri). Cara mereka mengaplikasikan cat, membuat detail, sangat mengesankan,” ujarnya.
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri menuturkan, dalam karya seni, kegilaan atau hal lainnya yang berkaitan tidak disisihkan, bahkan dirayakan. Ia berharap pameran itu semakin memperkaya khazanah seni rupa Indonesia yang tidak hanya diisi seniman jebolan perguruan tinggi seni atau seniman umum lainnya, tetapi juga seniman dengan catatan autisme.
FAKHRI FADLURROHMAN
Seorang pengunjung memotret karya seni berupa origami yang dipamerkan di acara pameran seni rupa bertajuk ”Bianglala Seribu Imajinasi” di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (5/3/2023).
Ilham menceritakan kisah pelukis Belanda, Vincent van Gogh, saat menghasilkan karya ”The Starry Night”. Ia divonis memiliki gangguan mental setelah memotong telinganya. Lukisan itu kemudian menjadi salah satu ikon dari karya post-impresionisme.
”Itu membuktikan gangguan mental bukanlah halangan (dalam berkarya). Bahkan, dalam kesenian, diberi porsi yang cukup besar,” ucapnya.
Kurator Bentara Budaya, Efix Mulyadi, menyebutkan, dunia penyandang autisme pada umumnya berada di luar kesadaran masyarakat, termasuk dengan apa yang dihasilkan dalam bidang seni. Prasangka lebih sering berperan ketika menghadapi kenyataan bahwa mereka juga mampu membuat karya seni yang unggul.
”Ayo kita terima mereka sebagaimana kita menerima teman-teman seniman yang lain,” katanya.