Pekan ini merupakan kesempatan untuk mendidik diri tentang perlunya menciptakan masyarakat yang lebih menerima individu autis, bukan lagi sebagai liyan, melainkan sebagai manusia yang berpikir dan berperilaku beragam.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
”Orang dewasa sering marah tentang orang dengan autisme. Itulah yang saya alami dan saya alami sepanjang hidup saya.... Saya tidak rusak atau bodoh dan saya bekerja keras untuk belajar. Saya sekarang berbicara beberapa,” tulis Andrew Collins (19) di autismspeaks.org, laman blog yang didedikasikan untuk menyuarakan orang-orang dengan autisme.
Autism Speaks didirikan pada Februari 2005 oleh Bob Wright, Wakil CEO General Electric, dan istrinya Suzanne, setahun setelah cucu mereka didiagnosis autis. Kini, Autism Speakstelah menjadi salah satu organisasi nirlaba besar yang mengadvokasi dan mensponsori penelitian tentang autisme di Amerika Serikat.
Collins hanya salah satu dari banyak anak yang memberikan testimoninya. ”Saya tidak menyakiti orang sekarang, tetapi saya melakukan beberapa hal yang membuat saya terlihat aneh bagi banyak orang,” tulis Collins. ”Kami istimewa dan belajar dengan cara kami sendiri, tapi mungkin saya akan sulit mencari kerja.”
Orang dengan spektrum autisme memang berbeda. Namun, perbedaan itu bukan alasan untuk menstigma dan menutup ruang mereka untuk berkarya. Apalagi, semakin banyak anak dan orang dewasa yang didiagnosis dengan spektrum ini.
Studi yang ditulis Jinan Zeidan dari McGill University Montreal dan tim di jurnal Autism Research pada awal Maret 2022 menemukan bahwa prevalensi global autisme telah meningkat menjadi 1 dari 100 anak. Angka ini naik 62 dari 10.000 dalam satu dekade sebelumnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam publikasinya pada akhir Maret 2023 menggunakan kajian Zeidan ini sebagai rujukan prevalensi autisme 1 : 100 anak. Namun, ini mewakili rata-rata global. Negara dengan pendataan lebih baik melaporkan angka yang jauh lebih tinggi.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat pada 2021 melaporkan, 1 dari 54 anak di AS telah didiagnosis autisme di usia 8 tahun, dibandingkan dengan 1 dari 150 pada tahun 2000. Autisme lebih banyak dialami anak laki-laki, dengan prevalensi 1 : 37, sedangkan pada anak perempuan 1 : 151.
Kemajuan dalam diagnostik dan pemahaman yang lebih besar serta kesadaran terhadap autisme mendorong peningkatan prevalensi tersebut. Namun, banyak bukti juga menunjukkan bahwa autisme dipengaruhi oleh faktor lingkungan, termasuk paparan polusi, selain faktor genetik.
Evolusi autisme
Pemahaman tentang autisme terus berkembang seiring dengan tren peningkatan kasusnya. Istilah autisme awalnya dikemukan psikiater Jerman Eugen Bleuler pada 1911 untuk menggambarkan gejala dari kasus skizofrenia yang parah. Berasal dari istilah Yunani autos berarti ’diri sendiri’, kata autisme digunakan Bleuler untuk mengartikan kekaguman diri yang tidak wajar dan penarikan diri.
Menurut Bleuler, pemikiran autisme ditandai dengan keinginan kekanak-kanakan untuk menghindari realitas yang tidak memuaskan dan menggantinya dengan fantasi dan halusinasi.
Namun, banyak psikolog anak menantang pendapat Bleuler. Autisme kemudian sepenuhnya dirumuskan kembali sebagai kategori deskriptif baru untuk memenuhi kebutuhan model baru perkembangan anak.
Pada 1943, psikiater anak dari AS, Leo Kanner, mengaitkan autisme dengan anak-anak yang kesulitan interaksi sosial, kesulitan beradaptasi, ingatan yang baik, kepekaan terhadap rangsangan (terutama suara), resistansi dan alergi terhadap makanan, potensi intelektual yang baik, ekolalia atau kecenderungan mengulangi kata-kata pembicara, dan kesulitan dalam aktivitas spontan.
Pada 1944, psikiater Austria, Hans Asperger, menemukan banyak anak dengan deskripsi seperti dijelaskan Kanner. Namanya kemudian digunakan untuk menyebut sindrom Asperger, suatu gangguan spektrum autisme dengan ciri-ciri kesulitan berkomunikasi dan bersosialisasi. Mereka yang mengalami sindrom ini cenderung terbata-bata dalam berkata, pendiam, dan enggan menatap mata lawan bicara.
Alih-alih membangun kesadaran keberadaan autisme, dia menuntut autisme bisa diterima sebagai bentuk keanekaragaman saraf ( neurodiversity).
Seiring dengan semakin banyaknya temuan kasus, pada April 1970 Autism Society mengadakan Bulan Kesadaran Autisme Nasional di AS. Sejak itu, autisme telah menjadi diagnosis dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 2 April 2008 sebagai Hari Autisme Sedunia untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya meningkatkan pendidikan, peluang karier, dan layanan masyarakat serta dukungan bagi individu autis.
Belakangan, Paula C Durbin-Westby, seorang autis yang juga penulis, memulai gerakan Hari dan Bulan Penerimaan Autisme pada tahun 2011. Ia menginginkan koreksi terhadap citra negatif autisme yang telah terbentuk di banyak media.
Alih-alih membangun kesadaran keberadaan autisme, dia menuntut autisme bisa diterima sebagai bentuk keanekaragaman saraf (neurodiversity). Ini adalah gagasan bahwa ada banyak cara unik untuk berpikir, berperilaku, dan belajar.
Sejarah peradaban manusia juga banyak berutang pada orang-orang yang dianggap berada dalam spektrum autisme. Banyak orang genius, termasuk Albert Einstein, Beethoven, dan Mozart, merupakan orang dengan autisme. Para genius ini rata-rata digambarkan sebagai penyendiri yang sangat fokus pada satu masalah tanpa memperhatikan pandangan orang lain.
Contoh teranyar adalah Greta Thunberg, aktivis perubahan iklim remaja Swedia yang didiagnosis mengalami sindrom Asperger sejak 2015. Sekalipun kerap dianggap asosial, orang dengan sindrom ini biasanya sangat terus terang mengungkapkan pikiran mereka dan memiliki tekad kuat. Ada banyak contoh lain, orang dengan spektrum autisme bisa berkarya, bahkan lebih hebat dari kebanyakan (neurotypical).
Saat ini kita berada di tengah Pekan Penerimaan Autisme, yang berpusat pada Hari Autisme Sedunia. Karena autisme sering distigmatisasi, pekan ini merupakan kesempatan untuk mendidik diri tentang perlunya menciptakan masyarakat yang lebih menerima individu autis, bukan lagi sebagai liyan, melainkan sebagai manusia yang berpikir dan berperilaku beragam.