Realisasi Anggaran Program Merdeka Belajar Masih Rendah
Komisi X DPR mendesak pemerintah mempercepat realisasi anggaran program Merdeka Belajar 2023.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi anggaran sejumlah program prioritas Merdeka Belajar 2023 di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi masih rendah. Capaiannya perlu diakselerasi mengingat waktu yang tersisa kurang dari dua bulan lagi.
Rendahnya realisasi anggaran itu menjadi salah satu sorotan utama Komisi X DPR saat menggelar rapat kerja dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), di Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Capaian realisasi anggaran sejumlah program masih di bawah 60 persen, di antaranya pembinaan pendidikan kesetaraan di satuan pendidikan 57,42 persen dan uji kompetensi profesi bagi mahasiswa pendidikan tinggi vokasi 30,11 persen.
Sementara capaian realisasi anggaran peningkatan kualitas perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan profesi guru 28,37 persen dan desa pemajuan kebudayaan 31,5 persen.
”Komisi X DPR mendesak Kemendikbudristek mengakselerasi langkah tindak lanjut terhadap kendala realisasi program prioritas nasional 2023 dan menekankan agar realisasi anggaran yang rendah ditingkatkan sampai akhir Desember 2023,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Agustina Wilujeng Pramestuti saat membacakan kesimpulan rapat.
Pihaknya mendesak Kemendikbudristek menyampaikan tindak lanjut temuan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan atas belanja teknologi informasi dan komunikasi tahun anggaran 2020, 2021, dan 2022. Sebab, hal itu dibutuhkan sebagai evaluasi pada program dan kegiatan yang sama pada 2023 dan 2024.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, pihaknya berkomitmen meningkatkan kinerja anggaran. Hingga 6 November 2023, realisasi anggaran Kemendikbudristek 72,41 persen (sekitar Rp 60,7 triliun dari pagu Rp 83,8 triliun).
”Akan tetapi, realisasi anggaran pada akhir tahun akan optimal pada angka 96 persen. Saat ini yang paling membutuhkan perhatian adalah belanja modal. Ada beberapa kendala yang berhubungan dengan data dukung dan pemblokiran anggaran,” ujarnya.
Banyak persoalan
Dalam rapat itu, anggota Komisi X DPR dari berbagai fraksi mempertanyakan banyak masalah yang mereka temukan saat berkunjung ke sejumlah daerah.
Persoalan yang mengemuka, antara lain, perundungan, buruknya sarana dan prasarana sekolah, pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP), serta perekrutan guru aparatur sipil negara berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (ASN PPPK).
Nadiem menuturkan, pihaknya berusaha memitigasi risiko dalam berbagai bentuk kekerasan di satuan pendidikan. Salah satunya melalui penerapan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP).
Capaian realisasi anggaran sejumlah program masih di bawah 60 persen, di antaranya pembinaan pendidikan kesetaraan di satuan pendidikan 57,42 persen.
”Kami mengawal pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan dan satuan tugas di tingkat pemerintah daerah,” katanya.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fahmi Alaydroes, mengatakan, perundungan di sekolah harus segera diatasi karena berdampak buruk pada kondisi mental siswa. Bahkan, dalam beberapa kasus merenggut korban jiwa. Asesmen nasional diharapkan menemukan akar masalahnya.
”Apa penyebab utama terjadinya perundungan? Ini harus akurat dulu. Dari sini akan menuntun kita melakukan berbagai macam pendekatan,” ucapnya.
Sekolah tak layak
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Anita Jacoba Gah, mempertanyakan banyaknya bangunan sekolah tidak layak di Nusa Tenggara Timur. Hal ini makin memprihatinkan karena sejumlah sekolah rusak akibat gempa berkekuatan M 6,3 yang mengguncang provinsi tersebut pekan lalu.
”Saya minta DAK (dana alokasi khusus) di NTT tolong dibuka datanya. Banyak sekali sekolah yang memprihatinkan. Apalagi sebentar lagi akan musim hujan. Saya mohon diperhatikan sekolah-sekolah yang tidak layak itu,” katanya.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, menuturkan, tidak sedikit sekolah kurang memahami mekanisme untuk mendapatkan bantuan dana alokasi khusus (DAK) fisik bidang pendidikan. Alhasil, banyak fasilitas di sekolah terbengkalai.
”Ada sekolah yang sekian tahun tidak pernah mendapatkan anggaran perbaikan fasilitas pendidikan. Harus ada jalan keluar untuk persoalan ini. Saya menduga banyak anggaran tidak efektif sampai ke sasarannya,” ujarnya.