Nama-nama khas Indonesia, seperti Bima Sena, Wijanarka, Wibatsu, dan nama lainnya, memiliki nilai-nilai filosofis, tetapi semakin ditinggalkan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nama-nama generasi sekarang sudah jauh berbeda dengan nama-nama orang generasi lalu. Anak-anak kebanyakan sudah diberi nama oleh orangtuanya dengan nama yang terpengaruh budaya Barat. Sementara nama-nama khas Indonesia yang tidak kalah baik dan memiliki filosofi mulai ditinggalkan.
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Restu Gunawan mengatakan, hal ini tidak salah, melainkan ada kekhawatiran nilai-nilai kebudayaan akan semakin runtuh jika nama-nama tersebut terputus. Padahal, nama-nama lokal, misalnya dari tokoh-tokoh wayang, juga memiliki arti yang baik yang bisa disematkan kepada anak.
”Hari ini mungkin nama yang diambil dari nama lokal kita mungkin tidak lebih dari separuhnya karena kita cenderung mengambil nama yang dipengaruhi Barat dan Timur Tengah. Boleh saja, tetapi sebagusnya nama lokal juga penting, karena itu juga mengandung doa,” kata Restu dalam acara Hari Wayang Nasional dan Living Intangible Cultural Heritage Forum For Wayang Puppet Theater in Indonesia (Living ICH Forum) III di Gedung Pewayangan Kautaman, Jakarta, Senin (6/11/2023).
Restu menyatakan, jika nama-nama lokal ini terus tergerus, bukan tidak mungkin suatu saat ada perubahan kebudayaan. Maka dari itu, dia berharap para pemimpin bangsa dan masyarakat turut membangun kembali kebudayaan Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua juga didorong untuk memberikan pengetahuan kebudayaan kepada anaknya agar terus diwariskan.
Menurut Restu, nenek moyang di setiap daerah di Indonesia memiliki nilai-nilai filosofis yang sangat baik untuk diterapkan sampai hari ini. Misalnya, ajaran Asta Brata yang berarti delapan ajaran sifat dewa yang harus ditanamkan dalam setiap pemimpin. Ada pula Tungku Tigo Sajarangan, istilah kepemimpinan di Minangkabau yang dibutuhkan untuk mengatur pemerintahan dan norma yang ada di masyarakat.
”Nenek moyang kita itu luar biasa dalam memberikan petuah dan tuntunan. Bukan saya tidak senang dengan teori Barat, kita belajar Barat iya, tetapi spiritualitas dan etik kita itu cukup kuat. Sehebat apa pun teknologi kita kalau spiritualitas kita lemah, negara itu akan ambruk,” ucapnya.
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Sri Teddy Rusdy, menambahkan, dekonstruksi atau perubahan yang terjadi pada filosofi wayang sudah terjadi sejak lama. Para dalang didorong untuk lebih kreatif menghadapi tuntutan zaman agar kebudayaan tidak luntur.
”Hal ini berjalan terus-menerus sejak dulu hingga sekarang termasuk zaman kekinian, maka tidak dapat demikian saja disalahkan gejala dekonstruksi itu,” kata Sri.
Sri menerangkan, pikiran pokok dalam filsafat wayang adalah eksistensialisme. Paham ini menekankan bahwa dalam kehidupan manusia, unsur pengalaman menjadi sangat penting.
Eksistensialisme memberikan tekanan pada pengalaman konkret atau pengalaman eksistensial. Maka tak heran jika banyak orang, khususnya orang Jawa, yang mengagumi dan mengidolakan tokoh wayang dalam suatu lakon tertentu sampai mau menamai anaknya sebagai tokoh wayang tertentu, seperti Bima Sena, Wijanarka, atau Wibatsu.
Misalnya, orang yang menginginkan anaknya menjadi seorang pimpinan atau raja yang baik, maka lakon yang dipilih penuh dengan ajaran filsafat, pilihlah lakon ”Wahyu Cakraningrat”. Atau orang yang menginginkan nilai kebenaran, maka ketika menonton wayang akan memilih karakter kebenaran hidup selaku manusia, seperti ”Pandawa dan Kurawa”.
Hari ini nama yang diambil dari nama lokal kita mungkin tidak lebih dari separuhnya karena kita cenderung mengambil nama yang dipengaruhi Barat dan Timur Tengah.
Sejarawan Peter Brian Ramsay Carey menegaskan, nilai-nilai kebudayaan, termasuk wayang, harus dibuat kekinian. Misalnya, dengan memopulerkan kembali komik wayang, membuat film populer tentang lakon wayang, dan sebagainya.
”Kita harus menghidupkan, menata, dan merayakan kembali kebudayaan kita. Budaya bukan sesuatu yang harga mati, ini untuk semua, ini harus hidup di dalam benak otak kita,” kata Peter.
Peringatan HWN 2023 ini sekaligus dijadikan momentum penyelenggaraan Living Intangible Cultural Heritage Forum For Wayang Puppet Theater in Indonesia (Living ICH Forum) III. Kedua agenda akan berlangsung selama tiga hari pada Selasa sampai Kamis, 7-9 November 2023.
Selama tiga hari itu para seniman, budayawan, pegiat wayang, tokoh masyarakat, pejabat, birokrat, wakil rakyat, dan masyarakat akan berkumpul membicarakan masa depan wayang. Ada pula pertunjukan wayang, kelas mendalang, kompetisi melukis wayang, dan sebagainya.
Living ICH Forum pertama kalinya digelar di Indonesia pada 2021 bersamaan dengan dirilisnya Rumah Wayang Dunia. Hal ini sesuai dengan mandat rapat Intangible Cultural Heritage (ICH) NGO’s Forum UNESCO pada 11 Desember 2019 dalam sidang ke-14 Komite Antar-Pemerintah tentang Implementasi Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda di Bogota, Kolombia.