Senawangi mendorong kebudayaan menjadi media diplomasi karena lebih efektif menciptakan perdamaian dunia daripada diplomasi politik.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi dari kekuatan pewayangan perlu lebih dioptimalkan dalam agenda pemajuan kebudayaan untuk menjadi kekuatan bangsa dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Pergelaran wayang agar terus adaptif berinovasi tanpa menghilangkan esensi agar regenerasi kebudayaan tidak terhenti.
Ketua Umum Sekretariat Nasional Wayang Indonesia (Senawangi) FH Bambang Sulistyo mengatakan, setiap pelaku budaya wayang harus bekerja keras membudayakan kembali filosofi wayang dalam keseharian. Sebab, kehidupan sosial masyarakat terbentuk dari kebudayaan yang mengakar sejak dahulu.
Dalam satu pergelaran wayang setidaknya ada tiga nilai filosofis, yakni tontonan, tuntunan, dan tatanan. Ketiga nilai ini harus tetap dipertahankan dalam pergelaran wayang karena wayang merupakan bayangan atau refleksi kehidupan manusia.
Ada ungkapan dalam bahasa Jawa, beja-bejane sing lali, isih beja sing eling lawan waspada.
”Tetapi, pergelarannya bisa kita modif supaya bisa diterima oleh generasi ke generasi. Mau tidak mau, tantangan ke depan itu adalah bagaimana kita memodif seni pergelaran wayang supaya bisa ditangkap generasi Milenial dan Z,” kata Bambang dalam peringatan Hari Wayang Nasional (HWN) V di Gedung Pewayangan Kautaman, Jakarta, Senin (6/11/2023).
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Sri Teddy Rusdy, menjelaskan, modifikasi pergelaran wayang tidak salah. Sebab, kreativitas dalang sulit dikendalikan, terlebih saat menghadapi tuntutan zaman. Maka, di dalam masyarakat pedalangan dikenal istilah pakem jangkeb dan pakem balungan.
Kedua pakem ini berisi tentang lakon-lakon wayang secara garis besar ataupun sebagian saja. Namun, pikirannya sudah cukup untuk menjadi buku manual bagi siapa pun yang ingin mempergelarkan lakon wayang.
”Ada ungkapan dalam bahasa Jawa, beja-bejane sing lali, isih beja sing eling lawan waspada, yang artinya ’lebih beruntung yang tetap ingat daripada tidak ingat sama sekali’,” kata Sri.
Dia menjelaskan, pikiran pokok dalam filsafat wayang yaitu eksistensialisme. Paham ini menekankan bahwa dalam kehidupan manusia unsur pengalaman menjadi sangat penting.
Eksistensialisme memberikan tekanan pada pengalaman konkret atau pengalaman eksistensial. Maka tak heran jika banyak orang, khususnya orang Jawa, yang mengagumi dan mengidolakan tokoh wayang dalam suatu lakon tertentu sampai mau menamai anaknya sebagai tokoh wayang tertentu.
Misalnya, orang yang menginginkan anaknya menjadi seorang pimpinan atau raja yang baik, maka lakon yang dipilih penuh dengan ajaran filsafat, pilihlah lakon ”Wahyu Cakraningrat”. Atau orang yang menginginkan nilai kebenaran, maka ketika menonton wayang akan memilih karakter kebenaran hidup selaku manusia, misalnya pada perilaku Pandawa dan Kurawa.
Diplomasi kebudayaan
Ketua Bidang Hubungan Internasional Senawangi Nurrachman Oerip menambahkan, mereka mendorong wayang atau kebudayaan secara lebih luas untuk menjadi media diplomasi bangsa Indonesia. Diplomasi kebudayaan, menurut dia, lebih efektif untuk menciptakan kedamaian dunia daripada diplomasi politik.
”Selama ini pendekatan kekuatan politik sangat mendominasi hubungan antarbangsa yang pada akhirnya bersifat eksploitatif karena melahirkan dominasi, monopoli, dan hegemoni. Dari sisi filosofi wayang, ini harus kita koreksi,” kata Nurrachman.
Peringatan HWN 2023 ini sekaligus dijadikan momentum penyelenggaraan Living Intangible Cultural Heritage Forum For Wayang Puppet Theater in Indonesia (Living ICH Forum) III. Kedua agenda akan berlangsung selama tiga hari pada Selasa sampai Kamis, 7-9 November 2023.
Selama tiga hari itu para seniman, budayawan, penggiat wayang, tokoh masyarakat, pejabat, birokrat, wakil rakyat, dan masyarakat akan berkumpul membicarakan masa depan wayang. Ada pula pertunjukan wayang, kelas mendalang, kompetisi melukis wayang, dan sebagainya.
”Dari pertemuan ini kami ingin mengumpulkan ide dan masukan terhadap gagasan besar yang dianugerahkan kepada bangsa ini melalui UNESCO yang tidak diberikan kepada bangsa lain,” ucapnya.
Living ICH Forum pertama kalinya digelar di Indonesia pada 2021 bersamaan dengan dirilisnya Rumah Wayang Dunia. Hal ini sesuai dengan mandat rapat Intangible Cultural Heritage (ICH) NGO’s Forum UNESCO pada 11 Desember 2019 dalam sidang ke-14 Komite Antar-Pemerintah tentang Implementasi Konvensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda di Bogota, Kolombia.