Media Sosial Mempercepat Penyebaran Informasi Palsu
UNESCO memperingatkan semakin intensifnya disinformasi dan ujaran kebencian secara daring. Lembaga itu telah mengumumkan rencana aksi untuk mengantisipasi ancaman tersebut.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Media sosial telah digunakan miliaran orang di dunia sebagai sarana komunikasi. Namun, media sosial juga mempercepat penyebaran informasi palsu sehingga berpotensi mengancam stabilitas dan kohesi sosial.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) memperingatkan semakin intensifnya disinformasi dan ujaran kebencian secara daring. Lembaga itu telah mengumumkan rencana aksi untuk mengantisipasi ancaman tersebut.
Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan, teknologi digital telah memungkinkan kemajuan besar dalam kebebasan berpendapat. ”Namun, platform media sosial juga sudah mempercepat dan memperkuat penyebaran informasi palsu dan ujaran kebencian yang menimbulkan risiko besar terhadap kohesi masyarakat, perdamaian, dan stabilitas. Untuk melindungi akses terhadap informasi, kita harus mengatur platform ini tanpa penundaan sekaligus melindungi kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia,” ujarnya dilansir dari laman Unesco.org, Selasa (7/11/2023).
Rencana aksi UNESCO ini merupakan hasil proses konsultasi yang melibatkan lebih dari 10.000 kontribusi dari 134 negara dalam 18 bulan terakhir. Dokumen tersebut menguraikan prinsip-prinsip yang harus dihormati serta langkah-langkah nyata yang harus diterapkan oleh semua pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, otoritas pengatur, masyarakat sipil, dan platform itu sendiri.
Untuk mencapai tujuan ini, UNESCO berencana menyelenggarakan Konferensi Regulator Dunia yang pertama pada pertengahan 2024. Organisasi ini juga akan mendukung negara anggotanya dalam menerapkan rencana aksi ini ke dalam undang-undang dan peraturan di negara masing-masing.
Langkah UNESCO itu disusun berdasarkan tujuh prinsip yang harus dihormati. Salah satunya adalah dampak terhadap hak asasi manusia menjadi pedoman bagi seluruh pengambilan keputusan. Selain itu, membentuk regulator independen yang bekerja dalam koordinasi dengan berbagai pihak.
Prinsip lainnya adalah platform mengambil lebih banyak inisiatif untuk mendidik dan melatih pengguna agar berpikir kritis. Regulator dan platform pun dapat mengambil tindakan lebih tegas pada saat-saat sensitif seperti pemilu dan krisis.
Langkah UNESCO itu disusun berdasarkan tujuh prinsip yang harus dihormati. Salah satunya adalah dampak terhadap hak asasi manusia menjadi pedoman bagi seluruh pengambilan keputusan. Selain itu, membentuk regulator independen yang bekerja dalam koordinasi dengan berbagai pihak.
”Pekerjaan kami dipandu oleh satu persyaratan utama, yaitu perlindungan kebebasan berekspresi dan semua hak asasi manusia lainnya sepanjang waktu. Membatasi kebebasan berpendapat akan menjadi solusi yang buruk. Memiliki saluran media dan alat informasi yang independen, kualitatif, dan bebas, adalah respons jangka panjang terbaik terhadap disinformasi,” kata Azoulay.
Publikasi rencana UNESCO disertai jajak pendapat yang dilakukan oleh IPSOS dengan melibatkan lebih dari 8.000 responden di 16 negara. Sekitar 85 persen responden khawatir terhadap dampak disinformasi daring di masa ketika platform media sosial menjadi sumber informasi utama bagi sebagian besar masyarakat.
Survei itu juga menunjukkan bahwa 87 persen masyarakat percaya bahwa misinformasi ini telah berdampak besar pada kehidupan politik. Mereka khawatir hal tersebut akan memengaruhi hasil pemilu di negara mereka pada tahun depan. Hasilnya, 88 persen responden menyerukan kepada pemerintah dan regulator untuk segera menyelesaikan masalah ini dengan meregulasi media sosial.
Kecanduan
Sejumlah penelitian telah mengungkapkan dampak negatif penggunaan media sosial. Penelitian dari Michigan State University, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan sebanding dengan kecanduan narkoba.
”Sekitar sepertiga manusia di planet ini menggunakan media sosial dan beberapa dari orang-orang ini menunjukkan penggunaan situs-situs tersebut yang maladaptif dan berlebihan,” ujar asisten profesor di Michigan State University, Dar Meshi, dilansir dari Sciencedaily.com.
Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Behavioral Addictions itu melibatkan 71 peserta dalam survei yang mengukur ketergantungan psikologis mereka pada Facebook. Pertanyaan dalam survei ini menanyakan keasyikan pengguna dengan platform tersebut, perasaan mereka ketika tidak dapat menggunakannya, upaya untuk berhenti, dan dampak media sosial terhadap pekerjaan atau studi mereka.
”Dengan banyaknya orang di seluruh dunia yang menggunakan media sosial, penting bagi kita untuk memahami kegunaannya. Saya percaya bahwa media sosial memiliki manfaat yang luar biasa bagi individu, tetapi ada juga sisi gelap ketika orang tidak dapat menarik diri,” katanya.