Media Sosial Mencuri Kebahagiaanmu
Lebih 60 persen penduduk Indonesia menggunakan media sosial. Namun, penggunaan media sosial yang tidak sehat dan lemahnya kendali diri bisa menjebak masyarakat dalam berbagai masalah mental dan menurunkan kebahagiaannya.

Akun sosial blogger kecantikan saat ini menjadi salah satu acuan remaja putri dalam berpenampilan. Media sosial dinilai dapat memengaruhi kepercayaan diri remaja saat ini.
Aku bermedia sosial, maka aku ada. Media sosial telah menjelma tak hanya menjadi alat bersosialisasi di dunia maya tanpa batasan ruang dan waktu, tetapi juga menjadi alat eksistensi sebagian orang. Segala jenis konten dan informasi, baik positif maupun negatif, semua ada. Meski media sosial memberi banyak manfaat, banyak yang tidak sadar media sosial bisa juga merenggut kebahagiaannya.
Semula, media sosial (medsos) dikembangkan guna memenuhi kebutuhan dasar manusia agar saling terhubung dengan orang lain, menjadi bagian kelompok tertentu, meluapkan emosinya, hingga terinformasi dengan perubahan dunia. Namun saat melihat konten atau informasi di medsos, banyak pengguna tidak menyadari mereka cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain.
Gracello Yeshua Davny Bonar (22), pekerja lepas bidang konten digital di sejumlah lembaga pemerintah di Jakarta, tidak iri saat melihat teman-temannya memamerkan foto liburan mereka di Swiss atau Italia. Ia juga tidak mau pusing saat melihat selebgram menunjukkan barang-barang mewah mereka. Dia juga tidak peduli dengan pembuat konten lain yang viral atau memiliki banyak pengikut.
Namun saat melihat capaian teman-teman kuliahnya dulu di Program Vokasi Diploma III Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia bisa melanjutkan kuliah ke jenjang sarjana, bahkan magister, bisa membuatnya sirik, sensitif, bahkan minder. Tak jarang, ia menyalahkan dirinya sendiri karena tertinggal dari capaian yang diraih teman-temannya.
“Kalau soal flexing (pamer) hasil kerja, aku tidak peduli meski sedikit senewen. Namun saat melihat konten teman-teman yang sibuk menyelesaikan skripsi atau tesis serta mendapat banyak ucapan selamat atas capaian akademiknya, aku bisa langsung berubah menjadi lebih sensitif dan merasa tidak nyaman,” katanya Kamis (16/3/2023).
Baca juga : Memberi, tetapi Tidak Berkekurangan
Keinginan Gracello untuk mendapat pengakuan atau validasi dari orang lain kemungkinan dipengaruhi traumanya di masa lalu. Poster digital buatannya saat sekolah dasar pernah dinilai jelek dengan kata-kata yang tidak enak oleh teman dan sebagian guru. Film pendeknya saat sekolah menengah pertama yang dibuat dengan sepenuh hati ternyata justru mendapat tanggapan negatif dari teman-temannya.
Menginjak sekolah menengah atas, saat mengikuti sebuah festival film, karyanya justru ditertawakan juri dan penonton yang hadir dalam penayangan perdana film tersebut. Situasi itu membuatnya marah, tersinggung, hingga mentalnya jatuh. Bahkan saat film itu diikutkan festival lain seminggu berikutnya, dia tidak mau datang saat penjurian karena takut ditertawakan lagi. Padahal dalam festival kedua itu, filmnya justru direspon positif.

Dari berbagai pengalaman tidak menyenangkan itu, Gracello berusaha bangkit. Sokongan orangtua dan sahabatnya mendorongnya untuk terus meningkatkan kualitas diri, membuat karya yang lebih baik, dan tidak terlalu memikirkan penilaian negatif orang lain. Bahkan, ia sempat meminta bantuan psikolog di kampusnya untuk membantunya tetap bersemangat dan tak pernah lelah berkarya.
“Bersyukur ada mama dan papa yang tidak pernah menyerah untuk mendukung anaknya berkarya,” tambah anak pertama dari dua bersaudara itu.
Namun, saat berusaha menghasilkan karya terbaik itu agar bisa seperti yang dihasilkan pembuat konten bermutu lainnya, tak jarang ia menjadi memaksakan diri, bekerja terlalu keras, hingga membuatnya tidak bahagia dan jatuh sakit. Meski sadar tindakan itu keliru karena mengukur kesuksesan diri berdasar capaian orang lain, dorongan untuk bisa menyamai prestasi orang lain selalu muncul.
Kini, ia berusaha mengubah pola pikirnya untuk bisa merasa ‘cukup’ dengan berkat yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Ia pun berusaha mengubah makna kebahagiannya, bukan lagi mengejar apresiasi orang lain atas karyanya, tetapi karya apa yang bisa memberi bermanfaat besar dan membuat orang lain bahagia. “Selama bisa membuat orang lain bahagia, itulah kebahagiaanku,” katanya.
Baca juga : Bahagia Itu Bisa Dapat Uang untuk Makan Dua Hari
Tak selamanya medsos bisa menekan dan mengurangi kebahagiaan seseorang. Medsos juga bisa membuat orang lebih senang dan bahagia. “Saat suntuk dan melihat video lucu, hati menjadi terhibur,” kata Aldha (21), mahasiswi program studi informatika di salah satu perguruan tinggi swasta di Surakarta, Jawa Tengah.

Meski mengakses beberapa medsos, Aldha mengaku tidak ada yang membuatnya stres karena dia tidak tertarik dengan konten-konten yang berisi pamer kekayaan atau capaian. Ia lebih menggunakan media sosialnya untuk belajar dan mencari inspirasi tentang pembuatan desain user interface (UI) dan user experience (UX) yang berguna dalam pembuatan situs internet.
Sebagai mahasiswa yang tinggal menunggu wisuda dan sedang mencari kerja, baginya yang menekan dan membuat tidak bahagia adalah isu pekerja kontrak yang menimbulkan ketidakpastian atau besarnya persaingan kerja yang harus ia hadapi. Sebagai lulusan dari sebuah perguruan tinggi kecil, dia merasa tidak siap bersaing dengan lulusan perguruan tinggi negeri maupun swasta ternama lainnya.
“Saya khawatir susah mendapat kerja,” katanya.
Membandingkan
Medsos telah menjadi kebutuhan pokok banyak orang. Sejak bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, banyak orang menghabiskan waktunya berjam-jam agar tetap terkoneksi dengan dunia maya. Tak jarang, sebagian orang mengakses medsos sambil berjalan hingga menghalangi orang yang berjalan di belakangnya, bahkan sambil mengendari motor atau mobil.
Data Digital 2023: Indonesia yang dipublikasikan We Are Social dan Meltwater pada 9 Februari 2023 sebagai bagian dari Digital 2023: Global Overview Report menyebut ada 167 juta pengguna medsos di Indonesia atau 60,4 persen dari 276,4 juta penduduk. Dari jumlah itu, Facebook digunakan 119,9 juta orang, Youtube 139 juta orang, Instagram 89,15 juta orang, Tiktok 109,9 juta orang, dan Twitter 24 juta orang.
Saat mengakses medsos perlu ditanamkan pikiran bahwa apa yang ditampilkan orang lain di medsos belum tentu benar. Orang cenderung menyeleksi apa yang akan mereka tampilkan atau katakan di medsos sehingga medsos tidak tepat digunakan sebagai alat perbandingan sosial.
Sama seperti produk teknologi lain, medsos juga memiliki dampak positif dan negatif bagi penggunanya. Menurut peneliti media sosial dan kesejahteraan yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Eka Riyanti Purboningsih, manfaat atas keberadaan medsos itu sangat bergantung pada kebutuhan utama setiap individu penggunanya serta sesuai tahapan kehidupannya.
Pada remaja yang sedang mencari identitas diri, medsos bisa digunakan untuk memperluas pertemanan atau menjadi bagian dari kelompok tertentu yang lebih luas. Medsos bisa membantu remaja menunjukkan siapa sebenarnya mereka. Sedangkan dari komentar dan tanda suka yang diberikan, remaja bisa mengevaluasi dan mereevaluasi identitas mereka.
Proses pencarian jati diri itu akan terus berlangsung saat mereka memasuki tahapan beranjam dewasa (emerging adult) atau dewasa muda. Namun, prosesnya akan menjadi lebih spesifik dan pencariannya akan mengarah kepada hal-hal yang terkait pekerjaan, pendidikan, relasi romantis, atau masa depan. Akibatnya, algoritma medsos akan mengarahkan mereka untuk memenuhi kebutuhan spesifik tersebut.
Medsos juga bisa dimanfaatkan untuk pengembangan diri, sarana pertemanan dengan beragam orang, hingga alat untuk membangun jejaring sosial yang bisa diubah menjadi modal sosial. Beragamnya informasi yang diperoleh dan paparan terhadap informasi dunia terkini bisa membangun perasaan terhubung dengan dunia yang lebih luas.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F13%2F243f7f57-6189-4eb8-9fc3-db6aaedf1d6f_jpg.jpg)
Uger Situmeang, karyawan di gerai pakaian Klementine di Mal Ambasador, Jakarta Selatan menawarkan produk pakaian melalui siaran langsung di media sosial, Rabu (13/7/2022). Penjualan melalui siaran langsung di media sosial yang telah dimulai sejak tahun 2018 ini mampu bertahan menghadapi kondisi yang tak menentu saat pandemi.
Meski demikian, tidak semua orang bisa memetik manfaat positif dari medsos. Sebagian pengguna medsos justru terjebak dalam berbagai persoalan kesehatan mental, jadi korban perundungan, ditipu, hingga diperdagangkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab.
“Perbedaan dalam meraih manfaat medsos itu sangat bergantung pada karakteristik dan tipe penggunaan medsos,” kata Eka. Kepribadian, umur, gender, faktor keluarga dan teman sebaya, budaya yang dianut, hingga literasi digital yang dimiliki akan sangat menentukan seberapa besar manfaat yang bisa mereka raih dari medsos.
Baca juga : Makna Kebahagiaan
Seseorang dengan neurotisisme tinggi alias kurang bisa berpikir rasional, mudah cemas, tegang, sensitif, dan impulsif akan lebih mudah merasakan dampak negatif medsos. Saat menampilkan diri di medsos, individu dengan kepribadian ini cenderung lebih menjaga citra atau ‘jaim’ karena mereka sangat peduli dengan penilaian orang lain. Mereka juga lebih sering membuka medsos sehingga lebih rentan kecanduan medsos.
Usia muda juga menempatkan anak dalam risiko tinggi paparan medsos. Semakin dini anak terpapar medsos, makin besar pula risiko yang ditanggung. Dalam proses pencarian jati diri anak muda, mereka cenderung menggunakan medsos untuk membandingkan dirinya dengan orang lain.
Namun, belum sempurnanya sistem kendali diri membuat mereka rentan melakukan hal-hal berisiko dan kecanduan. Pembandingan akhirnya menuntun mereka pada masalah kecemasan, kurangnya kepercayaan diri, rendahnya keberhargaan diri, kesepian, hingga depresi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2F349b57c3-f60f-47ce-b358-d536e4d8a78c_jpg.jpg)
Gawai menjadi medium bagi anak muda untuk bergaul.
Sementara itu, kemudahan mengaktifkan berbagai fitur medsos, cepatnya informasi dikirimkan dan diterima pengguna medsos, serta mudahnya seseorang mendapatkan gratifikasi atau rasa senang dan bahagia membuat mereka terikat medsos. Konsekuensinya, mereka cenderung terus menerus membuka medsos, membagikan konten, dan akhirnya menjadi pengguna media sosial yang problematik.
Karena itu, lanjut Eka, untuk bisa memetik manfaatnya, pengguna medsos perlu menyadari bahwa aplikasi yang mereka gunakan adalah dunia maya. "Pertemanan dan relasi sosial yang sehat ada di dunia nyata, bukan maya. Semenarik apapun medsos, relasi di dunia nyata tetap harus diusahakan dan dipertahankan,” katanya.
Baca juga : Bisakah Uang Membeli Kebahagiaan?
Selain itu, saat mengakses medsos perlu ditanamkan pikiran bahwa apa yang ditampilkan orang lain di medsos belum tentu benar. Orang cenderung menyeleksi apa yang akan mereka tampilkan atau katakan di medsos sehingga medsos tidak tepat digunakan sebagai alat perbandingan sosial.
Penggunaan medsos juga membutuhkan pengendalian diri yang sehat. Tidak perlu mengasingkan diri dari medsos, tetapi butuh kontrol lebih besar untuk menentukan durasi waktu terhadap konten apa yang perlu atau tidak perlu dilihat.
“Penting untuk terus mendorong literasi digital sehingga masyarakat lebih sehat dalam menggunakan media sosial,” ujar Eka. Pemahaman akan aturan penggunaan dan fungsi medsos, keterampilan dalam memilih dan memilah informasi yang ada, serta pengendalian diri dalam pemakaian medsos tak hanya bisa membuat masyarakat memetik lebih banyak manfaat positif medsos, tetapi juga bisa mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan.