Kecenderungan Menyakiti Diri dan Bunuh Diri Remaja Meningkat
Kesehatan mental yang berkualitas mendukung anak muda bangsa tumbuh jadi generasi tangguh.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Kesehatan mental kalangan remaja dan dewasa muda semakin perlu mendapat perhatian. Kecenderungan generasi muda untuk menyakiti diri sendiri dan mencoba bunuh diri meningkat sehingga butuh deteksi dini agar mereka terselamatkan dan berkembang menjadi sosok versi terbaik dirinya.
Itu sebabnya, perhatian terhadap isu kesehatan mental juga didorong di kalangan mahasiswa. Sejumlah peristiwa mahasiswa yang melakukan percobaan bunuh diri maupun bunuh diri karena berbagai hal direspons perguruan tinggi negeri maupun swasta dengan pencegahan dan penyediaan layanan kesehatan jiwa.
Dalam diskusi ”Jaga Kesehatan Mental, Wujudkan generasi Tangguh”, di Bogor, Senin (30/10/2023), Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa dr H Marzoeki Mahdi, Nova Riyanti Yusuf, mengatakan, berdasarkan data beban kesehatan mental di Indonesia tahun 2019 dan 2000, masalah kesehatan mental yang tertinggi adalah migrain, depresi, kecemasan, dan skizofrenia. Sementara berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, angka kematian karena bunuh diri pada semua usia di Indonesia 6.544 orang, sedangkan di dunia diprediksi 7.658 kasus.
Menurut Nova, pendataan masalah kesehatan jiwa di Indonesia masih bermasalah. Namun, merujuk laporan Polri, tren kasus bunuh diri meningkat, tahun 2021 ada 613 kasus dan di tahun 2022 naik menjadi 826 kasus. Jumlah kasus terbanyak di Jawa Tengah, yakni 380 kasus di tahun 2022. Kasus bunuh diri yang terdata tersebut dari kelompok usia 16 -51 tahun dan kebanyakan dilakukan laki-laki.
Nova menuturkan, untuk mencegah upaya bunuh diri, deteksi awal perlu diperkuat. Berdasarkan riset terkait ide bunuh diri di kalangan pelajar SMA di Jakarta tahun 2019 yang ia lakukan, sekitar 13,8 persen responden berisiko memiliki ide bunuh diri.
Sebagai pusat kesehatan jiwa nasional, RSJMM mengembangkan standar pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan di semua provinsi dan memperkuat layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas. Rumah sakit ini juga memberikan layanan kesehatan jiwa kepada masyarakat, termasuk kaum muda. Ada juga layanan kesehatan jiwa bergerak yang memberikan edukasi, deteksi, dan konsultasi yang menjangkau sekolah, khususnya di Bogor.
Tersedia juga Layanan Konsultasi Gratis D’Patens24 (dukungan psikososial antisipasi melalui hotline service 24 jam). Pada kurun 1 Januari-31 Agustus 2023, terdapat 916 orang yang mengakses layanan tersebut. Tren konsultasi seputar menyakiti diri sendiri dan dan keinginan bunuh diri meningkat. Di awal tahun ada 10 kasus, sedangkan pada Agustus telah naik mencapai 36 kasus.
Membangun kepedulian
Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran Universitas Gadjah Mada Wening Udasmoro menuturkan, adanya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa mendorong perguruan tinggi berbenah untuk peduli pada masalah ini. Beberapa bulan lalu, di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah ada emapt kasus mahsiswa bunuh diri, termasuk mahasiswa UGM.
Menurut Wening, kerentanan kesehatan mental pada generasi masa kini merupakan gunung es yang perlu segera dimitigasi secara nasional. UGM telah menerapkan skrining kesehatan mental bagi mahasiswa baru. ”Ini untuk membantu mahasiswa yang membutuhkan dukungan kesehatan mental. Sebab, setiap mahasiswa memiliki level yang berbeda sehingga perlu mitigasi yang berbeda,” ujar Wening.
Kami butuh lingkungan yang mendukung, dari keluarga, teman, instansi pendidikan, lembaga layanan informasi dan konseling remaja.
Wening menambahkan, UGM juga sedang menyiapkan prosedur standar operasi sebagai upaya pencegahan. Orangtua juga diberi masukan agar menjaga relasi yang menyenangkan dengan anak; dosen agar memiliki relasi yang menyenangkan dalam pembelajaran; dosen pembimbing akademik diberi mandat untuk memantau mahasiwa bimbingannya; serta para mahasiswa dimotivasi untuk memiliki kepedulian dan rasa solidaritas secara kolektif. Berbagai layanan untuk mendukung kesehatan mental warga UGM disatukan di bawah UGM Wellbeing Center.
Rektor Universitas Tarumanegara, Jakarta, Agustinus Purna Irawan mengatakan, memiliki kondisi mental yang baik berarti seseorang memiliki ketenangan jiwa dalam menjalani hidup, pekerjaan, profesi, dan belajar. Dibutuhkan upaya untuk memampukan setiap individu supaya dapat mengendalikan diri saat menghadapi depresi, cemas, tidak percaya diri, atau stres.
Menurut Agustinus, pihaknya juga menangani sejumlah kasus kesehatan mental, seperti kesulitan belajar, masalah hubungan orangtua dan anak, kasus menyakiti diri sendiri dan bunuh diri, pelecehan, disabilitas, gangguan klinis atau kepribdian lainnya. ”Di kampus, kami menyediakan dukungan profesional yang dapat diakses mahasiswa. Selain itu, juga melibatkan mahasiswa untuk dapat mendampingi mahasiwa lain,” kata Agustinus.
Mahasiswa Universitas Yarsi, Yusmar Ibrahim, menyampaikan, ada stigma yang keliru di kalangan masyarakat, termasuk anak muda bahwa mereka yang mengalami masalah mental berarti lemah. Padahal, ada banyak tekanan yang dihadapi generasi Z yang hidupnya sangat kuat dipengaruhi media sosial. Belum lagi aspek pergaulan, akademik, orangtua, dan masa depan yang juga memberikan tekanan.
”Kami butuh lingkungan yang mendukung, dari keluarga, teman, instansi pendidikan, lembaga layanan informasi dan konseling remaja sehingga dapat mendukung generasi muda yang tangguh menjadi generasi Indonesia Emas 2045,” kata Yusmar.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Nizam mengatakan, membangun kesehatan mental di kampus esensial dan menjadi tugas bersama masyarakat kampus dan masyarakat luas. Sejak tahun 2020, kampus sehat, aman, dan nyaman selalu ditekankan.
”Kesehatan yang holistik, termasuk di dalamnya sehat emosional dan psikologi untuk kesehatan jiwa, menjadi kebutuhan. Yang penting, ekosistem kampus yang peduli diwujudkan,” ujar Nizam.
Menurut Nizam, perguruan tinggi dapat mengembangkan program khusus untuk mendukung lingkungan belajar yang sehat dan ramah. Namun, yang terintegrasi dengan pembelajaran juga harus dilakukan. ”Perlu jadi bagian pembelajaran untuk mengembangkan sikap dan perilaku peduli, yang saling asah, asih, dan asuh. Jangan sampai ada mahasiswa dan warga kampus yang depresi dan bunuh diri. Tiap kampus harus punya kesadaran itu sehingga tidak perlu menunggu aturan rinci,” kata Nizam.