Mengasah Kecakapan Kerja di ”Teaching Factory” Sekolah Vokasi
Pendidikan vokasi yang selaras dengan dunia kerja terus diwujudkan. Sekolah vokasi di SMK hingga perguruan tinggi berupaya mendekatkan diri ke industri dengan menghadirkan ”teaching factory”.
Pendidikan vokasi menuntut penguasaan kecakapan kerja yang diasah selama belajar di sekolah ataupun kampus. Pembiasaan untuk memahami alur dan karakter dunia kerja tidak lagi hanya mengandalkan masa praktik kerja atau magang industri, tetapi mulai dihadirkan lewat teaching factory (Tefa) atau perusahaan berbasis pembelajaran yang digagas sekolah bersama mitra dunia usaha dan industri.
Jarum jam menunjukkan pukul 14.30 pada Rabu (19/10/2023). Sejumlah siswa kelas XI jurusan agrobisnis perikanan air payau dan laut Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Perikanan dan Kelautan Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang menjalani pembelajaran sistem blok di tambak udang vaname dan siswa kelas XII yang magang industri bergegas menuju ruang pakan. Mereka menimbang dengan saksama pakan ke dalam beberapa wadah untuk ratusan ribu udang yang baru berumur sepekan di tiga kolam.
Ketika jarum jam bergerak ke pukul 15.00, para siswa masuk ke dalam area kolam yang dikelilingi pagar bambu. Lalu, dengan disiplin, mereka menginjakkan kaki tanpa alas di sebuah kolam kecil yang berisi cairan untuk mensterilkan kaki dari hama penyakit guna melindungi udang.
Mereka naik ke bagian atas kolam yang dikelilingi pagar dari jaring nilon berwarna hijau. Terik matahari tak menggoyahkan para siswa berkeliling di area tambak seluas 5.000 meter persegi untuk memberi makan udang vaname berkualitas ekspor.
Bagas Arlan (18) sudah dua pekan berada di tambak udang vaname SMK Puger yang berlokasi di Desa Kepanjen, Kecamatan Gumukmas, Jember. Tambak itu berjarak sekitar 15 kilometer dari sekolah sekaligus tempat tinggalnya di pondok pesantren. Suasana di sekitar tambak sunyi dan jauh dari keramaian.
”Para siswa bergiliran merasakan tinggal dan bekerja di tambak udang. Kami menginap di sini dan menjalankan kerja secara bergantian atau sif 24 jam,” kata Bagas.
Bagas belajar untuk disiplin mengikuti jadwal dan aturan yang sudah ditetapkan di tambak. ”Saya awalnya masih lelet atau berlama-lama. Padahal, bekerja di tambak itu harus benar-benar ketat dengan jadwal dan juga mengikuti standar yang sudah ada,” kata jejaka asal Jakarta itu.
SMK Puger berada tidak jauh dari tempat pelelangan ikan (TPI) Puger. Sekolah ini menjadi salah satu rujukan SMK kemaritiman di tingkat nasional. Apalagi, dengan statusnya sebagai SMK Pusat Keunggulan (SMK PK), sekolah ini semakin gencar memperkuat kemitraan dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Pembukaan Tefa udang vaname ini digagas SMK Puger dengan industri karena melihat potensi tambak udang vaname untuk memenuhi pasar ekspor.
”Kami ingin menunjukkan kepada para generasi muda potensi industri kemaritiman. Lewat Tefa, para siswa belajar untuk bekerja secara langsung dengan bimbingan guru dan memahami industri sesuai jurusan mereka,” kata Kepala SMK Puger Kuntjoro Basuki.
Baca juga: Dunia Industri Dihadirkan dengan Konsep "Teaching Factory"
Manajer Tambak M Reza Mei Budi Darmawan yang juga guru SMK Puger mengatakan, pengelolaan tambak kini diserahkan ke sekolah. Ada juga teknisi dari industri yang mendampingi.
Satu siklus udang untuk bisa dipanen sekitar 120 hari. Namun, di sela-sela itu ada pula panen parsial 3-4 kali untuk mengurangi volume udang berkisar 15-20 persen.
”Bisnis udang vaname ini hasilnya bisa besar, tetapi rentan. Saya menghadapi beberapa situasi kritis pertumbuhan udang, (sampai) tidak bisa tidur. Nah, dengan sistem blok, para siswa bisa terjun langsung dan tinggal di tambak. Mereka mengenal cara budidaya udang sampai memahami sensitivitas udang yang belum tentu dipahami jika hanya dari teori,” ujar Reza.
Potensi Tefa di SMK Puger yang berkembang selain budidaya udang vaname adalah agriteknologi pengolahan hasil perikanan. Industri mini pengolahan dengan peralatan lengkap standar industri tersedia di lingkungan sekolah.
Pengolahan ikan tuna, misalnya, bisa meningkatkan nilai jual sekitar 70 persen.
Seusai upacara pagi, sejumlah siswa bersiap mengolah 3-5 kilogram ikan tuna atau udang untuk diolah menjadi produk kering ataupun basah. Ikan tuna seharga Rp 30.000–Rp 40.000 per kilogram diolah menjadi abon. Abon bisa dibuat juga varian lain menjadi makanan kecil.
Produk kering berbasis ikan yang dikemas menarik dari SMK Puger sudah dikenal masyarakat sekitar dan dibawa ke berbagai ajang pameran nasional. Produk olahan basah seperti baso atau tahu baso dari ikan tuna atau udang dijual di lingkungan sekolah. Para siswa ada yang membuat varian produk seperti odeng, fish roll, ataupun sosis yang sering laris diborong para siswa saat jam istirahat.
Pengolahan ikan tuna, misalnya, bisa meningkatkan nilai jual sekitar 70 persen. Para siswa pun yang terbiasa bekerja di Tefa akhirnya mampu melihat peluang bisnis. Seusai lulus, ada siswa yang berwirausaha memproduksi makan beku berbahan dasar ikan yang tersedia melimpah di Puger.
Baca juga: SMK Kelautan dan Perikanan Dukung Ekonomi Maritim
Pembuatan kapal berbahan fiber juga menjadi salah satu Tefa yang berhasil dikembangkan SMK Puger. Pembuatannya tergantung pada permintaan masyarakat atau industri.
Lulusan SMK Puger sebagian besar berorientasi kerja ke luar negeri. Mereka dibekali kecakapan bahasa Inggris, bahasa Jepang, dan bahasa Korea, sebagai bekal untuk bekerja di negara tujuan.
Sesuai potensi lokal
Potensi alam di Jember yang kaya dengan perikanan hingga pertanian mendorong Politeknik Negeri Jember (Polije) untuk mengembangkan Tefa yang sesuai potensi lokal. Sebagai perguruan tinggi vokasi, Polije memiliki kepakaran dan keilmuan membuat inovasi untuk jadi rujukan pengembangan ekonomi berbasis pertanian dan perikanan.
Beragam produk hasil Tefa di Polije terpampang di sebuah kafe yang nyaman di lingkungan kampus. Mata langsung tertuju pada deretan aneka roti basah dan kering di dalam rak berlapis kaca transparan yang diproduksi di Tefa bakery.
Di bagian belakang kafe tersedia mulai dari oven berskala industri dan alat pengolahan roti lainnya. Tefa bakery ini juga menjadi ajang bagi mahasiswa yang ikut program Wirausaha Merdeka, sebagai bagian dari program unggulan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Kemendikbudristek.
Baca juga: Pendidikan Vokasi Dukung Pembangunan Daerah
Tidak hanya aneka roti manis bermerek SIP (kepanjangan dari smart, innovative, professional) yang rasanya tak kalah dengan roti bermerek. Ada juga ikan sarden kaleng SIP dari ikan lemuru yang tersedia melimpah di TPI Puger. Ada tiga pilihan rasa, yaitu saos tomat, saos pedas, dan sarden dalam larutan garam. Selain itu, ada juga kopi premium SIP dari olahan kopi lokal Jember Argopuro.
Di kawasan Polije, hadir Tefa pengalengan ikan yang standarnya sesuai standar nasional. Ada desain produk ikan dalam kaleng kemasan 425 gram. Proses sterilisasi dengan panas yang tepat menjamin produk ikan kaleng yang aman.
”Jika tidak memenuhi syarat, kaleng akan menggelembung. Ini harus diperhatikan betul untuk kecukupan panas. Industri pengalengan ini risikonya tinggi. Kalau produk tidak steril, bisa gagal,” ujar Manajer Tefa Canning(Pengalengan Ikan) M Mardiyanto.
Mardiyanto mengatakan, ada potensi ikan lemuru yang berlimpah di TPI Puger. Namun, para nelayan menjual ikan lemuru dengan harga murah, satu keranjang 15-20 kilogram hanya Rp 50.000. Padahal, dengan teknologi pengalengan, nilai jualnya bisa meningkat. Ikan kaleng lemuru bisa dihargai Rp 25.000 per kaleng.
Pengembangan Tefa pengalengan ikan tidak sekadar untuk tempat praktik mahasiswa atau menambah pemasukan Polije yang kini berstatus badan layanan umum (BLU). Tefa juga menjadi upaya untuk memberi inpirasi pengembangan industri pengalengan ikan rumah tangga. Ada inovasi yang disiapkan Polije untuk pengalengan ikan dengan skala 200 kaleng, tetapi tetap steril.
Ketua Jurusan Teknologi Pertanian Polije Budi Hariono mengatakan, pemerintah mendukung politeknik dengan skema dana padanan penugasan. ”Kami manfaatkan untuk mengatasi masalah terkait legalitas usaha dari Tefa yang ada karena sebagai politeknik yang berubah dari status satuan kerja ke badan layanan umum harus bisa mengembangkan potensi sesuai keilmuan atau kepakaran yang kami miliki,” kata Budi.
Ada 17 Tefa di Polije, tetapi yang aktif baru 8 Tefa. Upaya pengembangan Tefa dan legalitas edarnya dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar produk-produknya bisa dipasarkan secara umum saat ini berfokus pada tiga Tefa, yaitu pengolahan kopi, pengalengan ikan, dan bakery. Hal ini mendukung visi Polije menjadi kampus vokasi unggul di bidang Tefa tahun 2035.
Dukungan pemerintah
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kemendikbudristek Kiki Yuliati mengatakan, sekolah vokasi mendapat dukungan skema pembiayaan yang dapat dilakukan secara multiyears. Selain dapat menjamin keberlanjutan riset, skema pendanaan tersebut juga diharapkan mendorong pelaksanaan Tefa di perguruan tinggi vokasi.
”Salah satu yang ingin kami kejar dari skema pembiayaan multiyears ini adalah pembangunan Tefa atau teaching industry di kampus-kampus vokasi. Sebab, pada dasarnya pendidikan vokasi adalah industrial based learning,” ujar Kiki.
Baca juga: Potensi Pendidikan Vokasi Perlu Terus Dimunculkan
Sementara itu, Direktur SMK Wardani Sugiyanto mengatakan, saat ini terdapat program SMK PK untuk penyelarasan sektor pendidikan dengan dunia usaha dan industri serta keterserapan tamatan SMK pada dunia kerja, baik itu untuk bekerja, berwirausaha, maupun untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Program SMK PK berjalan selama 3 tahun.
”Harapannya setelah itu SMK menjadi semakin mandiri yang ditandai dengan semakin kuat dan berkembangnya Tefa yang ada di SMK tersebut,” ujar Wardani.
Saat ini terdapat 1.852 SMK PK dengan jumlah siswa lebih dari 1,9 juta orang. Diharapkan pada tahun 2023 akan mencapai 2.172 SMK dengan total 2,4 juta siswa. Dengan demikian, dapat berdampak semakin besar pada penguatan pendidikan vokasi di berbagai wilayah.