Letusan Gunung Berapi di Wilayah Tropis Mengganggu Siklus Iklim Global
Letusan gunung berapi yang kuat di daerah tropis menyebabkan IOD negatif pada tahun letusan diikuti dengan fase positif pada tahun berikutnya.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Letusan sejumlah gunung berapi dari kepulauan Indonesia dan kawasan khatulistiwa lain telah memicu perubahan mendadak terhadap siklus iklim skala global di Samudra Hindia selama satu juta tahun terakhir. Efek terhadap siklus iklim ini bisa berlangsung hingga delapan tahun dan meningkat seiring dengan semakin besarnya intensitas letusan.
Penelitian baru yang diterbitkan dalam Geophysical Research Letters edisi Oktober 2023 ini menyebutkan, letusan-letusan besar gunung api di masa lalu ini telah mengubah pola El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD), yaitu interaksi iklim laut-atmosfer selama hampir satu dekade sebelum kembali ke tingkat dasar sebelum letusan.
Fenomena IOD terjadi karena perbedaan suhu permukaan laut antara timur dan barat, di mana suhu permukaan laut lebih dingin dari normal di bagian timur Samudra Hindia dan lebih hangat di bagian barat. Selama fase positif, hal ini mengakibatkan perubahan besar pada suhu, curah hujan, dan pola angin di wilayah sekitarnya, dengan banjir yang biasanya terjadi di Afrika Timur dan kekeringan di Asia Timur dan Australia. Kondisi ini berbalik selama fase IOD negatif.
Letusan yang terjadi pada musim semi di boreal (Maret–Mei) kemungkinan besar akan berdampak pada respons IOD/ENSO pada tahun yang sama.
Benjamin Tiger dari Massachusetts Institute of Technology dan Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI) Joint Program in Oceanography/Applied Ocean Sciences and Engineering, AS, dan Caroline Ummenhofer, juga dari WHOI, membuat simulasi menggunakan Community Earth System Model Last Millennium Ensemble (CESM-LME) dan memasukkan data dari beberapa letusan terbesar dalam sejarah, termasuk Samalas-Rinjani di Pulau Lombok (1258), Kuwae di Pasifik (1452), Tambora di Pulau Sumbawa (1815), Huaynaputina di Peru, (1600) dan Pinatubo di Filipina (1991).
Mereka menetapkan bahwa letusan gunung berapi yang kuat di daerah tropis menyebabkan IOD negatif pada tahun letusan, diikuti dengan fase positif pada tahun berikutnya dan pengaruhnya cukup signifikan melebihi tren pendinginan umum yang diamati di daerah tropis pasca-letusan. Anomali IOD positif dan negatif ini berlangsung selama 7–8 tahun setelah letusan, sebelum sinyal kembali ke kondisi sebelum letusan.
Pola ini selanjutnya dipengaruhi oleh fase siklus iklim lain yang terjadi bersamaan, yaitu Interdecadal Pacific Oscillation (IPO), yang berlangsung selama 20–30 tahun dan terjadi di wilayah yang lebih luas yang mencakup kedua belahan bumi. Selama fase positif, Samudra Pasifik tropis menjadi lebih hangat dan wilayah utara menjadi lebih dingin, dan sebaliknya pada fase negatif.
Para peneliti menemukan bahwa fase IPO negatif menghasilkan IOD negatif yang lebih kuat dan hal yang sama juga terjadi pada IPO/IOD positif. Kondisi ini menjadikan suhu permukaan laut tropis Pasifik selama IPO menjadi pengaruh utama pada kekuatan respons awal IOD.
Sementara itu, osilasi ENSO (di mana suhu permukaan laut Samudra Pasifik berubah hingga 3 derajat celsius dan mengakibatkan perubahan iklim) berhubungan dengan pemanasan El Niño setelah letusan tropis besar, khususnya pada bulan-bulan musim dingin di boreal (Desember–Februari) pada tahun pertama setelah letusan gunung berapi. Peristiwa tersebut dengan kondisi La Niña yang mendominasi setelahnya.
Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan gradien suhu antara daratan dan lautan di Afrika dan Samudra Hindia, yang memengaruhi angin pasat barat, serta wilayah upwelling air dingin di Pasifik timur. Tiger dan Ummenhofer juga menemukan bahwa respons ENSO tertinggal dua bulan dibandingkan respons IOD positif. Sementara itu, simulasi mengidentifikasi IOD negatif yang bertepatan dengan kondisi La Niña kuat pada tahun 3–5 pascaerupsi.
Faktor lain yang memengaruhi suhu permukaan laut, dan juga respons iklim, adalah kedalaman termoklin (gradien suhu mendadak) di Samudra Hindia dan Pasifik. Letusan yang terjadi pada kondisi IPO positif mempunyai termoklin yang lebih dangkal di kawasan Kolam Hangat Indo-Pasifik dan termoklin yang lebih dalam di Samudra Hindia bagian barat dan Pasifik Timur, dan sebaliknya pada kondisi IPO negatif.
Dalam kasus pertama, termoklin berada di bagian timur Samudra Hindia yang melemahkan gradien suhu permukaan laut dan oleh karena itu menetralkan IOD pasca-letusan. Sementara, pada kondisi termoklin yang terakhir, gradien suhu permukaan laut diperkuat sehingga menyebabkan cekungan Samudra Hindia menghadapi peristiwa IPO negatif yang lebih kuat pasca-letusan. Dampak-dampak ini paling menonjol pada tahun pertama setelah kejadian dan berkurang setelahnya.
Waktu terjadinya letusan penting diperhatikan. Letusan yang terjadi pada musim semi di boreal (Maret–Mei) kemungkinan besar akan berdampak pada respons IOD/ENSO pada tahun yang sama, sedangkan letusan yang terjadi setelahnya mungkin memiliki dampak iklim yang tertunda atau lebih netral.
Selain memengaruhi iklim, aerosol yang dilepaskan dari letusan gunung berapi berdampak pada gaya radiasi global, yaitu keseimbangan antara radiasi matahari yang masuk dan keluar. Hal ini mengakibatkan pendinginan atmosfer pasca-letusan yang dapat berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun sehingga tekanan pada IOD/ENSO harus kuat agar dapat mengatasi dampak penurunan suhu.
Temuan-temuan ini penting bagi daerah yang rentan terhadap letusan gunung berapi untuk melakukan penilaian risiko dan bersiap menghadapi kejadian iklim ekstrem yang diakibatkannya. Dengan demikian hal tersebut dapat membantu mengurangi beberapa dampak terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.