Misteri Tsunami Vulkanik Baru Terpecahkan Setelah 373 Tahun
Kombinasi erupsi gunung api bawah laut dan longsoran menjadi penyebab tingginya tsunami di Laut Aegea pada 1650.
JAKARTA, KOMPAS — Ledakan gunung berapi bawah laut Kolumbo di Laut Aegea, Yunani, pada tahun 1650 telah memicu tsunami destruktif yang digambarkan oleh para saksi mata sejarah. Riset terbaru menunjukkan, tsunami dahsyat di masa lalu ini disebabkan oleh kombinasi erupsi besar dan longsor bawah laut.
Sekelompok peneliti yang dipimpin Jens Karstens dari GEOMAR Helmholtz Center for Ocean Research Kiel telah menyurvei kawah bawah air Kolumbo dengan teknologi pencitraan modern dan merekonstruksi peristiwa bersejarah tersebut.
Mereka menemukan, keterangan saksi mata mengenai bencana alam tersebut hanya dapat digambarkan dengan kombinasi tanah longsor yang diikuti dengan letusan eksplosif. Temuan mereka dipublikasikan hari ini di jurnal Nature Communications, Kamis (26/10/2023).
Dari Pulau Santorini di Yunani, letusan sudah terlihat selama beberapa minggu. Pada akhir musim panas 1650, warga melaporkan bahwa air telah mendidih dan warnanya telah berubah. Sekitar 7 kilometer timur laut Santorini, gunung berapi bawah laut muncul dari laut dan mulai mengeluarkan bebatuan bercahaya.
Kami ingin memahami bagaimana tsunami terjadi pada saat itu dan mengapa gunung berapi tersebut meledak begitu dahsyat.
Api dan kilat terlihat, dan gumpalan asap menggelapkan langit. Lalu air tiba-tiba surut, dan beberapa saat kemudian melonjak menuju garis pantai, menghantamnya dengan gelombang setinggi 20 meter. Ledakan besar terdengar lebih dari 100 kilometer jauhnya, batu apung dan abu berjatuhan di pulau-pulau sekitarnya, dan awan gas beracun yang mematikan merenggut beberapa nyawa.
”Kami mengetahui detail letusan bersejarah Kolumbo ini karena ada laporan kontemporer yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh ahli vulkanologi Perancis pada abad ke-19,” kata Jens Karstens, ahli geofisika kelautan di GEOMAR Helmholtz Center for Ocean Research Kiel.
Namun, bagaimana peristiwa dahsyat ini bisa terjadi? Untuk mengetahuinya, ia bersama rekan-rekannya dari Jerman dan Yunani pergi ke Laut Aegea, Yunani, pada tahun 2019 untuk mempelajari kawah gunung berapi dengan teknologi khusus. ”Kami ingin memahami bagaimana tsunami terjadi pada saat itu dan mengapa gunung berapi tersebut meledak begitu dahsyat,” kata Karstens.
Di atas kapal penelitian POSEIDON, tim menggunakan metode seismik 3D untuk membuat gambar tiga dimensi dari kawah tersebut, yang kini berada 18 meter di bawah permukaan air. Gareth Crutchley, salah satu penulis studi tersebut, mengatakan, ”Hal ini memungkinkan kita untuk melihat ke dalam gunung berapi.”
Pencitraan 3D tidak hanya menunjukkan kawah tersebut berdiameter 2,5 kilometer dan berkedalaman 500 meter, tetapi juga ledakan yang sangat besar. Profil seismik juga mengungkapkan bahwa salah satu sisi kerucut mengalami deformasi parah.
Kombinasi longsor dan erupsi
Crutchley mengatakan, ”Bagian gunung berapi ini pasti telah tergelincir.” Para peneliti kemudian mengambil pendekatan detektif, membandingkan berbagai mekanisme yang bisa menyebabkan tsunami dengan catatan sejarah saksi mata. Mereka menyimpulkan bahwa hanya kombinasi tanah longsor yang diikuti ledakan gunung berapi yang dapat menjelaskan terjadinya tsunami.
Dengan menggabungkan seismik 3D dan simulasi komputer, para peneliti dapat merekonstruksi seberapa tinggi gelombang yang terjadi jika gelombang tersebut dihasilkan oleh ledakan saja.
”Menurut ini, gelombang setinggi 6 meter diperkirakan terjadi di satu lokasi tertentu, tetapi kita tahu dari laporan saksi mata bahwa gelombang setinggi 20 meter di sana,” kata Karstens.
Lebih lanjut, laut dikatakan telah surut terlebih dahulu di titik lain, tetapi dalam simulasi komputer puncak gelombang mencapai pantai terlebih dahulu. Dengan demikian, ledakan saja tidak dapat menjelaskan terjadinya tsunami. Namun, ketika tanah longsor dimasukkan dalam simulasi, data yang diperoleh sesuai dengan observasi historis.
Jens Karstens menjelaskan, ”Kolumbo sebagian terdiri dari batu apung dengan kemiringan yang sangat curam. Sangat tidak stabil. Saat terjadi letusan yang sudah berlangsung beberapa minggu, lava terus menerus dikeluarkan. Karena gas, terdapat tekanan yang sangat besar. Ketika salah satu sisi gunung berapi tergelincir, efeknya seperti membuka tutup botol sampanye: pelepasan tekanan secara tiba-tiba memungkinkan gas dalam sistem magma mengembang sehingga mengakibatkan ledakan besar.”
Hal serupa bisa saja terjadi pada letusan gunung berapi bawah laut Hunga Tonga pada tahun 2022 yang bentuk kawah gunung berapinya mirip dengan Kolumbo.
Baca juga: Kolom Letusan Gunung Api Hunga Tonga Melebihi Tambora 1818
Studi ini memberikan informasi berharga untuk pengembangan program pemantauan aktivitas gunung berapi aktif bawah laut, seperti SANTORY yang dipimpin oleh rekan penulis Paraskevi Nomikou dari Universitas Nasional dan Kapodistrian Athena (NKUA). ”Kami berharap dapat menggunakan hasil penelitian kami untuk mengembangkan pendekatan baru dalam memantau letusan gunung berapi,” kata Karstens, ”Bahkan mungkin sistem peringatan dini, mengumpulkan data secara real-time. Itu adalah impian saya.”
Tsunami vulkanik Krakatau
Tsunami vulkanik yang dipicu erupsi Gunung Kolumbo mengingatkan pada letusan Gunung Krakatau di Indonesia yang telah berulang kali memicu tsunami. Letusan Krakatau pada 1883 bahkan menewaskan 36.417 jiwa dan menjadi tsunami vulkanik terhebat dalam sejarah modern. Setelah erupsi ini, Krakatau menghilang dari Selat Sunda.
Lihat juga: Erupsi Anak Gunung Krakatau
Pada 29 Desember 1927, di bekas kaldera Krakatau muncul gunung baru disebut Anak Krakatau. Gunung itu tumbuh cepat dan sebelum tsunami pada 22 Desember 2018, ketinggiannya 340 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Pada Sabtu (22/12/2018), Anak Krakatau kembali erupsi yang diikuti tsunami yang menyebabkan 437 orang meninggal, 16 orang hilang, 14.059 terluka, dan 33.721 mengungsi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, 2.752 rumah dan 92 penginapan serta warung rusak.
Tingginya tsunami Anak Krakatau pada 2018 ini dipicu longsoran sebagian tubuh gunung ini ke laut dengan volume kecil membangkitkan tsunami yang menghancurkan pesisir Selat Sunda. Menurut kajian Rebecca Williams dari Hull University, Inggris, dan tim di jurnal Geology edisi Agustus 2019, volume material Gunung Anak Krakatau jatuh ke laut kecil, tetapi gelombang yang ditimbulkan besar. Studi mengkaji foto-foto citra satelit diambil sebelum, saat, dan setelah tsunami 22 Desember 2018 lalu.