Festival Kata Kompas berupaya menghapus stigma dan memperjuangkan kesetaraan jender dengan mengangkat suara perempuan dalam bacaan kita.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan masih belum mendapatkan ruang yang setara dalam sendi kehidupan, termasuk dalam karya sastra dan media populer. Melalui itu pula, para perempuan terus menempuh perjuangan untuk menghapuskan stereotipe sebagai nomor dua setelah laki-laki dalam sosial budaya yang seakan sulit menemui titik temu.
Representasi perempuan pada buku terkenal masih terpaku dengan stereotipe patriarki yang klise dan ideologi normatif yang jarang dan bahkan tidak pernah mencerminkan kompleksitas dan nuansa kehidupan seorang perempuan yang sebenarnya. Buku dan media memiliki kecenderungan untuk mendikte seperti apa perempuan dahulu, sekarang, dan masa depan.
Perempuan penulis Margareta Astaman mengatakan, perempuan memang sudah banyak terepresentasi dalam media populer saat ini. Namun, representasi perempuan yang muncul masih mengikuti kemauan masyarakat patriarki, bukan perempuan yang muncul sebagai dirinya sendiri. Perempuan sering kali direpresentasikan sebagai pelengkap dari laki-laki atau belum setara.
”Membuat kesetaraan ini adalah kerja bareng. Tidak hanya untuk kemudian suara perempuan menggelegar dan mengintimidasi lalu mengganti dominasi menjadi matriarki, bukan begitu, karena kita menginginkan kesetaraan yang menguntungkan kedua belah jender,” kata Margareta saat diskusi ”Suara Perempuan dalam Bacaan Kita” dalam Festival Kata yang diselenggarakan Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (27/10/2023).
Melalui bukunya, The Overqualified Leftover Club, Margareta menunjukkan perjuangan empat perempuan single usia 30-an yang berjuang untuk mengganti status KTP mereka menjadi ”kawin”. Keempat perempuan itu ialah pengusaha Joana Rompies; postdoctoral candidate Dr Jessica Winoto; dosen Choirunnisa Chalid; dan pegawai negeri sipil yang juga menjadi pemengaruh di media sosial, Hanum Ikkhlasia.
Dalam buku ini digambarkan, setinggi apa pun prestasi keempat perempuan ini di dunia kerja, tetap belum terlalu bisa melepas stigma ”perawan tua”, ”pemilih”, ”kepinteran”, dan ”terlalu mandiri” di dalam kultur sosial-budaya. Stigma itu justru membuat perempuan menjadi tidak percaya diri, cenderung menyalahkan diri sendiri.
Kita banyak tidak tahu kebutuhan kelompok lain karena kita tidak pernah mendengar pandangan mereka. Padahal, semakin banyak pandangan, artinya semakin banyak solusi dalam berbagai hal.
Direktur perpustakaan gratis di ruang publik, Jakarta Bookhive, Yuli Andyono mengatakan, para perempuan penulis secara jumlah sebenarnya sudah banyak. Tetapi, mereka sering kali membuat karya yang masih terbatas pada isu-isu perempuan. Hal ini tidak salah. Akan tetapi, diperlukan upaya lebih agar berani menulis hal-hal lain yang selama ini identik dengan jender laki-laki dan sebenarnya bisa dilakukan oleh perempuan.
”Orang biasanya berpikiran buku buat perempuan kalau tidak buku masak, parenting, ya, buku agama yang menguatkan kalau perempuan itu harus di rumah. Padahal, perempuan sebenarnya juga membaca buku geopolitik, energi, dan sebagainya,” kata Yuli.
Seniman Nahdlatul Ulama (NU), Inaya Wahid, menambahkan, mewujudkan kesetaraan jender adalah kunci menuju kemajuan karena akan semakin memperkaya cara pandang manusia dalam menghadapi kehidupan. Dengan mendengarkan banyak pandangan, semua kebutuhan masyarakat akan terpenuhi dan keadilan akan tercapai.
”Kita banyak tidak tahu kebutuhan kelompok lain karena kita tidak pernah mendengar pandangan mereka. Padahal, semakin banyak pandangan, artinya semakin banyak solusi dalam berbagai hal,” kata Inaya.
Putri bungsu KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini berharap banyak perempuan penulis yang berani menulis tanpa terbatas stigma jender. ”Yang bisa menulis, tulis saja. Ini cara kita mengambil tempat. Perempuan harus semakin banyak berbicara hal-hal yang beragam,” ucapnya.
Anugerah Cerpen ”Kompas”
Setelah tiga tahun digelar secara virtual, Malam Anugerah Cerpen Kompas kembali hadir di halaman Bentara Budaya Jakarta, Jumat (27/10/2023), sebagai wujud apresiasi kepada karya-karya cerita pendek Indonesia. Sebanyak 20 cerpen masuk nominasi Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2022. Cerpen terbaik akan diumumkan Jumat (27/10/2023) ini mulai pukul 19.00.
Malam Anugerah Cerpen yang sudah menganugerahi 26 penulis cerpen Nusantara ini menjadi acara puncak dari rangkaian Festival Kata yang mengusung tema ”Merawat Literasi, Merawat Kebudayaan”. Festival Kata didukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai sponsor utama dan UOB serta Indosat sebagai sponsor pendamping.
Sepanjang 2022 ada 3.017 cerpen yang dikirimkan kepada redaksi harian Kompas untuk dimuat di harian Kompas. Setelah melalui proses kurasi yang ketat, hanya 49 cerpen yang diterbitkan di harian Kompas pada 2022. Dari 49 cerpen yang diterbitkan di Kompas, lima juri memilih 20 cerpen yang masuk nominasi Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2022.
Adapun 20 cerpenis yang masuk nominasi Malam Anugerah Cerpen Kompas ialah Muram Batu, T Agus Khaidir, Meutia Swarna Maharani, Surya Gemilang, Ranang Aji SP, Artie Ahmad, Risda Nur Widia, Kiki Sulistyo, Supartika, A Muttaqin, Yulizar Lubay, Agus Dermawan T, Atta Verin, Saras Dewi, Mashdar Zainal, Rizqi Turama, Ahda Imran, Ahimsa Marga, Damhuri Muhammad, dan Silvester Petara Hurit.
Para juri yang terlibat kali ini cukup beragam jika dilihat dari latar belakang. Mereka ialah Andreas Maryoto, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas yang juga pencinta sastra dan teater; Susy Berindra yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi kurator cerpen digital untuk dimuat di Kompas.id; serta Budi Suwarna, Kepala Desk Budaya Kompas.
Ada pula Sarie Febriane yang setidaknya dalam tujuh tahun terakhir menjadi juri cerpen pilihan Kompas dan menyukai seni rupa, kemudian ada Hilmi Faiq, penulis fiksi dan nonfiksi; editor gaya hidup dan seni; dan kurator cerpen Kompas.
Festival Kata dan Malam Anugerah Cerpen Kompas menjadi upaya Kompas menjaga komitmen sebagai media massa yang terus memberikan penghargaan pada karya-karya cerpen terbaik setiap tahun. Penghargaan ini merupakan upaya untuk merawat dan mengangkat beragam hal terkait literasi, terutama yang berhubungan dengan dunia baca tulis, di antaranya perbukuan, cerpen, puisi, teater, dan tradisi lisan.