Panggung Tradisi Lisan semakin terhimpit perkembangan zaman. Namun, upaya dan semangat untuk menjaganya masih tetap ada dan terus berkembang.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Seni tradisi, termasuk tradisi lisan di berbagai daerah semakin mengalami kemunduran, panggung mereka semakin terhimpit perkembangan zaman, yang berimbas pada putusnya regenerasi. Namun, upaya pemerintah maupun masyarakat untuk membangkitkan seni tradisi masih tetap ada dan semakin berkembang.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), mencatat, masih ada 223 tradisi lisan dari berbagai suku di Indonesia. Beberapa di antaranya, yaitu Sinliriq dari Sulawesi Selatan, Gurindam dua belas dari Kepulauan Riau, Tale Tuai dari Jambi, Makepung dari Bali, Randai dari Sumatera Barat, berbagai jenis pantun, dan lain sebagainya.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media pada Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra mengatakan, angka ini cukup besar, tetapi sesungguhnya sudah menyusut signifikan seiring perkembangan zaman. Padahal, tradisi lisan adalah pesan yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika ini punah, maka nilai-nilai kebudayaan akan terputus.
"Perlu komitmen semua pihak, karena pemerintah sendiri tidak bisa mengeluarkan regulasi pendukung kalau masyarakat tidak membutuhkan. Ini pertanyaan bagi kita, apakah teman-teman yang muda ini masih mau? kalau pemerintah sudah mengeluarkan uang tetapi masyarakat masih tak acuh dan sudah tidak lagi terhubung kan juga susah," kata Ahmad saat bincang-bincang tentang tradisi lisan dalam Festival Kata yang digelar Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (26/10/2023).
Menurut Ahmad, saat ini sedikitnya ada tiga permasalahan dalam seni tradisi. Ketiga masalah itu yakni, regenerasi seniman tradisi, regenerasi penonton, dan regenerasi komitmen pendanaan, baik dari pemerintah maupun swasta.
Seperti halnya tradisi lisan Tale Nuai dari Jambi yang menuju kepunahan. Agustin, Pamong Budaya Bidang Seni Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sungai Penuh, Jambi, mengatakan, pihaknya sudah berupaya melestarikan tradisi Tale dengan memasukkannya sebagai muatan lokal di satuan pendidikan. Festival Kata menjadi salah satu upaya mengenalkan kembali Tale Tuai dengan mendatangkan maestronya, Tino Mariam ke Bentara Budaya Jakarta.
"Di Jambi secara umum, Tale Tuai seperti yang dibawakan Tino Mariam ini sudah terputus, tetapi masih ada beberapa mahasiswa seni yang membawakannya, ini bisa menjadi peluang. Sekarang sastra lisan Tale masih menjadi muatan lokal pilihan melalui Peraturan Wali Kota, sedang diperjuangkan untuk menjadi wajib," kata Agustin.
Tale Nuai berisi ungkapan suara hati dalam bentuk syair yang disenandungkan dengan indah. Umumnya, Tale Tuai bercerita tentang kebiasaan masyarakat saat memanen padi. Untuk mengusir kebosanan selama bekerja di sawah, para petani biasanya ber-tale.
Tino Mariam dianugerahi penghargaan oleh Gubernur Jambi sebagai Maestro Seni Tradisi di Bidang Tale pada 2021. Selanjutnya, ia diberi penghargaan Maestro Tingkat Nasional Sastra Lisan oleh Kemendikbudristek pada 2021.
Begitu pula dengan tradisi lisan Buleng, dongeng Betawi. Seniman Buleng Betawi, Yahya Andi Saputra juga merasakan keresahan yang sama. Buleng adalah dongeng Betawi yang bertumpu pada kisah-kisah kerajaan-kerajaan lokal. Sastra lisan ini dulu biasa digelar di acara-acara hajatan.
Seniman Dongeng Buleng, Yahya Andi Saputra menjadi pembicara pada Diskusi Tradisi Lisan Tale Tuai Jambi dan Dongeng Buleng Betawi dalam Festival Kata Merawat Literasi Merawat Kebudayaan di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (26/10/2023).
Sejak tahun 1990-an, dongeng Buleng, menurut Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi tersebut, bisa dikatakan sudah punah lantaran tidak pernah lagi ada laporan tentang penampilannya. Budaya ini telah runtuh seiring perubahan lingkungan di Jakarta dan sekitarnya. Sawah atau lapangan terbuka berubah menjadi permukiman padat atau perkantoran.
"Ibarat kata di rumah kita sekarang itu ada rice cooker, alat ini sekali colok paling tidak puluhan kosakata kebudayaan kita hilang, mulai dari dandang, mengukus, mengaron nasi, dan lain-lain. Dari satu teknologi saja sudah begitu, belum lagi perkembangan di lingkungan," kata Yahya.
Dalam praktiknya, sejumlah panggung kebudayaan kembali didirikan sebagai wadah eksistensi pelaku kebudayaan.
Pemerintah, lanjut Ahmad Mahendra, telah berkomitmen mendukung kelestarian kebudayaan sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam UU ini, terdapat 10 obyek pemajuan kebudayaan, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
Dalam praktiknya, sejumlah panggung kebudayaan kembali didirikan sebagai wadah eksistensi pelaku kebudayaan. Generasi muda didorong untuk terlibat melestarikan baik secara langsung maupun melalui upaya pendokumentasian kebudayaan. Setelah didokumentasikan, pemerintah akan melakukan penetapan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, serta pengusulan penetapan ke UNESCO.
UU ini juga mendukung eksistensi maestro seniman tradisi agar kebudayaan itu tetap hidup dan menurun. Maestro seni tradisi yang ditetapkan pada periode 2007-2021 kini hanya berjumlah 47 orang. Empat di antaranya telah meninggal.
"Jadi posisi maestro ini bukan hanya mendapatkan dana saja yang diberikan setiap setengah tahun sekali, dana itulah yang digunakan untuk menularkan pengetahuannya tidak terputus," ucap Ahmad Mahendra.
Festival Kata mengusung tema ”Merawat Literasi, Merawat Kebudayaan”. Penyelenggaraan festival ini didukung oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek dan menjadi kegiatan penyemarak Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 yang mengangkat tema serupa, yaitu ”Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”.
Penyelenggaraan agenda dua tahunan PKN 2023 pada 20-29 Oktober 2023 bertujuan untuk mendokumentasikan dan mengevaluasi upaya pelestarian seni tradisi yang selama ini dilakukan. PKN 2023 dibagi ke dalam delapan kuratorial yang meliputi Temu Jalar, Jejaring, Rimpang, Rantai Bunyi, Pendidikan yang Berkebudayaan, Berliterasi Alam dan Budaya, Laku Hidup, Gerakan Kalcer, dan Sedekah Bumi.