Arus modernisasi dan globalisasi menjadi tantangan bagi seniman tradisi di tengah perannya yang penting dalam menjaga kelestarian kesenian tradisi.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para peserta bersiap mengikuti flash mob seusai mengikuti lomba tari Nusantara di Rumah Budaya Nusantara Puspo Budoyo, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (29/7/2023).
Di tengah dunia yang makin modern dengan arus pesat perkembangan teknologi, seni tradisi masih menjadi hal yang patut untuk diperjuangkan. Jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 18-20 September 2023 merekam, sebanyak 97,3 persen responden menilai seni tradisi merupakan hal yang perlu untuk dilestarikan.
Menjaga kelestarian seni tradisi tak dapat dilepaskan dari peran krusial seniman tradisi. Dari hasil jajak pendapat, mayoritas responden, yakni 98,5 persen, mengakui pentingnya peran seniman tradisi dalam menjaga kelestarian budaya. Bahkan, sebanyak 43,9 persen dari angka tersebut menekankan sangat pentingnya peran seniman.
Menariknya, persepsi ini tidak hanya berlaku bagi responden yang tinggal di wilayah perdesaan yang cenderung lebih dekat dengan kebudayaan lokal, tetapi juga bagi responden di perkotaan. Tak kurang dari 98,8 persen responden perkotaan sepakat dengan hal ini, dengan 37,4 persen responden yang memberikan penilaian sangat penting.
Sementara untuk responden di perdesaan, sebanyak 98,6 persen mengakui peran penting seniman tradisi dalam menjaga kelestarian tradisi, dan separuhnya (50,6 persen) memberi penekanan sangat penting.
Dengan kata lain, di satu sisi penekanan terhadap sangat pentingnya peran seniman tradisi lebih ditonjolkan oleh responden yang tinggal di perdesaan. Namun, di sisi lain, dengan tekanan modernisasi yang lebih kuat, persepsi masyarakat perkotaan untuk mendukung peran seniman tradisi pun tetap kuat.
Kendati perannya dipandang penting, tak dapat dimungkiri bahwa posisi seniman tradisi cenderung terpinggirkan. Apabila kelangsungan hidup para seniman tradisi ini ditentukan oleh banyaknya jumlah panggung yang ada, tampak bahwa kegiatan seni tradisi bukan hal yang sering dilakukan.
Masih dari jajak pendapat yang sama, sebanyak 72,7 persen responden menyatakan acara seni tradisi di wilayahnya hanya kadang-kadang saja dilakukan, yakni antara sebulan atau dua bulan sekali.
Bahkan, ada 6,5 persen responden yang mengaku tidak pernah ada acara seni tradisi di wilayahnya. Hanya 17,9 persen saja responden yang menyatakan sering ada acara seni tradisi di tempatnya tinggal, yaitu lebih dari sekali sebulan.
Terpinggirkannya seniman tradisi bukan fenomena yang baru. Tak hanya disebabkan arus perkembangan teknologi saat ini, dalam sejarah di Indonesia seniman tradisi beberapa kali harus tersisih akibat sejumlah tekanan, salah satunya politik. Padahal, kebudayaan menjadi hal yang sangat diperhitungkan dalam masa-masa awal kemerdekaan.
Terbukti, pada masa setelah kemerdekaan sejumlah partai politik dan organisasi, apa pun ideologinya, memiliki bagian khusus yang bergerak di bidang kebudayaan termasuk seni rakyat. Beberapa yang dapat disebut misalnya, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang memiliki Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN).
Partai Komunis Indonesia (PKI) mempunyai Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga diisi oleh mereka yang merupakan perumus Manifesto Kebudayaan. Tak ketinggalan, organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama memiliki Lembaga Seni Budaya Muslim atau Lesbumi. Artinya, kegiatan kesenian menjadi bagian kental, bahkan dari gerak-gerak politik bernegara kala itu.
Hanya saja, dalam sejarah tercatat pula bahwa sejumlah polemik menimbulkan keterpinggiran, bahkan penghilangan para seniman tradisi. Misalnya apa yang terjadi pada periode tahun 1950-an ketika terjadi gerakan DI/TII. Salah satu semangat gerakan ini adalah memurnikan agama.
Tidak mengherankan seni-seni tradisi yang lekat dengan ritual dianggap sebagai kegiatan yang bertentangan dengan agama. Tak hanya melarang, DI/TII juga melakukan pengejaran hingga pembunuhan. Salah satunya apa yang terjadi kepada komunitas Bissu di Sulawesi Selatan. Sejumlah orang yang terkait dengan kegiatan ini dibunuh.
Menjelang masa Orde Baru, polemik kembali terjadi, yakni antara kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Lekra. Situasi makin gawat tatkala chaos politik terjadi yang berujung pada tragedi pengejaran dan pembunuhan anggota PKI. Para seniman Lekra tak lepas dari pengejaran ini. Kembali, para seniman tradisi mengalami situasi pengucilan (Kompas, 21/1/2020).
Ketika Presiden Soeharto berkuasa, rezim Orde Baru menggunakan seni sebagai salah satu alat propaganda dan legitimasi politik. Kontrol ketat Orde Baru salah satunya dengan memisahkan antara seni dan politik.
Tod Jones dalam bukunya berjudul Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya selama Abad Ke-20 hingga Era Reformasi (2015) menuliskan, seni tradisi yang bermuatan politik dalam masa Orde Baru dipandang menurunkan spiritualitas seni itu sendiri.
Menurut Jones, semasa Orde Baru seni-seni yang mengandung ritual di daerah-daerah dapat diterima sebab kebudayaan etnik daerah dipandang sebagai dasar-dasar kebudayaan nasional. Bentuk seni daerah merupakan ekspresi paling simbolik dari kebudayaan daerah.
Memasuki Era Reformasi, salah satu hal yang kembali mencuat adalah menguatkan nilai-nilai moralitas publik yang lekat dengan moral agama. Dalam situasi ini, diskusi kembali muncul apakah tradisi-tradisi lokal yang sarat dengan ritual sejatinya bertentangan dengan moralitas agama.
Di sisi lain, dalam praktik desentralisasi negara, dana untuk kebijakan budaya tergantung pada sikap dan kemauan pemerintah daerah setempat. Dengan tarikan politik yang berlandaskan moralitas publik berbasis agama, beberapa daerah memiliki pilihan untuk tidak mengalirkan dana kebijakan budaya yang dikhawatirkan menggerakkan kegiatan seni tradisi yang dipandang tidak sejalan dengan moralitas agama.
Dalam diskusi yang masih belum selesai di atas, seniman tradisi harus menghadapi kenyataan gempuran pandemi Covid-19. Dengan kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat, panggung-panggung seni tradisi yang mengumpulkan orang hampir mustahil bisa dilakukan semasa pandemi. Tak mengherankan, Kemendikbudristek mencatat sebanyak 99,51 persen pelaku budaya mengalami penurunan penghasilan.
Hal tersebut tentu berdampak pada kesejahteraan para seniman tradisi. Hasil jajak pendapat mencatat, tak kurang dari 29,7 persen responden menilai kehidupan seniman tradisi cenderung berkekurangan. Bahkan, 14,5 persen menilai kehidupan para seniman tersebut sangat berkekurangan. Hanya 2,1 persen responden yang menilai seniman tradisi dapat hidup mewah. Sisanya 50,7 persen responden menganggap kehidupan mereka berkecukupan saja.
Baik dari persepsi publik maupun rentetan cerita sejarah, narasi tentang seniman tradisi tampak cenderung menjadi kisah tentang mereka yang terpinggirkan. Pandemi yang telah teratasi membuka harapan baru bagi kehidupan seniman tradisi. Ada harapan untuk memutus tradisi mereka sebagai sosok yang senantiasa terpinggirkan meskipun diakui memiliki peran penting dalam kebudayaan. (LITBANG KOMPAS)