Dana Abadi Kebudayaan meningkat menjadi Rp 5 triliun. Investasi ini diharapkan bisa mengungkit upaya-upaya membangkitkan lagi kebudayaan yang hampir punah dan membudayakan kembali di masyarakat.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah upaya dilakukan pemerintah untuk merawat kebudayaan di seluruh Nusantara, mulai dari pembinaan hingga menyediakan panggung untuk membangun ekosistem dan menjaga eksistensi kebudayaan yang mulai redup termakan zaman. Semua dilakukan dengan platform Indonesiana, yakni bantuan pemerintah peningkatan kapasitas untuk para pelaku budaya melalui pemanfaatan Dana Abadi Kebudayaan.
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Restu Gunawan mengatakan, platform Indonesiana tidak hanya diperuntukkan bagi kegiatan budaya dan komunitas budaya, tetapi juga untuk kegiatan yang telah lama terhenti atau tertunda dan dapat diaktifkan kembali. Oleh sebab itu, setiap orang atau kelompok seni bisa mengajukan dana ini untuk menjalankan kreativitasnya.
”Lewat platform Indonesiana ini bukan pemerintah yang membuat acara, tetapi ide dan gagasannya berasal dari komunitas, mereka yang membuat rencananya, kami yang memfasilitasi sesuai kemampuan lewat dana abadi kebudayaan,” kata Restu di Jakarta, Selasa (19/9/2023).
Sasaran penerima manfaat platform Indonesiana meliputi perseorangan, komunitas atau organisasi kebudayaan, serta lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan. Program layanan yang ditawarkan adalah dukungan institusional, belajar bersama maestro; produksi kegiatan kebudayaan, seperti pendayagunaan ruang publik, sinema mikro, dan kegiatan strategis; produksi media, seperti dokumentasi karya/pengetahuan maestro, karya kreatif inovatif, dana pendamping untuk distribusi internasional, dan dana pendamping untuk karya unggulan. Program layanan lainnya akan ditentukan oleh Dewan Penyantun.
Program kerja sama antara Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) ini memiliki alokasi dana sebesar Rp 3 triliun pada 2022 dan meningkat menjadi Rp 5 triliun yang akan dikelola oleh LPDP. Namun, pencairan dana abadi biasanya dilakukan pada akhir tahun. Alokasi dana ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dengan begitu, para pelaku seni dan budaya dapat termotivasi dalam pemajuan kebudayaan Tanah Air.
Restu menyebutkan, penerima program platform Indonesiana tidak hanya menerima uang semata, mereka harus berkomitmen menggalakkan sejumlah upaya membangkitkan kembali kebudayaan yang diusulkannya. Terlebih lagi, penerima dituntut untuk bisa memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar dari gagasannya tersebut.
”Pola pikirnya harus diubah, kebudayaan ini bukan pengeluaran, kebudayaan seharusnya investasi. Kalau kita melihatnya sebagai investasi, ketika kita dampingi, acara itu menggerakkan ekonomi atau tidak dan menghidupkan ekosistem kebudayaan atau tidak. Kalau hanya tontonan saja, ya, itu jadinya pengeluaran saja,” tuturnya.
Menurut Restu, kenyataan terkadang tidak selalu sesuai dengan harapan, cukup banyak upaya yang belum maksimal membangkitkan kebudayaan melalui platform Indonesiana. Dia berharap acara kebudayaan yang digelar memanfaatkan platform tersebut terus berlanjut dan menjadi kebudayaan yang kembali mengakar di daerah tersebut.
”Gagal sih tidak, tetapi ada yang pesat ada yang stabil perkembangannya. Kami akan melakukan pendekatan kembali. Kami inginnya semua pihak menjadi memiliki, bahkan membutuhkan kebudayaan itu. Kalau perlu, bisa menjadi unggulan di daerah tersebut,” tutur Restu.
Ahmad Syarani (47), seniman madihin asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, juga berharap kebudayaan tradisi mamasar apung ke pasar tarapung Muara Kuin sebagai cikal bakal pasar terapung di tanah Borneo kembali hidup. Dia berharap kegiatan kebudayaan, seperti Pra-Pekan Kebudayaan Nasional atau PKN 2023, yang digelar Kemendikbudristek di Dermaga Pasar Terapung Muara Kuin pada 9 September 2023 lalu tidak hanya seremonial semata.
”Boleh kita di darat, tetapi jangan meninggalkan yang di sungai, ini harus mengakar. Jadi, bukan hanya festival, festival itu hanya penampilan, tidak mengakar pada kultur masyarakat sini,” kata Ahmad.
Ahmad tak kuasa membayangkan jika budaya mamasar apung di Pasar Terapung Muara Kuin benar-benar punah. Saat ini saja hanya tersisa belasan pedagang yang masih bertahan berjualan di atas jukung atau sampan dalam bahasa Banjar.
Budaya mamasar apung kian ditinggalkan generasi muda seiring dengan pembangunan infrastruktur di darat, terutama sejak berdiri Jembatan Barito pada 1997. Jembatan yang menghubungkan Kabupaten Barito Kuala dan Kota Banjarmasin itu mengubah kebiasaan dagang antardaerah.
Saat ini, generasi muda lebih banyak menggunakan motor dan mobil daripada jukung untuk beraktivitas. Jalur-jalur sungai dan kanal di kota berjuluk ”Seribu Sungai” ini pun mulai ditinggalkan.
Dengan menjadi pamadihinan, Ahmad ingin mengenalkan kepada anak muda agar terus melestarikan budaya yang ada sejak abad ke-14 dan semakin besar saat Kerajaan Banjar berdiri pada pertengahan abad ke-16 tersebut. Pamadihinan merupakan sebutan bagi seniman madihin di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Lantunan madihin Ahmad tidak hanya terdengar di Banjarmasin. Pria berusia 47 tahun itu sudah sering diundang untuk tampil di berbagai negara, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan Hong Kong.