Kesenian tradisional randai di Sumatera Barat menghadapi kemunduran, termasuk dari segi kuantitas. Jika kondisinya tidak berubah, seni randai bisa punah.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
Kesenian tradisional randai di Sumatera Barat sedang menghadapi kemunduran, termasuk dari segi kuantitas. Menurunnya minat generasi muda serta kurangnya wadah dan insentif pemberdayaan dinilai sebagai salah satu faktor penyebab.
Budayawan Musra Dahrizal yang juga tuo randai, Sabtu (23/9/2023), mengatakan, randai di berbagai daerah di Sumbar belakangan ini mengalami kemunduran, termasuk dari segi kuantitas. Sebagai contoh, katanya, di Sijunjung, grup randai aktif pernah mencapai 186 grup, sekarang hampir tidak ada.
”Mundurnya secara kuantitas dan kualitas. Begitulah kondisi randai sekarang ini,” kata pria yang karib disapa Mak Katik, yang pernah jadi dosen yang diundang mengajar adat Minangkabau di University of Hawaii (Amerika Serikat) dan Akademi Seni Warisan Budaya Kebangsaan (Malaysia) ini.
Menurut Mak Katik, kondisi demikian terjadi karena minimnya dukungan dari pemerintah daerah, termasuk dari tingkat nagari (desa). Kelompok-kelompok randai kesulitan untuk sekadar latihan. Simpul-simpul kesenian di tingkat nagari juga menghilang.
Mak Katik menjelaskan, sebenarnya alokasi dana desa bisa diarahkan untuk pemberdayaan kesenian di nagari, termasuk randai. Kelompok-kelompok randai bisa dibantu dengan anggaran itu sekadar biaya konsumsi saat latihan dan insentif guru randai.
Akan tetapi, selama ini pengelolaan dana desa jarang dialokasikan untuk kegiatan pemberdayaan. ”Pemberdayaan tidak jalan. Padahal, alokasi dana desa bisa diarahkan ke sana. Akhirnya, di sejumlah nagari dana desanya banyak silpa (sisa lebih perhitungan anggaran) karena tidak pandai mengelola,” katanya.
Mak Katik menambahkan, jika kondisi yang dialami saat ini tidak menjadi perhatian, bisa saja kesenian randai punah. ”Dampaknya, tidak paham anak-cucu dengan adat dan kebudayaannya,” ujarnya.
Sementara itu, Junaidi (42), praktisi randai sekaligus penggerak dan pelatih randai di Sanggar Ranah Tigo Raso di Padang, mengatakan, peminat randai memang berkurang. Hal itu terjadi karena banyak generasi muda kurang mengetahui tentang randai atau juga memandang randai itu terlalu sulit dimainkan sebagaimana yang didefinisikan di kampus-kampus.
Agar menarik minat anak muda, Junaidi berupaya memvariasikan randai selama tidak mengurangi dasar-dasar pokok dari randai. Contohnya, randai kreasi. Biasanya permainan randai berbentuk lingkaran, sekarang coba dialihkan dengan bentuk acak atau bermacam-macam pola.
”Saya mencoba dengan cara saya sendiri mendefinisikan randai itu sebagai sebuah permainan yang akan bisa kita garap selama itu tidak menyalahi konsep-konsep dasar dari randai. Jadi, adik-adik ini lebih cepat paham,” katanya.
Konsep dasar dari randai, kata Junaidi, adalah randai identik dengan silek atau silat. Randai memang pengembangan dari silek tradisi. Jadi, randai tidak boleh dilepaskan dari akarnya, silek. Begitu pula dengan kearifan lokal tempat randai itu berkembang.
Junaidi melanjutkan, selain memvariasikan pola lingkaran randai, ia juga memvariasikan atraksi galembong agar tidak monoton. Pengembangan cerita yang sesuai dengan budaya yang melekat juga dilakukan agar kabar yang disampaikan tidak itu-itu saja.
Menurut Junaidi, faktor lain yang memicu kurangnya minat generasi muda bermain randai adalah minimnya dukungan dari pemerintah, terutama wadah untuk tampil. Saat alek nagari (pesta rakyat) semakin jarang diadakan, wadah yang disediakan pemerintah juga masih terbatas.
”Saat latihan, adik-adik ini bertanya, memangnya kita mau ke mana? Atau, untuk apa latihan terus? Acara festival randai, pekan buaya, dan sejenisnya sekarang sangat kurang. Jadi, adik-adik ini hanya tampil saat baralek (pesta),” katanya.
Selain itu, kata Junaidi, perhatian dari pihak sekolah untuk kesenian tradisi juga minim. Kegiatan pentas seni lebih cenderung menampilkan seni modern.
”Kalau pemerintah sekarang baru bisa bergerak dengan dana pokir (pokok pikiran anggota DPRD). Kalau tidak, ya, tidak ada. Kalau di dinas kebudayaan, kalau tidak ada pokir, tidak tampil. Sementara, kan, kita butuh beli seragam dan lain-lainnya juga,” ujarnya.
Junaidi berharap masyarakat sekitar mendukung anak-anak latihan randai. Pemerintah diharapkan pula bisa membantu menyediakan wadah bagi seniman untuk menampilkan karya.
”Kalau tidak ada hal itu, saya yakin nanti bisa saja kita yang belajar randai ke Jerman karena di sana mereka benar-benar gigih belajar. Saya takut itu ketika pemerintah lengah kita kehilangan apa yang kita punya. Adik-adik ini butuh banyak tampil sebagai apresiasi,” katanya.