Seni Tradisi di Ujung Tanduk
Jangan biarkan seni tradisi semakin tersudut dan menunggu kematiannya dalam kesunyian.
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan kesenian tradisi di daerah-daerah benar-benar berada di ujung tanduk. Dari tahun ke tahun, semakin banyak kesenian tradisi yang tenggelam dan perlahan hilang ditelan perubahan zaman. Padahal tenggelamnya seni tradisi akan diikuti dengan memudarnya memori kita tentang nilai-nilai dan pengetahuan dari masa lalu.
Sebagian pelaku seni tradisi hanya bisa pasrah menghadapi kemunduran. Salah satunya Sulama Hadi, Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ia menceritakan, di Kabupaten Cirebon ada 40 kesenian tradisional. ”Tetapi, yang masih eksis tinggal 20. Yang lainnya hidup segan mati tak mau,” kata Sulama Hadi, Sabtu (23/9/2023).
Seni tradisi Cirebon yang berada di tepi jurang itu, lanjut Sulama, antara lain berokan, sintren, tari rudat, jaran lumping, dan genjring akrobat. Sebagian kesenian itu sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Kini, seni tradisi yang masih bertahan pun napasnya kembang kempis lantaran tidak mendapat kesempatan tampil.
Karyadi, anggota grup Genjring Akrobat Putri Kuda Kecil dari Desa Bayalangu, Kecamatan Gegesik, Cirebon mengaku, setahun terakhir grupnya baru sekali pentas. Kesempatan pentas yang makin langka membuat grup-grup genjring akrobat, yang dulu hampir ada di setiap desa di Kabupaten Cirebon, berguguran satu per satu. ”Mungkin tinggal (kami) satu-satunya (yang masih bertahan) di Cirebon,” ujar Karyadi.
Situasi serupa dihadapi sejumlah seni tradisi di Sumatera Barat. Budayawan Musra Dahrizal yang juga tuo randai, Sabtu (23/9/2023), mengatakan, seni randai belakangan ini mengalami kemunduran dari sisi kuantitas dan kualitas. Dia mencontohkan, di Sijunjung, grup randai aktif pernah mencapai 186 grup, tetapi sekarang hampir tidak ada.
”Mundurnya secara kuantitas dan kualitas. Begitulah kondisi randai sekarang ini,” kata pria yang karib disapa Mak Katik, yang pernah jadi dosen yang diundang mengajar adat Minangkabau di University of Hawaii (Amerika Serikat) dan Akademi Seni Warisan Budaya Kebangsaan (Malaysia) ini.
Di wilayah kultural Betawi, sebagian seni tradisi diduga telah punah, seperti sampyong betawi, buleng, lenong dines, gambang klasik, dan rebana biang. ”Sudah enggak ada kabar beritanya. Enggak ada laporan soal performance yang masuk ke kami,” ujar Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andri Saputra, yang juga pelaku seni sohibul hikayat.
Dia menduga, kesenian buleng sudah tidak ada sejak awal 1990-an. Sampyong pernah muncul di sebuah festival beberapa waktu lalu. Setelah itu, tidak ada lagi kabarnya. Seni tradisi Betawi lainnya, seperti gambang kromong, sohibul hikayat, dan cokek, masih ada. Namun, wilayah operasinya makin terdesak ke pojok-pojok pinggiran Jakarta. Itu pun jarang juga yang menanggap.
Sebagian besar kesenian tradisi Betawi yang masih bertahan tinggal mengandalkan undangan pentas dari pemerintah. ”Tetapi, yang diundang yang sudah hebat-hebat. Yang belum hebat gabung ke grup yang hebat. Makin lama grup yang bertahan makin sedikit. Fenomena seperti ini dialami semua kesenian tradisi yang masih bertahan di Indonesia,” ujar Yahya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengakui adanya penyusutan pada praktik seni tradisi di daerah-daerah. Dibandingkan masa 30 tahun silam, praktik seni tradisi sekarang cukup besar perbedaannya. Jumlah pelakunya juga jauh lebih sedikit. ”Bahkan, seni tradisi yang dikemas sebagai seni pertunjukan mapan di keraton-keraton juga menyusut,” ujarnya.
Ia melihat, sebenarnya ada upaya pemerintah untuk melestarikan seni tradisi meski sifatnya sporadis, terbatas, dan tidak ada pola yang tetap. Misalnya, pelaku seni tradisi diundang untuk tampil pada acara-acara pemerintahan di tingkat kabupaten.
Di tingkat pusat, pemerintah menggelar Pekan Kebudayaan Nasional yang tahun ini melibatkan 600-an seniman. ”Tentu juga belum bisa menahan berkurangnya seni tradisi,” ujar Hilmar.
Faktor penentu
Hilmar berpendapat, sejumlah faktor yang membuat kesenian tradisi terus menyusut. Salah satunya, pranata yang menjaga seni tradisi juga mulai hilang. Selain itu, tidak ada insentif bagi yang mau belajar seni tradisi. Pada saat yang sama, perkembangan dunia modern berpengaruh terhadap ekspresi budaya yang berubah. Akibatnya, seni tradisi dianggap tidak relevan dengan kebudayaan dominan yang sedang berkembang.
Yahya Andri Saputra mengatakan, sebagian ekosistem penopang seni tradisi Betawi telah runtuh seiring perubahan lingkungan di Jakarta dan sekitarnya. Sawah atau lapangan terbuka, misalnya, telah berubah menjadi permukiman padat atau perkantoran. Padahal, banyak kesenian tradisi digelar di tempat-tempat seperti itu. ”Sampyong itu, kan, ditampilkan saat panen padi. Ada arak-arakannya. Sekarang sawahnya enggak ada. Mau tampil di mana? Di trotoar jalan?” ujar Yahya.
Faktor lainnya yang mendesak seni tradisi ke ujung jurang kematian adalah minimnya kesempatan untuk tampil, regenerasi seniman yang tidak jalan, dan dukungan pemerintah yang kurang. Sulama Hadi melihat, kesempatan tampil yang minim membuat seniman tradisi tidak punya pemasukan dan terpaksa bekerja serabutan di bidang lain sebagai petani, nelayan, ataupun tukang pijat.
Musra Dahrizal berpendapat, dukungan pemerintah, termasuk di tingkat desa (nagari), amat penting. Sayangnya, dukungan itu sangat minim. Akibatnya, kelompok-kelompok randai di Sumatera Barat kesulitan untuk sekadar latihan dan simpul-simpul kesenian di tingkat nagari akhirnya menghilang.
Di Sulawesi Selatan, para bissu yang selama berabad-abad diposisikan sebagai penjaga budaya Bugis punya persoalan lain. Mereka merasa terancam oleh paham konservatisme yang menguat dari tahun ke tahun. Puang Matoa Anchu, salah satu bissu yang tersisa di Bone, menceritakan, jangankan pentas di panggung, sekadar melakukan memmang, ritual merapal doa dan mantra yang ada dalam naskah Lagaligo, pun sulit.
”Persoalannya, kami dan aktivitas yang kami lakukan dibenturkan dengan agama. Padahal, bissu dan aktivitasnya berbeda dan tidak bisa disangkut-pautkan dengan agama mana pun,” kata Puang Matoa Anchu.
Oleh karena tekanan itu, lanjut Puang Matoa Anchu, para bissu selalu dibayang-bayangi perasaan khawatir dicekal, diprotes, dan diintai. Perasaan itu selalu muncul karena para bissu sering kali mengalaminya.
Tekanan yang datang dari berbagai sudut itu membuat regenerasi seni tradisi sulit dilakukan. Generasi muda melihat seni tradisi tidak memiliki masa depan. Sementara jumlah pelaku seni tradisi yang masih ada terus menyusut.
Berdasarkan pembaruan data Ditjen Kebudayaan sepanjang tahun 2021-2022, maestro seni tradisi yang ditetapkan pada periode 2007-2021 berjumlah 47 orang. Empat di antaranya telah meninggal.
Memori hilang
Dengan beragam persoalan yang dihadapi, kematian sejumlah kesenian tradisi sepertinya tinggal menunggu waktu. Jika itu terjadi, banyak kerugian bagi bangsa ini. Ketika sebuah kesenian tradisi hilang, memori tentang pengetahuan dan nilai-nilai dari masa lalu akan pudar.
”Kita akan gagal mentransmisikan memori berharga itu kepada generasi sekarang. Padahal, pengetahuan dan nilai dari masa lalu tetap penting sebagai pijakan kita untuk melangkah ke depan,” ujar Yahya.
Sulama punya pandangan serupa. Dia menilai, seni tradisi itu bukan sekadar tontonan, melainkan juga ada tuntunannya untuk masyarakat. Itu sebabnya, dia sangat berharap pemerintah dan semua pemangku kepentingan turun tangan menyelamatkan aset yang tak ternilai harganya ini.
Jangan biarkan seni tradisi semakin tersudut dan menunggu kematiannya dalam kesunyian.