Perkuat Sistem Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan
Pencegahan kekerasan di satuan pendidikan mendesak. Kolaborasi dibutuhkan untuk membuat sistem pencegahan dan penanganan kekerasan berjalan konsisten.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan kekerasan di satuan pendidikan harus dilakukan dengan memperkuat sistem, bukan dengan pendekatan ”pemadam kebakaran”. Itu sebabnya upaya pencegahan menjadi tujuan utama dengan memastikan berbagai regulasi yang ada dijalankan bersama-sama, termasuk dukungan program, anggaran, sumber daya manusia, dan layanan.
Dengan sistem pencegahan yang kuat, harapannya kekerasan di satuan pendidikan yang dapat menimpa siapa saja di lingkungan sekolah tidak terjadi. Selain itu, sekalipun terjadi kasus kekerasan, penanganannya dilakukan dengan baik karena semua pihak sudah sigap mengikuti aturan yang ada.
Persoalan menghadirkan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman dari kekerasan tersebut mengemuka dalam seminar nasional bertajuk ”Gotong Royong Mewujudkan Satuan Pendidikan yang Kondusif dan Tanpa Kekerasan” di Jakarta, Selasa (24/10/2023). Acara tersebut menghadirkan berbagai pembicara dan penanggap, antara lain, dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Kementerian Agama; Kepolisian Negara RI; Persatuan Guru Republik Indonesia; dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Warsito mengatakan, peristiwa kekerasan di satuan pendidikan dengan korban dan pelaku anak ataupun pendidik jangan sampai terulang.
”Kita yang terlibat dalam konteks pendidikan punya kewajiban bertanggung jawab menyelesaikan permasalahan ini. Sudah banyak peraturan tentang anak dan guru sampai teknis yang sudah jelas langkah-langkah dan prosedurnya. Sudah banyak ajakan kementerian/lembaga untuk terlibat. Kita harus punya komitmen sama untuk menciptakan iklim belajar, lingkungan rumah, dan tempat bermain agar nyaman dan menyenangkan, termasuk dunia maya juga aman dan menenangkan,” kata Warsito.
Menurut Warsito, sesuai pemikiran Ki Hadjar Dewantara, ada tiga lingkungan yang mendukung anak yang harus berkolaborasi, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat atau tri sentra pendidikan. ”Bahkan, kini ada lingkungan dunia maya lewat media sosial atau internet. Ini juga harus jadi perhatian. Penyelesaian kekerasan di satuan pendidikan tidak bisa sektoral, tapi terintegrasi,” ujar Warsito.
Inspektur II Kemendikbudrisitek Sutoyo menuturkan, berdasarkan kasus kekerasan yang diintervensi Kemendikbudristek, kekerasan seksual paling banyak terjadi di perguruan tinggi, yakni 65 kasus. Sementara pada jenjang pendidikan menengah banyak kasus perundungan, termasuk intoleransi.
Sejalan dengan komitmen menghapus tiga besar dosa pendidikan, yakni kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi, Kemendikbudristek menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Yang terbaru ialah Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Dari pengawasan KPAI, mirisnya ada kepala sekolah ada yang tidak tahu permendikbud lama tentang pencegahan kekerasan di sakolah. Bagaimana mau mengimplementasikannya. Jangan sampai permendikbudrsitek baru bernasib sama.
Sementara itu, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Kemeterian Agama Muhammd Zain menyampaikan, lembaga pendidikan keagamaan berkomitmen tidak membiarkan adanya kekerasan di satuan pendidikan. Regulasi juga sudah banyak, termasuk terkait kekerasan seksual, hingga adanya pesantren ramah anak.
”Regulasi memang sudah kuat. Tetapi, karakter pendidikan keagamaan, terutama pesantren, ada sebagian yang negara belum hadir. Dari 39.169 pesantren di Indonesia, sosialisasi terkait kekerasan di satuan pendidikan baru diikuti 30 persen,” kata Zain.
Dudung Abdul Qodir, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar PGRI, mengatakan, perlindungan guru juga harus diberikan. Ketika guru diadukan oleh masyarakat, perlu dikaji terlebih dulu apakah melanggar kode etik atau tindakan pidana.
”Jika kesalahan kode etik, cukup dewan kehormatan memberikan teguran. Jika menyangkut pelanggaran pidana diserahkan kepada aparat hukum. Kami ajak guru terus melakukan tugas profesinya dengan tidak melakukan kekerasan,” kata Dudung.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Aris Adi Leksono mengingatkan agar penanganan kekerasan tetap memastikan terjadinya penguatan sistem pencegahan dan penanganan di satuan pendidikan. Regulasi yang ada harus dipastikan diimplementasikan di daerah dan satuan pendidikan. Kemendikbudristek dan Kementerian Agama harus memastikan regulasi bisa diterima daerah dan satuan pendidikan, termasuk guru.
”Guru mengubah cara pengajaran dan metodenya untuk memperkuat karakter dan sikap. Dari pengawasan KPAI, mirisnya ada kepala sekolah ada yang tidak tahu permendikbud lama tentang pencegahan kekerasan di sakolah. Bagaimana mau mengimplementasikannya. Jangan sampai permendikbudrsitek baru bernasib sama,” kata Aris.
Aris mengatakan, penanganan kekerasan di satuan pendidikan harus dilakukan bersama-sama. Sebab, masih ditemukan ada egosektoral di antara kementerian/lembaga, apalagi lintas organisasi pemerintah daerah. Selama ini, ketika ada satuan pendidikan berkasus, sering sendirian dan cenderung disalahkan.