Pendanaan Politik dari Industri Kotor
Capres-cawapres yang berkontestasi dikelilingi orang-orang yang bergerak di sektor industri ekstraktif.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendanaan politik, khususnya untuk kontestasi pemilihan umum, kerap bersumber dari industri-industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan.Pada akhirnya, hal inilah yang membuka ruang terjadinya politik transaksional dan melanggengkan aktivitas industri kotor perusak lingkungan ini.
Pendanaan politik untuk kontestasi pemilu menjadi sorotan karena memicu terjadinya politik transaksional. Para calon legislatif maupun eksekutif di tingkat pusat dan daerah yang memenangi pemilu atau pemilihan kepala daerah (pilkada) nantinyaakan membalas jasa ini dengan mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan para pemberi dana tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kontestasi pemilu khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 juga dinilai publik masih berpotensi memunculkan politik transaksional. Sebab, calon presiden-wakil presiden yang maju dalam Pilpres 2024 masih dikelilingi orang-orang yang bergerak di sektor industri ekstraktif. Bahkan, salah satu capres juga terlibat langsung dalam industri kotor ini.
PPATK menemukan adanya dugaan uang hasil kejahatan lingkungan sebesar Rp 1 triliun yang mengalir ke partai politik untuk Pemilu 2024.
Pada Pilpres 2019, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat terdapat sejumlah nama pengusaha yang bergerak di bidang energi, seperti tambang batubara, di kedua kubu pasangan capres-cawapres saat itu, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Para pengusaha tambang di kubu Jokowi-Ma’ruf, antara lain, Luhut Binsar Pandjaitan (PT Toba Bara Sejahtera, PT ABN, PT Kutai Energi), Fachrul Razi (PT CP Prima, PT Antam), Suaidi Marasabessy (PT Perkebunan Kaltim Utama, PT Kutai Energi), dan Surya Paloh (PT EMM).
Selain itu, tercatat juga nama Wahyu Sakti Trenggono (PT Merdeka Cooper Gold), Oesman Sapta Odang (PT Karimun Granite, PT Total Orbit Prestasi), Andi Syamsudin Arsyad (Johnlin Group), Harry Tanoesoedibjo (MNC Energi and Natural Resources), Jusuf Kalla (Kalla Group), Jusuf Hamka (PT Indocement Tunggal Prakarsa), dan Abu Rizal Bakrie (PT Kaltim Prima Coal).
Sementara para pengusaha tambang di kubu Prabowo-Sandiaga adalah Prabowo Subianto (Nusantara Energy Resources), Sandiaga Uno (Saratoga Group, Interra Resources Limited, PT Adaro Energy), Hutomo Mandala Putra (PT Humpuss Group), Maher Al Gadrie (PT Kodel Group), Ferry Mursidan Baldan (PT Rantau Panjang Utama Bhakti), dan Hashim Djojohadikusumo (PT Arsari Group).
Beberapa nama tersebut juga tercatat kembali mendukung para pasangan capres-cawapres yang berkontestasi pada Pilpres 2024, yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Sebut saja nama Oesman Sapta Odang, Harry Tanoesoedibjo, dan Sandiaga Uno di kubu pasangan Ganjar-Mahfud.
Baca juga: Pegiat Lingkungan Kecam Pendanaan Energi Kotor Batubara
Untuk pasangan Anies-Muhaimin, terdapat nama Surya Paloh yang merupakan Ketua Umum Partai Nasdem sebagai partai politik utama pengusung Anies sebagai capres. Sementara untuk Prabowo dan saudaranya, yakni Hashim Djojohadikusumo,telah diketahui publik memiliki sejumlah perusahaan yang bergerak di sektor industri ekstraktif.
Adanya catatan ini dalam Pilpres 2019 dipandang masyarakat menjadi cikal bakal dikeluarkannya kebijakan, regulasi, dan perizinan yang menguntungkan oligarki. Kebijakan tersebut justru semakin melanggengkan aktivitas industri ekstraktif yang mengancam lingkungan sekaligus merenggut ruang hidup masyarakat.
Beberapa kebijakan atau regulasi yang banyak dikritisi masyarakat tersebut mulai dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara hingga UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan turunannya.
Kejahatan lingkungan
Fakta terkait sektor sumber daya alam (SDA) sebagai ruang bagi berbagai pihak melakukan tindak pidana juga ditegaskan oleh temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Beberapa waktu lalu, PPATK menemukan adanya dugaan uang hasil kejahatan lingkungan sebesar Rp 1 triliun yang mengalir ke partai politik untuk Pemilu 2024.
Selain itu, PPATK juga menemukan adanya risiko tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada dana kampanye di sejumlah provinsi.Temuan PPATK ini semakin kuat mengindikasikan bahwa dana hasil tindak pidana masuk sebagai biaya untuk kontestasi politik.
”Tugas dan kewenangan PPATK melihat seberapa besar uang-uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang ini masuk ke kontestasi politik,” ungkap Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam diskusi Forum Diskusi Sentra Gakkumdu beberapa waktu lalu.
Direktur Eksekutif Kemitraan yang juga mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif tidak menampik bahwa sektor SDA kerap dijadikan celah bagi sejumlah pihak untuk melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, saat itu KPK menginisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) sebagai program penguatan tata kelola dan perizinan SDA yang bebas korupsi di Indonesia.
Menurut Laode, dari 10.000 izin usaha pertambangan di Indonesia, KPK menemukan hanya sekitar 2.000 usaha yang lengkap dokumen perizinannya. Dengan kata lain, sekitar 80 persen usaha pertambangan di Indonesia tidak memiliki dokumen kelengkapan perizinan.
”Banyak operasi tambang di kawasan terlarang dan ini pasti ada tindak pidana korupsi. Akan tetapi, tidak semua aktivitas ini bisa ditangkap karena berbagai faktor. Kegiatan (ilegal) ini juga terjadi di izin usaha yang berbentuk penebangan kayu, perkebunan, ataupun food estate,” katanya saat temu media acara Konferensi Tenurial di Jakarta, Jumat (13/10/2023).
Baca juga : Perizinan Jadi Pintu Masuk Kejahatan Lingkungan dan Korupsi Bidang Sumber Daya Alam
Meski tidak ada tindak pidana korupsi atau pencucian uang, Laode meyakini kegiatan di sektor industri ekstraktif tetap dimudahkan dan diuntungkan oleh berbagai kebijakan yang dibuat saat ini. Salah satu contohnya adalah ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang tidak lagi mewajibkan perusahaan menyusun izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
”Jadi, keberpihakan ini masih belum jelas apakah ke masyarakat atau pemodal. Oleh karena itu, kita perlu mendorong pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat karena akan membatasi pergerakan yang lebih leluasa dari para pemodal,” ucapnya.
Potensi pendanaan lain
Biaya politik di Indonesia yang sangat tinggi diyakini menjadi salah satu penyebab partai politik ataupun calon anggota legislatif dan eksekutif masih membutuhkan dukungan pendanaan dari industri eskstraktif. Padahal, banyak sekali sektor lain yang lebih bersih dibandingkan industri ekstraktif yang bisa terlibat dalam pendanaan kontestasi pemilu.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, industri kotor yang bergerak di sektor pertambangan dan penggalian rata-rata hanya berkontribusi sekitar 9 persen terhadap ekonomi nasional. Kontribusi sektor ini cukup kecil dan hanya naik pada saat terjadi bonanza atau keuntungan besar komoditas yang temporer.
”Sangat bodoh bila mencari pendanaan dari sektor yang rata-rata hanya berkontribusi sekitar 9 persen ini tetapi berdampak terhadap kehidupan 270 juta rakyat Indonesia dan mengancam pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang,” ujarnya.
Guna melepas ketergantungan terhadap industri ekstraktif dan terhindar dari politik transaksional, setiap kontestan pemilu perlu mencari potensi pendanaan lain yang lebih bersih. Kontestan pemilu ataupun parpol juga dapat membuka donasi seluas-luasnya untuk sektor industri bersih dan melarang pendanaan dari industri ekstraktif.
Pendanaan dari sektor bersih tersebut, menurut Bhima, bisa berasal dari pertanian berkelanjutan, energi terbarukan, dan industri ramah lingkungan lainnya. Meski demikian, sektor-sektor bersih tersebut dinilai masih terfragmentasi dan belum terlalu berani masuk ke pendanaan kontestasi politik dibandingkan sektor energi fosil.
Sebaliknya, industri ekstraktif cukup berani mendanai kontestasi politik karena kegiatan usahanya membutuhkan perizinan dalam jangka panjang. Terpilihnya pemimpin yang kontra terhadap industri kotor pada akhirnya akan mengancam kegiatan usaha mereka.
Baca juga: Menanti Komitmen Lingkungan Para Tokoh di Tahun Politik
”Sektor pertanian atau industri bersih lainnya mungkin mau menyumbang, tetapi tidak langsung secara terang-terangan karena sensitivitas terhadap kebijakannya sejauh ini mungkin masih belum sebesar sektor yang terancam. Jadi, semakin sektor usaha tersebut terancam, pendanaan politiknya biasanya semakin tinggi,” ungkapnya.
Bhima pun mendorong semua pihak, termasuk masyarakat sipil, mendesak semua partai politik dalam Pemilu 2024 beserta kandidatnya agar transparan terhadap asal pendanaannya. Ini sekaligus untuk membuka kepada publik terkait asal-usul pendanaan kampanye pemilihan presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah.