Penanggulangan Masalah Gizi Perlu Penguatan Kelembagaan
Penanggulangan masalah gizi di Indonesia perlu dilakukan dengan meningkatkan kelembagaan gizi dengan mendayagunakan perangkat teknologi, manusia, informasi, dan organisasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sama seperti negara lain, Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi seperti tengkes atau stunting, anak kurus, dan kegemukan. Guna menanggulangi masalah gizi ini, diperlukan adanya kelembagaan gizi yang memiliki kemampuan mendayagunakan perangkat teknologi, manusia, informasi, dan organisasi.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Emeritus Departemen Gizi Masyarakat IPB University Soekirman dalam acara Widjojo Nitisastro Memorial Lecture ke-6 yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (17/10/2023).
Soekirman menyampaikan orasi ilmiah berjudul ”Kelembagaan dan Kepemimpinan Gizi Nasional dan Global dalam Pembangunan: dari Christiaan Eijkman, Poerwo Soedarmo, sampai Widjojo Nitisastro”. Tema ini disarikan dari karya ilmiah yang terbit di World Nutrition Journal edisi Maret 2022 berjudul ”Institutional building and leadership in nutrition in Indonesia”.
Soekirman merupakan ahli gizi masyarakat yang menyelesaikan pendidikan doktoral dari Cornell University, Amerika Serikat, pada 1983. Selain sebagai akademisi, Soekirman juga pernah mengemban sejumlah jabatan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 1980-an hingga 1990-an, salah satunya Kepala Bidang Kesehatan dan Gizi.
Dalam paparannya, Soekirman menyampaikan bahwa ilmu pengetahuan termasuk ilmu gizi dan pendukungnya terus berkembang dari masa ke masa. Bahkan, dalam dua tiga dasa warsa terakhir diakui olehPerserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni gizi sebagai bagian pokok dari pembangunan dunia dan pembangunan berkelanjutan.
Menurut Soekirman, Indonesia memiliki tiga tokoh besar gizi dan kelembagaannya serta satu tokoh global. Mereka yakni Christiaan Eijkman, Poerwo Soedarmo, Widjojo Nitisastro, dan Alan Berg dari Bank Dunia.Bahkan, pemberian hadiah Nobel kepada Eijkman pada 1929 atas temuan vitamin B1 di Batavia saat itu dianggap sebagai awal dari ilmu gizi modern.
Selain tokoh tersebut, Soekirman juga menguraikan sejarah kelembagaan dan program gizi di Indonesia sejak 1960-an hingga 1990-an. Uraian tersebut diikuti dengan penyampaian suatu teori teknologi manajemen program yang mencakup perangkat teknologi, manusia, informasi, dan organisasi(THIO) yang diperkenalkan pakar manajemen Nawaz Sharif.
Terlepas dari tokoh besar tersebut, masalah gizi dunia termasuk Indonesia saat ini menurut PBB bukan hanya stunting, melainkan juga anak kurus dan kegemukan. Di sisi lain, terdapat pula masalah gizi mikro khususnya anemia ibu hamil yang dicatat oleh beberapa sumber lain.
”Ketiga masalah gizi tersebut juga terjadi di Indonesia di samping masalah gizi mikro menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018. Sampai saat ini, belum ada pemutakhiran data untuk masalah gizi mikro lainnya yang lengkap,” ujar Soekirman.
Pada akhir paparan, Soekirman menyarankan agar pendekatan pemecahan masalah gizi ke depan di Indonesia dapat menggunakan pendekatan teori THIO tersebut. Dari saran ini, perlu juga dikembangkan kurikulum pendidikan gizi di samping pemahaman nutrisi untuk pengobatan serta nutrisi untuk kehidupan dan perkembangan.
”Untuk meningkatkan efektivitas program gizi di Indonesia, sebaiknya dilakukan evaluasi program dengan penerapan empat komponen teori THIO. Hal ini sekaligus dilakukan dengan penerapan ilmu gizi pembangunan manusia,” ujarnya.
Pengambilan kebijakan
Ketua AIPI Daniel Murdiyarso mengatakan, masyarakat Indonesia tengah menghadapi permasalahan gizi yang sulit dan berkepanjangan khususnya terkait dengan stunting. Namun, ternyata permasalahan ini sudah dipikirkan sejak puluhan tahun lalu yang ditunjukkan melalui proses pengambilan kebijakan untuk fortifikasi atau pengayaan pangan.
”Persoalan gizi ini sudah mulai dipikirkan Profesor Soekirman dan Pemerintah Indonesia tahun 1980-an. Jadi, kita diingatkan betapa pentingnya sains dan pengetahuan masuk ke dalam kebijakan sehingga memengaruhi proses pengambilan keputusan,” ucapnya.
Meski peran sains dan pengetahuan sangat penting dalam proses pengambilan keputusan, Daniel merasakan alokasi anggaran untuk kegiatan riset di Indonesia masih kecil dan terbatas. Akan tetapi, ia tetap menegaskan bahwa kondisi tersebut tidak menyurutkan niat peneliti dan akademisi untuk terus menggali ilmu pengetahuan di bidangnya masing-masing.