Cegah Tengkes dengan Berbagai Produk Teknologi Pangan
Berbagai produk teknologi pangan yang dikembangkan peneliti BRIN dapat mencegah malanutrisi, anemia, hingga tengkes. Produk itu berupa hidrolisat kedelai, ”flake” tabur, dan berbagai modifikasi makanan daerah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Berbagai produk hasil penelitian teknologi pangan yang dikembangkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional dapat memenuhi kebutuhan gizi dan mencegah stunting atau tengkes pada anak balita. Selain itu, berbagai produk tersebut bermanfaat untuk mencegah anemia pada remaja putri dan ibu hamil.
Perekayasa Ahli Utama Pusat Teknologi Agroindustri Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi (OR-PPT) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Noer Laily menyampaikan, penelitian teknologi produksi pangan dilatarbelakangi permasalahan di Indonesia, yakni kelebihan dan kekurangan gizi. Permasalahan gizi ini membuat anak balita kurus dan gemuk serta menyebabkan anemia pada remaja yang mengalami kekurangan gizi mikro.
”Kondisi yang lebih mengkhawatirkan adalah anemia pada ibu hamil yang mencapai 48,9 persen. Pemerintah pun memberikan perhatian terhadap kesehatan ibu dan anak ini serta meningkatkan komitmen dalam penurunan angka stunting,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Riset Teknologi Pangan untuk Mencegah Stunting”, di Jakarta, Rabu (19/1/2022).
Laily menjelaskan, salah satu penyebab gizi buruk dan tengkes adalah rendahnya akses terhadap makanan dari segi jumlah ataupun kualitas. Ibu hamil yang mengalami anemia juga kemungkinan besar akan berdampak terhadap janin dan ketika bayi lahir dapat meningkatkan risiko tengkes hingga memengaruhi kecerdasannya.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Pusat Riset Teknologi Agroindustri mengembangkan hidrolisat kedelai yang mengandung biopeptida dengan berat molekul kurang dari 20 kilodalton (kd) melalui teknologi termal. Biopeptida dapat meningkatkan absorbsi zat besi dan penggunaan dalam sebuah formulasi akan meningkatkan efektivitas perbaikan gizi untuk mencegah malnutrisi, anemia, hingga tengkes.
Dari pengujian secara in vitro (di luar tubuh) dan in vivo (pada makhluk hidup) yang telah dilakukan, hidrolisat kedelai memiliki kemampuan peningkatan zat besi yang lebih tinggi. Hidrolisat kedelai kemudian diformulasikan ke dalam berbagai produk pangan siap konsumsi untuk membantu penyerapan zat gizi remaja putri, ibu hamil, dan anak balita.
Beberapa produk pangan hasil formulasi hidrolisat kedelai yang telah dihasilkan adalah peptida unggul rumput laut (purula) untuk mencegah anemia pada remaja putri. Sementara untuk mencegah tengkes, dikembangkan produk purula plus, crackers, aneka biskuit, dan rice flake. Purula plus dan crackers dapat dikonsumsi oleh ibu hamil, sedangkan aneka biskuit dan rice flake dikonsumsi anak-anak berusia di bawah dua tahun.
Purula, makanan berbentuk flaketabur atau lembaran tipis, ini tidak hanya memiliki rasa yang enak, tetapi juga mampu meningkatkan asupan zat besi karena telah difortifikasi (ditambah mikronutrien). Purula juga mengandung asam amino, seperti glutamat, leusin, arginin, aspartat, serin, fenil alanin, valin, prolin, alanin, hingga histidin.
”Purula dibuat dengan tiga bahan utama, yakni tepung hidrolisat kedelai, bubur rumput laut, dan formula tepung-tepungan. Kami juga menambahkan ekstrak daging sebagai sumber protein. Semua bahan tersebut kemudian dicampur, dikeringkan, dan dibentuk lembaran atau pengecilan ukuran menjadi flake tabur,” kata Laily.
Purula telah diuji efikasi dengan responden remaja putri yang bersekolah di tingkat sekolah menengah atas (SMA) di Kabupaten Pandeglang dan Lebak (Banten) serta Maros (Sulawesi Selatan). Hasilnya, purula dapat meningkatkan kadar serum feritin secara signifikan apabila dikonsumsi selama empat minggu sebanyak kurang dari satu bungkus. Serum feritin merupakan cadangan zat besi dalam tubuh.
Produk biskuit bergizi balita (betavit) untuk mencegah tengkes dibuat dengan tekstur keras, tetapi lumer ketika dikonsumsi. Produk ini juga ditambah tepung kelor untuk meningkatkan kandungan gizi menggantikan penggunaan premiks vitamin mineral. Betavit saat ini masih dalam tahap uji efikasi untuk meningkatkan status gizi anak di bawah dua tahun yang terindikasi mengalami tengkes.
Pangan lokal
Selain produk berbasis hidrolisat kedelai, perekayasa BRIN telah memodifikasi formula makanan melalui optimalisasi penggunaan pangan lokal. Perekayasa Ahli Madya Pusat Teknologi Agroindustri BRIN Retno Windya Kusumaningtyas mengatakan, modifikasi makanan lokal ini dilakukan dengan mengganti sumber nutrisi yang murah dan bahan bakunya mudah diperoleh atau populer di lokasi tersebut.
Kualitas dan kelengkapan zat gizi dipengaruhi oleh keragaman jenis pangan yang dikonsumsi. Memperkirakan angka kecukupan gizi untuk kelompok target dapat menjadi strategi komunikasi dan edukasi peningkatan gizi masyarakat.
Sejumlah modifikasi makanan daerah dilakukan di lokasi dengan angka tengkes tinggi, yakni sate gogos tempe (Sulawesi Tenggara), jagung bose dan bebalung kacang (Nusa Tenggara Timur), sate pusut tempe ikan (Nusa Tenggara Barat), gerem asem ceker (Banten), serta soto banjar ceker dan patin baubar daun ubi (Kalimantan Selatan).
”Kualitas dan kelengkapan zat gizi dipengaruhi oleh keragaman jenis pangan yang dikonsumsi. Memperkirakan angka kecukupan gizi untuk kelompok target dapat menjadi strategi komunikasi dan edukasi peningkatan gizi masyarakat,” kata Retno.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Teknologi Agroindustri BRIN Arief Arianto berharap berbagai produk inovasi yang dikembangkan oleh para periset dan perekayasa di BRIN dapat membantu program pemerintah dalam menurunkan angka tengkes dari 27 persen pada 2019 menjadi 14 persen pada tahun 2024.
”Program pengembangan inovasi ini juga turut melibatkan berbagai mitra, seperti industri dan perguruan tinggi, untuk hilirisasi produk. Kami juga bekerja sama dengan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) dalam menurunkan angka stunting di Tanah Air,” katanya.