Berbagai gerakan muncul dari anak-anak muda untuk beraksi menekan dampak perubahan iklim. Mereka tidak hanya menggugat, tetapi juga menggugah masyarakat untuk mau berubah menyelamatkan bumi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Krisis iklim bukan ancaman masa depan. Krisis iklim sudah terjadi di depan mata. Dampak dari krisis tersebut bergerak kian cepat dan semakin berpengaruh pada dunia. Semua orang terdampak. Semua penghuni bumi terdampak.
Akan tetapi, generasi muda saat ini bisa jadi yang paling terdampak. Mereka sudah hidup di tengah situasi iklim yang buruk hasil dari perilaku generasi sebelumnya. Sementara beberapa tahun ke depan, situasi bumi diperkirakan semakin tidak nyaman jika tidak dilakukan tindakan yang agresif untuk menyelamatkan bumi dari dampak perubahan iklim.
Children’s Climate Risk Index yang dikeluarkan oleh Unicef melaporkan, setidaknya 240 juta anak di dunia mengalami keterpaparan tingkat tinggi dari banjir rob. Sebanyak 330 juta anak mengalami keterpaparan tingkat tinggi dari banjir dari luapan sungai. Sebanyak 400 juta anak mengalami keterpaparan tingkat tinggi terhadap siklon.
Sebanyak 600 juta anak mengalami keterpaparan tingkat tinggi dari ancaman penyakit tular vektor. Sebanyak 820 juta anak mengalami keterpaparan tingkat tinggi dari gelombang panas. Serta sebanyak 1 miliar anak terpapar tingkat tinggi terhadap polusi udara dalam kadar yang amat tinggi. Itu semua merupakan dampak yang terjadi yang dialami oleh anak akibat perubahan iklim.
Di tengah ancaman yang semakin nyata, tindakan yang komprehensif untuk menekan laju perubahan iklim tidak optimal. Dalam waktu yang sama, aktivitas masif yang dapat mempercepat krisis iklim justru masih ditemukan. Dari kondisi itu semua, setiap anak pun berhak untuk menggugat. Krisis iklim yang dialami anak merupakan krisis atas hak mereka.
Sejumlah anak muda pun secara gamblang menolak menjadi korban atas krisis iklim. Namun, tidak hanya menolak dengan menggugat, anak muda yang masih optimistis dengan kondisi lingkungan di masa depan juga menggugah setiap orang untuk mulai beraksi menekan dampak perubahan iklim.
Shine Natasha Nauli Simanjuntak (19) salah satunya. Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran tersebut secara aktif mencoba menyuarakan pentingnya mengurangi dampak perubahan iklim melalui media sosial yang dimilikinya. Gerakan yang masif harus dilakukan agar ancaman yang terjadi di masa depan bisa dihindari atau setidaknya diminimalisasi.
Aksi nyata
Menurut dia, generasi muda berhak untuk menuntut pemangku kepentingan ataupun generasi sebelumnya yang berkontribusi atas kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini. Namun, menuntut saja tidak cukup. Generasi muda harus ikut berperan melalui aksi nyata yang dapat mengubah krisis iklim.
”Menuntut memang tidak salah karena itu hak kita untuk bersuara. Namun, akan menjadi salah apabila kita diam dalam tuntutan tersebut. Kita harus menjalani proses dan jangan hanya protes. Kita tidak boleh mengulangi hal yang sama dari generasi sebelumnya untuk menyelamatkan generasi kita dan generasi selanjutnya,” ujar Shine.
Kita harus menjalani proses dan jangan hanya protes. Kita tidak boleh mengulangi hal yang sama dari generasi sebelumnya untuk menyelamatkan generasi kita dan generasi selanjutnya.
Hal yang sama disampaikan oleh Fransiskus Juan Pablo Montoya Gulu (17), siswa kelas XII SMA Katolik Frateran Ndao, Nusa Tenggara Timur. Berbagai kemudahan dari kemajuan teknologi seharusnya semakin dimanfaatkan untuk melakukan gebrakan untuk menyelamatkan lingkungan. Generasi muda bisa bersatu bersama untuk melakukan hal-hal sederhana sebagai upaya menyikapi dampak perubahan iklim.
Itu pula yang akhirnya mendorong Juan untuk terus menyuarakan pentingnya upaya menyelamatkan lingkungan melalui media sosial yang dimilikinya. ”Kita boleh saja mengeluh dunia yang semakin panas. Kita tahu itu terjadi akibat perubahan iklim. Namun, jika hanya diam saja, apa bedanya kita dengan generasi sebelumnya. Dengan melakukan gerakan minimal saja, kita sudah bisa mengubah masa depan menjadi lebih baik,” kata Juan.
Perubahan yang sudah ia lakukan selama ini dengan mulai menyadarkan keluarga sebagai lingkungan terdekatnya untuk tidak secara boros menggunakan pendingin ruangan (AC). Di tengah situasi yang semakin panas, penggunaan AC sebenarnya patut diwajarkan. Akan tetapi, jika penggunaan itu tidak dilakukan secara bijak, dampak perubahan iklim bisa semakin buruk.
Selain itu, ia dan keluarganya pun membiasakan diri untuk memilah sampah dan melakukan guna ulang dari sampah yang dihasilkan. Meskipun awalnya sulit dilakukan, ketika perilaku sudah bisa menjadi kebiasaan, itu bukan lagi menjadi beban.
Aksi serupa dilakukan Satrio Candra Perkasa (22), mahasiswa dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Rasa miris yang ia hadapi di lingkungannya akibat sampah yang menumpuk membuat ia mulai tergerak meninggalkan penggunaan plastik sekali pakai. Ia sudah membiasakan diri untuk membawa tempat makan dari rumah ketika akan membeli jajanan di pedagang kaki lima. Kebiasaan untuk membawa tempat minum sendiri juga sudah dilakukan.
”Saya harap kebiasaan yang sudah mulai muncul di masyarakat ini bisa didukung dengan baik oleh pemerintah ataupun pihak lainnya. Misalnya, dengan menyediakan fasilitas air bersih layak minum yang tersedia di tempat umum. Kebiasaan membawa tempat minum ataupun tempat makan untuk jajan bukan hal aneh sehingga perlu didukung agar membudaya,” ujarnya.
Shine, Juan, dan Candra merupakan segelintir anak muda yang berani menyuarakan hak mereka untuk bisa terus menikmati bumi yang layak untuk dihuni. Banyak gerakan lain muncul dari anak-anak muda. Tidak hanya menggugat, mereka pun turut menggugah setiap masyarakat untuk mau berubah menyelamatkan bumi. Manusia jangan sampai hanya menumpang hidup di bumi tanpa bertanggung jawab untuk melindunginya.