Beban Berat Generasi Muda Mengatasi Krisis Iklim
Krisis iklim juga berdampak pada generasi muda. Mereka dihadapkan berbagai beban dan risiko untuk mengurangi emisi karbon. Anak muda menganggap masa depan sangat menakutkan akibat krisis iklim global.

Hampir setiap generasi muda di dunia ini terimbas secara langsung ataupun tidak secara langsung oleh anomali iklim. Mulai dari bencana alam, degradasi lingkungan, hingga hilangnya keanekaragaman hayati yang berujung pada perampasan akses terhadap kesehatan dan pendidikan layak.
Selain itu, anomali iklim berpotensi besar menimbulkan wabah penyakit, toksisitas ekologi, hingga ancaman menurunnya kualitas kesehatan di masa mendatang. Sebagai kelompok populasi terbesar di dunia, generasi muda harus menanggung beban berat tersebut akibat kegagalan penanganan krisis iklim pada masa sekarang.
Terminologi generasi muda terbagi menjadi tiga bagian. Terdiri dari milenial atau generasi Y (tahun 1981-1996), generasi Z (tahun 1997-2012), dan generasi alpha (lahir setelah tahun 2012). Meskipun sebagai populasi terbesar dunia, mereka bukan aktor utama atas emisi gas rumah kaca, penggundulan hutan, hingga praktik-praktik yang berbahaya bagi keberlanjutan lingkungan.
Bentuk ketidakadilan krisis iklim bagi generasi muda terlihat nyata melalui risiko-risiko besar yang harus dihadapi mereka sejak sekarang hingga masa mendatang. Bahkan, dalam upaya menahan laju pemanasan global, setiap anak yang lahir setelah tahun 1990 harus bertanggung jawab untuk menekan emisi karbon hingga berkali-kali lipat. Hal tersebut terjadi karena ”kuota” emisi karbon yang bisa ditoleransi bumi hampir terpakai semuanya oleh generasi yang lebih tua.
Analisis ini salah satunya tertuang dari hasil penelitian tentang beban pengurangan emisi karbon generasi muda yang dilakukan oleh Ben Caldecott dari Universitas Oxford.
Setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk mengurangi emisi karbon. Makin muda usia seorang individu, beban pengurangan karbon juga makin besar. Dalam penelitian itu, anak yang lahir tahun 2017 hanya diperbolehkan mengeluarkan emisi delapan kali lebih rendah daripada kakek dan neneknya.

Jatah karbon yang bisa dirilis ke sistem atmosfer bumi memang makin berkurang seiring perkembangan peradaban dan peningkatan jumlah populasi manusia.
Berbagai penelitian menunjukkan, ada banyak kemungkinan yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menambah batas maksimum karbon di atmosfer. Namun, hal tersebut tak mematahkan fakta bahwa generasi muda harus menanggung ketidakadilan dari krisis iklim tersebut.
Pemodelan iklim yang disebut IPCC AR5 ESMs menghitung estimasi jumlah karbon yang aman berdasarkan simulasi siklus karbon, siklus nitrogen, kimia atmosfer, ekologi kelautan, dan perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan pemodelan ini, akumulasi kadar karbon yang diperbolehkan sepanjang tahun 2018-2100 adalah 118 gigaton.
Ambang batas akumulasi kadar karbon tersebut dimaksudkan agar suhu bumi tidak naik lebih dari 1,5 derajat celsius. Kenaikan suhu global yang tak terkendali hanya akan memperburuk kondisi bumi. IPCC dalam laporan terbarunya tahun 2022 menegaskan bahwa krisis iklim berkontribusi pada krisis kemanusiaan.
Baca juga: Reorientasi Pendanaan Perubahan Iklim
Merasa khawatir
Tekanan perubahan iklim terhadap generasi muda menjadi makin berat setiap tahunnya. Laporan-laporan lembaga dunia menyebutkan, kondisi bumi tidak semakin membaik. Bahkan, Badan Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan, tahun 2022 menjadi tahun terpanas keenam sejak 2017. Kenaikan suhu global telah melampaui 1 derajat celsius.
Unicef sebagai lembaga yang fokus pada pemberdayaan dan advokasi anak-anak juga menyatakan bahwa jumlah anak atau generasi muda yang terpapar krisis iklim sangat besar. Melalui laporan Children’s Climate Risk Index tahun 2021, tercatat sedikitnya 1 miliar anak berada di wilayah berisiko tinggi gelombang panas, kelangkaan air, wabah penyakit, dan polusi udara.
Oleh sebab itu, tak mengherankan mayoritas generasi muda di seluruh dunia menyatakan kekhawatirannya terhadap perubahan iklim. Penelitian berjudul ”Climate Anxiety in Children and Young People and Their Beliefs about Government Responses to Climate Change: a Global Survey” (2021) menyebutkan, sebanyak 59 persen generasi muda sangat khawatir terhadap perubahan iklim.
Penelitian dilakukan di 10 negara dengan total responden sebanyak 10.000 jiwa. Kekhawatiran yang dirasakan sudah berada di level parah, diikuti kondisi emosi yang labil. Banyak generasi muda yang sedih, panik, marah, kecewa, tidak berdaya, merasa tak tertolong, hingga merasa bersalah. Hampir 80 persen responden menganggap masa depan sungguh menakutkan.

Pesepeda dari Greenpeace yang hendak berangkat ke Bali, (dari kiri ke kanan) Iman, Rafi, Kania, dan Eko, berpose dalam acara peluncuran "Chasing The Shadow" di Cibis Park, Jakarta Selatan, Minggu (16/10/2022). Greenpeace memulai kampanye krisis iklim dengan bersepeda ke tempat-tempat yang terdampak perubahan iklim, seperti Muara Baru dan Marunda.
Kekhawatiran tersebut turut dirasakan generasi muda di Indonesia. Apalagi, wilayah Indonesia termasuk dalam kerentanan tinggi krisis iklim dunia. Berdasarkan jajak pendapat Kompas pada Juni 2022, enam dari sepuluh anak muda (berusia maksimal 39 tahun) sangat khawatir terhadap perubahan iklim.
Kekhawatiran tersebut tidak muncul begitu saja, tetapi berlandaskan kesadaran bahwa kini sedang terjadi pemanasan suhu global. Sebanyak 77,3 persen responden kelompok usia muda meyakini dan percaya telah terjadi krisis iklim. Besarnya populasi generasi muda yang sadar akan perubahan iklim itu tentu menjadi modal besar untuk menahan laju pemanasan global di Indonesia.
Persoalan krisis iklim harus disikapi dengan serius oleh semua pihak. Banyak situasi yang menunjukkan perburukan kondisi bumi, seperti intensitas bencana alam yang makin tinggi, iklim dan musim tak menentu, hingga pantauan suhu harian yang kian panas. Fenomena krisis iklim ini diyakini akan berdampak besar pada kerusakan lingkungan pada masa-masa berikutnya. Setidaknya, ada sekitar 71 persen responden yang meyakini akan terjadi degradasi lingkungan tersebut.
Baca juga: Pajak Karbon dan Penanganan Krisis Iklim Indonesia
Efek domino
Ketidakadilan krisis iklim bagi generasi muda membutuhkan penanganan yang tepat dan terukur. Keberlanjutan hidup yang layak adalah hak dari generasi muda yang nantinya menjadi penopang peradaban di semua negara. Ada sejumlah bentuk risiko kehilangan yang potensial akan dialami mereka apabila pemanasan global tidak segera dikendalikan.
Setidaknya ada empat bentuk kehilangan yang kemungkinan besar dihadapi generasi muda. Pertama, kesempatan untuk mengakses pangan berkelanjutan. Cuaca ekstrem menyebabkan kerusakan di lahan pertanian sehingga mampu meruntuhkan ketahanan pangan pada masa mendatang.
Kedua, akses terhadap pendidikan yang layak. Kondisi lingkungan yang memburuk menyebabkan banyak kejadian bencana sehingga menimbulkan kerusakan fisik dan terganggunya pendidikan. Faktor lainnya, ketersediaan modal untuk menempuh pendidikan terancam akibat kemiskinan di tengah anomali situasi global.
Tidak hanya pangan dan pendidikan, krisis iklim berisiko menyebabkan generasi muda akan bermigrasi secara terpaksa. Tujuannya, mencari lokasi kehidupan yang lebih layak, baik dari segi ekonomi (pangan), pendidikan, maupun lingkungan.
Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) memperkirakan, hingga tahun 2010, terjadi kenaikan pengungsi 21,5 juta jiwa akibat perubahan iklim. Jumlah tersebut akan bertambah seiring peningkatan intensitas dan frekuensi kejadian anomali iklim ekstrem.

Bentuk kehilangan terakhir adalah stabilitas mental atau emosi. Krisis iklim terbukti memengaruhi mental manusia yang berimbas pada penurunan kualitas hidup dan kesejahteraan psikososialnya.
Bentuk tekanan krisis iklim terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kerusakan ekologi dan kerugian secara sosial-ekonomi. Bentuk gangguan mental paling lazim dimulai dengan stres dan cemas, kemudian bisa berakhir pada depresi, kecemasan, ketakutan, dan dorongan untuk bunuh diri.
Sejumlah ancaman bentuk ketidakadilan akibat krisis iklim telah dialami oleh generasi muda dan kondisi ini akan berlanjut pada masa mendatang apabila pemanasan global tak segera ditekan. Akhirnya, mendorong keadilan krisis iklim dengan terus berupaya mereduksi emisi karbon dalam berbagai aktivitas kehidupan menjadi langkah konkret yang perlu segera dilakukan oleh semua negara.
Bagi generasi yang lebih tua, bentuk tanggung jawab yang dapat dilakukan di antaranya mengimplementasikan sejumlah kebijakan dan dorongan mengubah gaya hidup yang berorientasi pada kelestarian lingkungan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Menghentikan Deforestasi