Jalan Natural Kurikulum Merdeka Menjadi Kurikulum Nasional
Pemerintah yakin transisi Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum nasional 2024 akan berjalan alami.
Kurikulum Merdeka diyakini siap menjadi kurikulum nasional pada tahun ajaran baru tahun 2024. Meski belum diwajibkan, saat ini telah banyak sekolah yang menerapkan 70-80 persen Kurikulum Merdeka dengan berbagai tingkat kesiapan. Transisi dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka diperkirakan berlangsung natural karena berdasarkan pada kesukarelaan dan kesiapan sekolah. Keragaman sekolah dalam menerapkan Kurikulum Merdeka diakomodasi dengan pilihan mandiri belajar, mandiri berubah, dan mandiri berbagi.
Stacia Alessandra Nau, guru kelas 2 di SDN Inpres Rata, Kabupaten Nagakeo, Nusa Tenggara Timur, akhir September 2023, mengatakan, mulai tahun 2023, sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka di kelas 1, 3, dan 5. Para guru belajar dari Platform Merdeka Mengajar (PMM), Bahkan, kini para guru mulai melakukan aksi nyata yang diunggah di platform tersebut.
Dampak pandemi Covid-19 terasa pada penurunan hasil belajar siswa, terutama literasi dan numerasi. Siswa di kelas awal yang awalnya lancar membaca dan menghitung jadi kesulitan. Para guru pun kebingungan karena mengacu pada Kurikulum 2013, materi yang harus dituntaskan banyak. Sementara realitasnya, kondisi siswa masih belum mampu mengejar target materi.
”Kami melihat Kurikulum Merdeka memberi kebebasan guru untuk berekspresi dan membuat perangkat belajar serta merencanakan pembelajaran dengan karakteristik yang relevan dengan siswa dan sekolah. Sekarang kami lebih melihat kebutuhan siswa dalam belajar,” kata Stacia.
Baca juga: Mengenal Kurikulum Merdeka, Implementasinya Semakin Masif
Kepala SMPN 3 Tenjo, Kabupaten Bogor, Catur Nurrochman Octavian, Kamis (12/10/2023), mengatakan, ketika perubahan kurikulum direncanakan pemerintah, lazimnya para guru dilatih dan disiapkan dulu secara masif. Ketika transisi Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka, kesiapan bergantung sekolah dengan belajar di Platform Merdeka Mengajar.
”Bukannya tidak bagus perubahan kurikulum. Kami melihat Kurikulum Merdeka pun niatnya bagus. Namun, tiap pergantian kurikulum, kita selalu menghadapi implementasi yang tidak sesuai dengan harapan. Kurikulum berubah, mutu pendidikan stagnan. Kita belum mampu mendukung secara optimal guru dan ekosistem pendukung untuk perubahan pendidikan berkualitas,” kata Catur yang juga Wakil Ketua Dewan Eksekutif Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKSI) Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia.
Di era teknologi digital, idealnya para guru mahir dan melek digital. Namun, ada banyak kendala, termasuk infrastruktur jaringan internet, yang membuat kesenjangan akses pada Platform Merdeka Mengajar terjadi. Selain itu, budaya belajar mandiri juga bukan hal instan yang bisa dibentuk.
Kurikulum Merdeka diniilai belum memiliki naskah lengkap yang menggambarkan filosofinya, tujuan kurikulum, prinsip-prinsip dasar, hingga kerangka kurikulumnya.
Platform Merdeka Mengajar yang dikembangkan diharapkan mampu menjadi teman bagi guru dalam implementasi Kurikulum Merdeka dengan semangat kolaborasi dan saling berbagi. Di dalam platform ini ada fitur perangkat ajar yang dapat digunakan oleh guru dan tenaga kependidikan dalam mengembangkan diri. Saat ini, tersedia lebih dari 2.000 referensi perangkat ajar berbasis Kurikulum Merdeka.
Secara terpisah, guru SLB Negeri 01 Kota Serang, Banten, Hudayani Sabilah Fitri, mengatakan, Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas bagi guru melakukan proses pembelajaran sesuai kebutuhan dan kemampuan anak. Guru lebih mengutamakan target pembelajaran sesuai hasil asesmen anak.
Ketika siswa di kelas IV, target capaian pembelajaran ialah harus bisa menghitung sampai dengan 50. ”Ketika melihat kondisi anak saya tidak mampu untuk menghitung sampai 50, maka kita turunkan fasenya ke fase A, yaitu menghitung sampai 20,” ujar Handayani.
Transisi natural
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Anindito Aditomo menyampaikan, sebelum diwajibkan, Kurikulum Merdeka sudah sekitar 80 persen dipakai di lebih dari 300.000 sekolah. ”Tahun 2024 (Kurikulum Merdeka) akan ditetapkan sebagai kurikulum nasional, semua sekolah harus bertransisi dari kurikulum sebelumnya ke Kurikulum Merdeka. Tidak susah untuk bertransisi karena transisi secara natural sudah terjadi, bahkan sebelum diwajibkan,” ujar Anindito.
Perubahan kurikulum berawal dari kebutuhan untuk mengatasi learning loss karena penutupan sekolah di masa pandemi lewat opsi Kurikulum Darurat. selain itu, untuk transformasi pendidikan karena perubahan dunia yang demikian cepat dan membutuhkan kecakapan anak menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Anindito mengatakan, pemberlakuan Kurikulum Merdeka tidak menuntut kesiapan sekolah 100 persen, tetapi sesuai kemampuan dan kondisi. Ada keleluasaan bagi sekolah untuk berproses memastikan pendidikan berkualitas yang mengembangkan potensi setiap anak.
Baca juga: Kurikulum Merdeka Merundung
Prinsip dasar Kurikulum Merdeka menjadi kerangka kurikulum nasional, dan memberi fleksibilitas yang besar, serta bisa diterjemahkan dalam konteks berbeda. ”Untuk sekolah yang maju, bisa dengan ramuan yang lebih dari standar nasional. Untuk sekolah dengan kondisi terbatas dan siswa belum siap belajar, Kurikulum Merdeka bisa dan seharusnya jadi program pembelajaran yang sederhana, yang fokus literasi dan numerasi, itu tidak apa-apa. Cara untuk mencapai tujuan itu berbeda. Karena itulah, transisi Kurikulum Merdeka ini disediakan tahapan,” jelas Anindito.
Anindito menambahkan, pendekatan pemerintah kali ini ialah memberikan fleksibilitas dan dukungan. Ketika dinyatakan sekolah boleh menerjemahkan Kurikulum Merdeka sesuai dengan konteks yang terbatas, ada model kurikulum yang mungkin cocok dengan kondisi sekolah. Demikian juga tes literasi dan numerasi yang bisa dipakai. Di Platform Merdeka Mengajar disediakan perangkat dan infrastruktur pendukung agar sekolah mampu mengimplementasikan Kurikulum Merdeka yang sesuai kondisi dan kebutuhan sekolah.
Kurikulum Merdeka lebih menyederhakan materi di Kurikulum 2013. Meskipun Kurikulum 2013 sebenarnya sudah berorientasi pada pengembangan karkater dan pendidikan holistik, ada yang belum selaras antara pembelajaran dan asesmen yang saat itu diberlakukan ujian nasional (UN).
Pembelajaran yang dibutuhkan saat ini bukan lagi keluasan pengetahuan, melainkan apa yang bisa dilakukan dengan pengetahuan, nalar, dan karakter. Kurikulum juga diubah supaya guru punya waktu mengajarkan penalaran dan karakter. Materi akademik dikurangi. Pengurangan tiap mata pelajaran berkisar 30-40. Ada jam pelajaran khusus pengembangkan karakter atau dikenal dengan proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5).
Pelatihan guru pun dikembangkan sesuai kebutuhan guru. Selama ini, pelatihan yang disediakan lebih banyak dengan materi sosialisasi kebijakan.
Baca juga: Sekolah Diminta Mempelajari Sendiri Kurikulum Merdeka
”Sekarang pelatihan guru itu penyampaiannya yang diubah, aksesnya terbuka lewat Platform Merdeka Mengajar. Kalau dulu, kan, yang bisa ikut yang dapat surat tugas, datang ke ibu kota kota/kabupaten, sekarang ada di laptop atau gawai. Tidak ada lagi hambatan akses pada pelatihan, tetapi seringnya hambatan niat atau motivasi, dan ini harus terus ditumbuhkan,” kata Anindito.
Menurut Anindito, keyakinan terhadap Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional ditunjukkan dengan indikasi awal baik. Pengurangan materi memfasilitasi guru untuk mengatasi learning loss dibandingkan dengan tetap memakai Kurikulum 2023 secara utuh.
Kesiapan implementasi kurikulum yang bervariasi dinilai alamiah. Tidak ada perubahan kurikulum pun, kesenjangan kualitas pembelajaran di tingkat sekolah, antarsekolah, dan daerah, bisa terjadi. ”Justru perubahan kurikulum ini menyebabkan sekolah tertinggal dapat mengejar. Sekolah tidak harus melakukan sama persis, tetapi sesuai kebutuhan dan kondisi,” kata Anindito.
Transisi kurikulum di Indonesia dinilai sering kali disruptif secara administratif. Saat ini diubah menuju disruptif secara pola pikir dan praktik pembelajaran. ”Yang tadinya guru berorientasi menghabiskan materi, sekarang tujuannya membuat murid belajar, senang membaca buku, hingga terampil berkolaborasi. Ini didukung dengan Kurikulum Merdeka, Asesmen Nasional, dan pelatihan guru,” kata Anindito.
Belum selesai
Secara terpisah, praktisi pendidikan dan dosen, Dhitta Puti Sarasvati, mengutarakan, Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum resmi (bukan implementasinya) sebenarnya belum selesai. Kurikulum Merdeka dinilai belum memiliki naskah lengkap yang menggambarkan filosofinya, tujuan kurikulum, prinsip-prinsip dasar, hingga kerangka kurikulumnya. ”Yang ada hanya kumpulan peraturan, panduan-panduan, dan capaian pembelajaran,” ujarnya.
Dhitta menuturkan, para guru dan calon guru harus mampu membaca beragam kurikulum resmi dan bagaimana menggunakannya. Mereka diharapkan punya sudut pandang yang lebih kritis dalam membaca kurikulum apa pun.
”Para guru dan calon guru tidak menjadi orang yang sekadar mengimplementasikan kurikulum resmi belaka,” kata Dhitta.
Para guru bisa dipandang sebagai teknisi yang tugasnya hanya mengimplementasikan kurikulum yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, guru tidak dianggap memiliki kapasitas intelektual dan moral untuk mendidik siswanya menjadi warga negara yang kritis.
Dalam konteks guru sebagai teknisi, maka guru harus dilengkapi dengan seperangkat kurikulum yang harus diikuti begitu saja. Kalau ada materi ajar yang telah disiapkan, misalnya, dalam bentuk buku teks, maka guru mengikuti saja materi ajar yang telah disiapkan.
”Ada juga pandangan guru sebagai intelektual transformatif. Pandangan ini melihat guru sebagai seorang intelektual. Guru di sini haruslah seorang yang mampu memadukan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dengan proses refleksi sehingga siap mengambil keputusan terbaik di kelasnya untuk mendidik siswanya menjadi warga negara yang kritis,” tutur Dhitta.