Kekerasan di Sekolah dan Kesehatan Mental Kita
Meningkatnya kasus kekerasan di sekolah menunjukkan adanya masalah dalam kesehatan jiwa kita. Tanpa memperbaiki kesehatan mental siswa, guru, atau wali murid, berbagai kasus kekerasan di sekolah sulit untuk dituntaskan.
Kasus kekerasan di sekolah terus terjadi. Siswa merundung siswa lain, murid memukuli guru, guru menampar dan mendiskriminasi murid, kepala sekolah memukul guru, hingga orangtua menganiaya guru. Semua kekerasan itu menunjukkan adanya masalah kesehatan mental serius pada pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah.
Sejumlah kasus kekerasan yang sempat viral di media sosial selama beberapa bulan terakhir antara lain siswa SMP di Cilacap, Jawa Tengah, yang memukul, menyeret, dan menginjak siswa lain, atau siswi kelas 2 SD di Gresik, Jawa Timur, yang matanya ditusuk dengan tusukan pentol (cilok) oleh kakak kelasnya.
Kasus lainnya, seorang siswa SD berkata kasar dan hendak memukul gurunya di Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Di Demak, Jateng, seorang siswa madrasah aliyah memukul gurunya karena dilarang ikut ujian. Sebaliknya, guru SMA di Takalar, Sulawesi Selatan, dituding merendahkan pekerjaan orangtua siswa yang petani saat menegur siswa yang dianggap bandel.
Ada pula kepala SMP di Malang, Jatim, yang memukul guru karena dianggap melalaikan tugas dan menelantarkan siswa. Sementara di Rejang Lebong, Bengkulu, wali murid mengetapel guru SMA karena tidak terima anaknya ditegur akibat merokok di sekolah. Di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, seorang guru SMK juga dipolisikan wali murid yang tak terima anaknya dipukul karena tak mengindahkan peringatan untuk segara shalat.
Itu hanyalah sejumlah kasus dari banyak kasus yang terungkap di media sosial dan media massa. Kasus-kasus kekerasan lain di sekolah, baik fisik, verbal, maupun mental, diyakini jauh lebih banyak yang tak terungkap. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman bagi semua nyatanya menjadi medan kekerasan berbagai pihak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Senin (9/10/2023), menyebut hingga Agustus 2023 menerima 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak. Dari jumlah itu, ada 87 kasus perundungan, 27 kasus terkait pemenuhan fasilitas pendidikan, dan 24 kasus korban kebijakan pendidikan. Selain itu, anak korban kekerasan fisik dan psikis sebanyak 236 kasus dan 487 anak korban kekerasan seksual. Namun, tidak semua kasus itu terjadi di sekolah.
Sementara data Yayasan Cinta Guru hingga September 2023 menyebut ada 93 kasus kekerasan di sekolah dalam bentuk diskriminasi, intoleransi, kekerasan fisik atau seksual, perundungan, hingga kekerasan lainnya.
Apa pun alasannya, kekerasan seharusnya dihindari, terutama di lingkungan sekolah yang menjadi tempat penyemaian nilai-nilai positif bagi generasi penerus bangsa. Namun, banyaknya kasus kekerasan di sekolah itu tidak hanya menunjukkan adanya masalah dalam sistem pendidikan kita, tetapi juga masalah kesehatan mental yang serius di masyarakat.
Dalam kasus perundungan, korban, pelaku, dan saksi mata perundungan sama-sama memiliki masalah kesehatan mental. Kerentanan dan perilaku mereka terkait perundungan, menurut Istiana Tajuddin dan rekan dalam Advances in Social Science, Education and Humanities Research, Agustus 2017, sangat dipengaruhi oleh pola asuh orangtua.
Pelaku perundungan umumnya memiliki sifat agresif, impulsif, gila popularitas atau kuasa, serta suka mendominasi. Sementara korban perundungan cenderung memiliki sifat sensitif, pendiam, atau diabaikan dan kurang mendapat perhatian orangtuanya.
Baik pelaku maupun korban perundungan umumnya sama-sama tumbuh dalam pola pengasuhan yang otoriter. Anak dibesarkan dengan menggunakan kekerasan verbal dan fisik untuk mendisiplinkan mereka dan menuntut kepatuhan penuh anak pada orangtua. Pada pelaku, mereka meniru kekerasan yang terjadi di keluarga dan melampiaskannya pada teman di sekolah.
Pelaku dan korban perundungan umumnya sama-sama tumbuh dalam keluarga yang tidak hangat. Mereka juga tumbuh dengan gaya pengasuhan yang berbeda antara ayah dan ibu. Pelaku perundungan umumnya berkembang dalam pengasuhan yang minim peran ayah, sedangkan korban perundungan biasanya tumbuh dengan ibu yang tidak berdaya dalam keluarga.
Adapun saksi perundungan umumnya memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya meski tetap mendapat hukuman fisik dan verbal dari orangtua saat mereka bersalah.
Apa pun peran anak dalam perundungan, semua sama-sama memiliki potensi untuk mengalami masalah kesehatan mental. Korban perundungan dipastikan akan mengalami stres, kecemasan, depresi, hingga hilangnya kepercayaan diri. Mereka juga cenderung menarik diri dari pergaulan sosial, mengalami kesepian, hingga menurunnya kualitas hidup mereka. Tak jarang, korban perundungan juga memiliki pikiran dan berusaha bunuh diri.
Sementara pelaku perundungan juga rentan mengalami depresi saat lingkungan atau orang sekitar mengambil sikap dan menentang tindakan dia. Cap sebagai ”anak nakal” atau ”pelaku kriminal” bisa membuat mereka tertekan. Adapun saksi, yang tidak bisa mengambil sikap atas perundungan yang terjadi di depan mata, juga berisiko untuk memiliki rasa bersalah, malu, hingga ketakutan akan menjadi target perundungan berikutnya.
Tak hanya berdampak pada kesehatan mental, perundungan juga bisa berdampak pada kesehatan fisik. Korban perundungan bisa mengalami gangguan tidur yang membuatnya sulit tertidur, pusing, sakit perut, jantung berdebar, mengompol, nyeri kronis, hingga gejala-gejala psikosomatis.
Bahkan, studi Wesley G Jennings dan rekan di Journal of Child and Family Studies, September 2019, menemukan dampak perundungan pada kesehatan fisik mereka. Korban perundungan, terutama yang menggunakan kekerasan fisik, tentu rawan akan terjadinya luka dan cedera. Namun, pelaku dan korban perundungan ternyata sama-sama memiliki risiko untuk mengembangkan penyakit asma, rhinitis atau peradangan saluran hidung, dan obesitas.
Baca juga: Nadiem Makarim: Ada Pandemi yang Lebih Besar di Sekolah, yaitu Kekerasan
Sadisme
Selain kasus kekerasan fisik terus meningkat jumlahnya selama beberapa tahun terakhir, cara-cara anak melakukan perundungan juga perlu diwaspadai. Model perundungan dengan pengeroyokan cenderung meningkat. Pada model pengeroyokan ini, penganiaya bisa berjumlah lebih dari satu atau satu pelaku dengan banyak saksi pendukung pelaku.
Sejumlah perundungan fisik kini tidak hanya menggunakan tangan, tetapi juga alat bantu baik benda tumpul maupun benda tajam. Penggunaan benda-benda tajam itu mudah ditemukan dalam tawuran pelajar di sekitar Jabodetabek. Namun, sekitar dua bulan lalu, seorang siswa SMA di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menusuk temannya karena sakit hati sering dirundung oleh korban.
Di luar faktor lingkungan, interaksi anak yang makin panjang dengan internet, baik melalui gim video, media sosial, maupun tayangan-tayangan kekerasan yang mudah diakses tanpa sensor, dipastikan akan memengaruhi persepsi anak terhadap kekerasan. Berbagai studi di Indonesia menunjukkan bahwa intensitas menonton tayangan kekerasan berkorelasi dengan tingginya perilaku perundungan, termasuk perundungan siber.
Sementara untuk kekerasan di sekolah yang melibatkan orang dewasa, baik kepala sekolah, guru, maupun orangtua murid, perlunya membangun kesadaran bahwa orang dewasa adalah contoh bagi anak-anak. Setiap orang tentu memiliki persoalan dan tekanan hidup masing-masing, tetapi mereka seharusnya bisa mengatasi letupan-letupan emosi yang terjadi serta menyelesaikan masalah tanpa kekerasan.
Dalam sistem pendidikan Indonesia yang makin transaksional, banyak orangtua merasa guru di sekolah harus mampu melindungi anak-anak mereka. Akibatnya, saat anak menghadapi masalah di sekolah atau justru mengalami kekerasan di sekolah, orangtua sering tidak terima dan menyerang atau melaporkan guru ke kepolisian. Tindakan itu tidak bisa dilepaskan dari lemahnya pengasuhan yang membuat sebagian orangtua ingin menjadi pahlawan bagi anaknya dengan cara yang salah.
Intensitas menonton tayangan kekerasan berkorelasi dengan tingginya perilaku perundungan, termasuk perundungan siber.
Untuk memutus mata rantai kekerasan ini di sekolah, tidak cukup hanya mengedepankan pada aturan-aturan formal yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi semata. Persoalan hulu, yaitu pola asuh anak di rumah, juga harus diperbaiki. Orang dewasa di sekitar juga bertanggung jawab dalam penciptaan lingkungan sekitar yang ramah anak.
Karena itu, dalam rangka menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang dirayakan tiap tanggal 10 Oktober, upaya penciptaan kesehatan mental masyarakat yang baik bagi semua perlu terus didorong. Persoalan kekerasan pada anak tidak akan bisa tuntas diselesaikan tanpa memperbaiki kesehatan mental orangtua dan orang dewasa di sekitar anak.
Orangtua dan orang dewasa juga perlu senantiasa memperbaiki diri, membangun komunikasi yang lebih baik dengan anak, memperkukuh ketahanan keluarga, meningkatkan literasi kesehatan mental, serta menciptakan ruang yang aman bagi anak untuk bertumbuh kembang. Komunikasi ayah dan ibu sebagai rekan dalam membesarkan anak juga harus diperbaiki karena beda pola pengasuhan ayah dan ibu juga meningkatkan risiko paparan anak pada perundungan.
Tidak mudah memang mengasuh dan membesarkan anak di era digital. Namun, kualitas hidup dan kesejahteraan kita di masa depan akan bergantung pada didikan orang dewasa saat ini pada anak.
Baca juga: Kekerasan di Sekolah Jadi Alarm Keras Dunia Pendidikan
Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela pernah mengatakan, ”Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan, kamu dapat mengubah dunia.” Karena itu, sekolah sebagai pilar utama pendidikan anak seharusnya menjadi tempat yang bebas dari kekerasan agar anak-anak justru tidak belajar tentang kekerasan dari sekolah.