Cinta pada Pandangan Pertama Itu Hanya Ilusi
Jatuh cinta pada pandangan pertama amat indah. Namun, sejatinya itu bukan cinta, hanya ketertarikan kuat.
Sebagian besar di antara kita pasti pernah jatuh cinta pada pandangan pertama. Hanya sepersekian detik setelah mata saling bertatapan, muncul rasa tertarik dan suka yang mendalam.
Tergila-gila. Kita kerap menyebut rasa tersebut sebagai cinta pada pandangan pertama. Padahal sejatinya, hal itu hanyalah merupakan ketertarikan semata yang dibumbui oleh nafsu.
Masih ingatkan Anda saat jatuh cinta pada pandangan pertama? Ketika matamu bertatapan dengan matanya dan saat itu Anda yakin itulah cinta.
Kala itu, sorot matanya serasa menenggelamkan duniamu, membuat jantungmu berdenyut kencang, ada ”kupu-kupu” yang menari-nari di perutmu, dan bayangannya membuatmu susah tidur dan tak enak makan.
Tak perlu malu karena bukan kamu saja yang pernah merasakannya. Survei Earl Naumann dalam bukunya Love at First Sight: The Stories and Science Behind Instant Attraction (2004) terhadap 1.500 orang di Amerika Serikat membuktikan hal itu.
Hasil survei tersebut menemukan hampir separuhnya pernah mengalami cinta pada pandangan pertama (CP3). Sementara 55 persen dari jumlah total orang yang mengalami CP3 menikah dengan orang yang pernah digila-gilainya saat pertama kali menatapnya.
Baca juga: Meningkatkan Relasi dengan Pasangan
Cinta pada pandangan pertama terasa nyata. Keindahan ceritanya jadi sumber inspirasi banyak dongeng, puisi, novel, lagu, drama, sinetron, hingga film. Lika-liku cerita mereka yang mengalami CP3 dan ingin mengembangkan menjadi hubungan romantis yang langgeng juga senantiasa menjadi kisah menarik.
Meski menjadi gerbang datangnya cinta sesungguhnya, CP3 bukan cinta sebenarnya. Cinta sejati baru akan datang setelah terjalinnya ikatan asmara di antara kedua pihak, bukan dari salah seorang pasangan saja. Hadirnya cinta sejati itu butuh waktu relatif panjang setelah datangnya CP3.
”Ketertarikan awal seseorang pada orang lain bukanlah cinta. Psikolog menolak pandangan yang menyebut cinta sejati bisa dirasakan saat baru sekali menatap seseorang,” kara Deborah Lee, ahli kesehatan reproduksi dan seksualitas di Fox Online Pharmacy Inggris kepada Livescience, 12 Februari 2023.
Cinta akan berkembang seiring dengan waktu, setelah seseorang bisa mencintai pikiran, nilai, dan keterampilan seseorang, bukan hanya mengenai ketertarikan dan hasrat seksual,” tuturnya menambahkan.
Neurobiologi
Teori segitiga cinta dari profesor psikologi Universitas Cornell, Amerika Serikat, Robert Sternberg, menyebut cinta sejati dan romantis memiliki tiga komponen utama, yakni keintiman, gairah, dan komitmen. Keintiman mengacu pada perasaan kedekatan, keterhubungan, dan ikatan asmara yang memunculkan kehangatan hubungan.
Sementara gairah berkaitan dorongan yang mengarah pada romantisme, ketertarikan fisik, hasrat seksual, dan hal terkait dalam relasi cinta. Selanjutnya, komitmen ditandai keputusan jangka pendek seseorang untuk mencintai orang lain dan tekad untuk mempertahankan cinta itu dalam jangka panjang.
”CP3 hanya satu dari tiga komponen cinta (Robert Stenberg) tersebut, yaitu komponen gairah. Untuk memiliki cinta sejati dan romantis, tiga komponen cinta itu harus ada,” ucap psikolog di Women’s Health Center, bagian dari Cleaveland Clinic di Wooster, AS, Susan Albers di situs Cleaveland Clinic, 23 Januari 2023.
”Cinta sejati membutuhkan waktu berpikir dan merefleksikan diri untuk memutuskan apakah pandangan itu akan menjadi hubungan yang langgeng atau ketertarikan sesaat,” ungkapnya.
Sementara menurut antropolog Universitas Rutgers, AS, Helen Fisher, cinta atau proses pencarian pasangan dan reproduksi pada mamalia melibatkan tiga emosi, yaitu nafsu, ketertarikan, dan kemelekatan. Nafsu atau dorongan seksual ditandai dengan keinginan untuk mendapatkan kepuasaan seksual.
Adapun ketertarikan dicirikan adanya peningkatan energi dan perhatian yang terfokus pada satu atau lebih calon pasangan. Pada manusia, ketertarikan itu juga disertai rasa gembira, munculnya pikiran yang mengganggu, hingga keinginan bersatu secara emosional dengan orang yang mereka gila-gilai.
Untuk kemelekatan ditunjukkan upaya memelihara kontak sosial yang erat. Pada manusia, kemelekatan juga ditandai rasa tenang, nyaman, dan penyatuan emosional dengan pasangan. Tiga komponen menandai hadirnya cinta dalam pencarian pasangan kawin saling terhubung dan memperkuat satu sama lain.
Tiga hal yang hadir saat manusia jatuh cinta itu, menurut Krishna G Seshadri dari Departemen Endokrinologi Universitas Sri Ramachandra Chennai, India dalam Indian Journal of Endocrinology and Metabolism edisi Juli-Agustus 2016, memiliki proses berbeda di otak. Tiap komponen itu juga dihubungkan neurotransmitter dan sirkuit tertentu pada otak.
Nafsu ditentukan hormon testosteron (hormon reproduksi pria, membentuk kepadatan tulang dan kekuatan otot) dan estrogen (hormon reproduksi perempuan, menentukan kesuburan, dan mengatur menstruasi). Kerja hormon itu dikendalikan bagian amigdala di otak sebagai pusat pengaturan emosi.
Baca juga: Sulit Mendapat Pasangan? Kamu Tidak Sendirian
Untuk ketertarikan, dikemudikan bagian otak disebut nukleus akumbens dan ventral tegmental yang jadi pusat pengelolaan stres dan penghargaan.
Neurotransmitter yang terlibat saat muncul ketertarikan ialah dopamin (menimbulkan rasa senang), noradrenalin atau norepinefrin (menentukan respons melawan/fight, lari/flight, atau diam/freeze), dan kortisol (hormon stres).
Sementara kemelekatan melibatkan bagian otak disebut ventral pallidum yang mengatur perilaku adaptif, eksplorasi, motivasi, dan pembelajaran berbasis penghargaan. Neurotransmitter yang mengelola kemelakatan didominasi oksitosin (hormon cinta, meningkatkan kepercayaan dalam interaksi), dan vasopresin (memengaruhi perilaku agresif).
Nafsu belaka
Karena itu, cinta sesungguhnya merupakan buah kerja berbagai bagian otak dan banyak hormon atau neurotransmitter tersebut. Campuran berbagai hormon yang dilepaskan itu memberi rasa senang dan aman pada sistem saraf saat manusia merasakan jatuh cinta dengan orang lain.
”Cinta memengaruhi pikiran dan tubuh dengan cara yang dramatis. Bersamaan dengan munculnya euforia dan pikiran posesif, terjadi peningkatan sekresi atau pengeluaran berbagai hormon,” kata psikolog klinis dan terapis pasangan di klinik Couples Therapy di Inggris, Eric Ryden.
Hormon yang dihasilkan tersebut terutama dopamin yang memberikan rasa bahagia, penghargaan, dan kesenangan serta oksitosin yang memberi perasaan hangat, kasih sayang, dan kepercayaan.
Saat orang tergila-gila atau jatuh cinta pada pandangan pertama, mereka sejatinya masih berada dalam fase nafsu atau ketertarikan semata. Jumlah berbagai hormon cinta yang dikeluarkan dalam tubuh pun masih sedikit dibandingkan saat seseorang dalam fase cinta romantis.
Cinta memengaruhi pikiran dan tubuh dengan cara yang dramatis. Bersamaan dengan munculnya euforia dan pikiran posesif, terjadi peningkatan sekresi atau pengeluaran berbagai hormon.
Jumlah hormon akan optimal ketika mereka benar-benar cinta dengan pasangan, yaitu ketika fase kemelekatan terjadi. Kondisi ini membuat apa yang sering dianggap orang sebagai CP3 sejatinya bukanlah cinta, tapi hanya ketergila-gilaan.
”CP3 merupakan ketertarikan fisik dan nafsu. Sayangnya, rasa indah yang memabukkan itu tak bertahan lama seperti cinta romantis. Jika seseorang mencari pasangan untuk jangka panjang, CP3 bukan pertanda menemukan orang tepat,” tambahnya. CP3 jadi tanda awal dari cinta sebenarnya.
Ketergila-gilaan yang dianggap CP3 mengaktifkan area otak yang sama dengan bagian otak yang aktif saat kecanduan kokain. Saat terfokus pada seseorang, mereka tertarik berlebihan, berubahnya suasana hati saat euforia, sikap obsesif dan kompulsif, hidup dalam realitas terdistorsi, dan tergantung orang lain.
”Semua itu merupakan perilaku orang saat kecanduan kokain,” kata Lee. Namun, perasaan tergila-gila itu akan melunak seiring dengan bertambahnya usia sebuah hubungan dan dimulainya tahap lebih lanjut dari cinta romantis.
Pada saat cinta romantis yang sebenarnya tersebut muncul, seperti studi Zhiling Zou di jurnal Frontiers in Psychology, 22 September 2016, di situlah perilaku orang yang sedang jatuh cinta tidak lagi meniru gaya orang yang kecanduan kokain.
Pola kognisi
Lantas, jika jatuh cinta pada pandangan pertama bukanlah cinta romantis yang sebenarnya, mengapa banyak orang atau pasangannya yakin bahwa mereka mengalami hal itu?
Ketertarikan ekstrem dan kerinduan kuat pada seseorang saat jatuh CP3 itu muncul tiba-tiba selama beberapa detik. Jika pandangan menggoda itu disambung saling bertegur sapa, bertukar akun media sosial atau nomor telepon, derajat ketertarikan meningkat secara eksponensial.
Dalam situasi itu, ”Sangat mudah terjebak pengalaman intens itu,” kata Albers. Pengalaman jatuh cinta pada pandangan pertama ini kerap hanya pengalaman sepihak. Laki-laki lebih sering mengalaminya dibandingkan perempuan.
Profesor psikologi di Universitas Loyola, Maryland, AS, Theresa DiDonato di The Psychology Today, 27 Januari 2018, menyebut tidak jelas mengapa hal itu terjadi. Bisa jadi karena pria lebih aktif mencari calon pasangan potensial atau justru perempuan lebih selektif membangun ketertarikan dengan lawan jenis.
Meski pengalaman CP3 sepihak, itu jadi upaya awal intensif bagi seseorang untuk membentuk ingatan dengan pasangannya. Orang yang menjadi sumber ketertarikan atas CP3 seseorang umumnya menyesuaikan ingatannya dengan ingatan pasangannya sehingga seolah-olah dia juga merasakan CP3.
Perilaku psikologi disebut ”efek halo” yang membuat seseorang cenderung mengaitkan diri pada karakter lebih positif melalui orang yang dianggap menarik.
Selain itu, Donna J Bridge dan Ken A Paller di Journal of Neuroscience, 29 Agustus 2012, mengutarakan, ingatan manusia bisa berubah saat mereka mengingatnya kembali.
Ingatan tersebut kerap dipengaruhi oleh kondisi emosional saat mengingatnya. Makin sering orang itu mengingat hal sama, maka semakin melenceng ingatan itu dari kejadian aslinya.
Baca juga: Menjaga Relasi dengan Pasangan
Tidak hanya mengenai terdistorsinya ingatan, persepsi seseorang terhadap pasangan umumnya berada dalam sudut pandang yang positif atau bias.
Fenomena yang dikenal sebagai ilusi positif itu, seperti ditulis di jurnal Frontiers in Human Neuroscience, 11 Januari 2019, bisa mengelabui orang untuk berpikir bahwa mereka telah jatuh cinta sejak pandangan pertama. Padahal, butuh waktu lebih lama bagi seseorang untuk bisa benar-benar jatuh cinta.
Namun, ilusi positif ini juga membantu meningkatkan kepuasan dalam hubungan romantis. Pasangan paling bahagia adalah mereka yang melihat satu sama lain dalam ”kacamata merah muda”, yaitu memandang pasangannya penuh optimisme atau melihat segala hal dari pasangan pada sisi positifnya.
Orang yang mengaku mengalami CP3 bisa jadi juga mengalami bias memori selektif yang membuat mereka membangun ulang kisahnya saat pertama kali bertemu pasangannya dan menganggap itu sebagai CP3.
”Mereka merangkai ulang cerita agar sesuai narasi teatrikal yang diharapkan atau ramalan yang sudah diucapkan. Ujungnya, mereka kemudian meyakini bahwa memang terjadi CP3,” tambah Albers. Prinsip ini pula yang menjelaskan mengapa banyak orang percaya ramalan zodiak.
Jadi, meski orang mungkin berpikir apa yang mereka rasakan adalah cinta pada pandangan pertama, sejatinya mungkin tak demikian. Saat menatap seseorang pertama kali dengan rasa gembira, nafsu atau gairah saat itu kerap dianggap cinta karena apa yang mereka rasakan memang menyenangkan.