Sulit Mendapat Pasangan? Kamu Tidak Sendirian
Jumlah lajang terus naik di seluruh dunia. Banyak di antara mereka ingin membangun hubungan serius, tetapi lelah dengan segala ”dramanya”. Padahal, cinta dan relasi romantis berkomitmen memang harus terus diperjuangkan.
Jumlah lajang terus meningkat di seluruh dunia. Sebagian memang memutuskan hidup sendiri. Namun, banyak pula bujang yang harus berjuang susah payah mencari pasangan hidupnya meski sebagian akhirnya menyerah dan pasrah. Semakin modern zaman, nyatanya mencari pasangan tidak semakin mudah.
Survei Sosial Umum (GSS) oleh NORC Universitas Chicago, Amerika Serikat (AS), pada 2018 menemukan 51 persen penduduk AS berumur 18-34 tahun tidak memiliki pasangan romantis yang stabil atau berkomitmen dalam jangka panjang. Jumlah itu naik signifikan dibandingkan survei sejenis sebelumnya, yakni 33 persen pada 2004 dan 45 persen pada 2016.
Hasil survei itu sejalan dengan sejumlah fenomena yang menunjukkan peningkatkan lajang di negara tersebut, mulai dari menurunnya jumlah rata-rata anak yang dimiliki perempuan usia subur dan terus meningkatnya usia pernikahan pertama. Namun, laporan Pew Research Center 2017 menemukan jumlah orang yang belum menikah, tetapi menginginkan pernikahan makin besar dengan alasan utama belum menemukan orang yang tepat.
Bagi manusia di era digital saat ini, memilih pasangan memang tidak semudah kakek-nenek kita yang hidup di zaman agraris.
Situasi serupa ditemukan di Australia. ”Dikutip dari situs Universitas Deakin, Melbourne, Australia, menunjukkan sebanyak 1 dari 4 rumah tangga Australia adalah rumah tangga yang berisikan satu anggota keluarga. Biro statistik Australia memperkirakan jumlah rumah tangga dengan penduduk tunggal terus naik dari 1,9 juta orang pada 2006 menjadi 3,2 juta orang pada 2031.
Di negara-negara maju Asia, kondisi yang terjadi pun sama. Dikutip dari The Guardian, 4 Februari 2022, proporsi rumah tangga dengan penduduk tunggal di Korea Selatan pada 2020 mencapai 31,7 persen atau yang tertinggi sepanjang masa. Mereka umumnya berumur 20-an tahun sampai 30-an tahun. Tingginya biaya hidup dan melambungnya harga rumah yang secara tradisional dijadikan syarat kesiapan menikah memicu rendahnya tingkat pernikahan dan kelahiran.
Sementara di China, data Kementerian Dalam Negeri yang dikutip China Global Television Network (CGTN) menyebut ada 200 juta lajang di Tiongkok pada 2017. Ahli populasi dan kelanjutusiaan dari Universitas Renmin, Beijing, Du Peng, menyebut mereka adalah orang yang secara tradisional sudah memasuki usia kawin, tetapi masih berstatus lajang alias menunda perkawinan.
Usia rata-rata kawin di China, baik pada laki-laki maupun perempuan, memang terus meningkat sejak 1990-an. Usia perkawinan rata-rata perempuan China naik dari 22,0 tahun pada 1990 menjadi 26,3 tahun pada 2016. Kondisi ini diprediksi terus meningkat di masa depan.
Bagi pasangan milenial muda ataupun generasi Z yang sudah menikah, cinta saja tidak cukup, tetapi harus cinta plus.
Indonesia pun tak luput dari fenomena serupa meski sulit mencari data berapa jumlah lajangnya. Namun, di tengah masih tingginya perkawinan usia anak dan besarnya tekanan sosial untuk menikah, nyatanya median usia kawin pertama perempuan umur 25-49 tahun yang pernah kawin terus naik dari 17,1 tahun pada 1991 menjadi 21,8 tahun pada 2017.
Perempuan yang memiliki tingkat pendidikan lebih baik dan tinggal di perkotaan memiliki median usia kawin pertama lebih tinggi dibandingkan yang pendidikannya lebih rendah dan tinggal di perdesaan. Selain itu, jumlah rata-rata anak per perempuan usia subur juga turun dari 2,6 anak pada 2002-2003 menjadi 2,4 anak pada 2017.
Uniknya, GSS juga menemukan pendukung Partai Demokrat di AS yang tidak memiliki pasangan tetap sebanyak 41 persen, jauh lebih besar dibandingkan pendukung Partai Republik yang hanya 29 persen. Partai Republik berideologi konservatif memiliki asosiasi kuat dengan agama, sedangkan Partai Demokrat yang cenderung liberal dianggap lebih rasional.
Situasi itu menunjukkan mereka yang melajang atau menikah umumnya memiliki karakteristik yang mirip. Selain dari ideologi politik, kemiripan juga akan mudah ditemukan jika dikaitkan dengan tempat tinggal, status pekerjaan atau pengangguran, hingga ras tertentu. Di Indonesia, sebagian orang memilih melajang karena ingin merawat dan menjaga orangtua.
Tidak mudah
Bagaimanapun, mundurnya usia kawin dan bertambahnya jumlah lajang adalah fenomena manusia modern. Beberapa negara maju sudah mulai merasakan dampaknya, terutama soal rendahnya fertilitas penduduk yang dalam jangka panjang akan mengancam pertumbuhan ekonomi. Namun, bagi manusia di era digital saat ini, memilih pasangan memang tidak semudah kakek-nenek kita yang hidup di zaman agraris.
The Washington Post, 21 Maret 2019, menulis alasan seseorang menunda perkawinan bervariasi, mulai dari alasan klasik untuk berfokus pada karier hingga kesulitan sebagian lajang mencari pasangan hidup. Mereka yang melajang seringkali terisolasi di lingkungan sosialnya akibat teman-teman sebaya sudah menikah atau memiliki hubungan romantis serius.
Sementara itu, penulis buku Marriage, a History: How Love Conquered Marriage (2006) yang juga ahli sejarah keluarga, Stephanie Coontzs, seperti dikutip The Psychology Today, 14 Februari 2020, mengatakan, mencari pasangan pada 100 tahun yang lalu jauh lebih mudah dibandingkan sekarang. Alasan buyut-buyut kita memilih pasangan pun lebih simpel, seperti berasal dari keluarga terpandang atau dikenal baik atau sikap calon istri yang keibuan.
Baca juga: Kapan Nikah... Kapan Nikah... Kapan Nikah...
Semua alasan memilih pasangan itu tidak cukup bagi manusia modern. Pertimbangan soal karakter pasangan, asal keluarga, pendidikan, dan kepatuhan beragama tetap ada. Namun, manusia modern mensyaratkan cinta pada pasangannya, perasaan yang tidak berwujud, tetapi sangat menginspirasi sekaligus mudah dilupakan.
Bahkan, bagi pasangan milenial muda ataupun generasi Z yang sudah menikah, cinta saja tidak cukup, tetapi harus cinta plus. Peneliti hubungan romantis yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta, Pingkan CB Rumondor, di Kompas, 28 Oktober 2017, menilai sebagian anak muda saat ini menjadikan perkawinan sebagai sarana aktualisasi diri.
Alasan menikah karena ingin mengaktualisasikan diri itu sejalan dengan teori hierarki kebutuhan manusia Abraham Maslow (1943) yang membagi kebutuhan manusia dalam lima tingkatan. Kebutuhan paling rendah terkait dengan kebutuhan fisiologi, sedangkan kebutuhan tertinggi berhubungan dengan aktualisasi diri.
Mereka yang kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Karena itu, tidak semua anak muda milenial atau generasi Z akan menikah karena ingin memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Banyak di antara mereka masih menikah dengan alasan paling mendasar, yaitu memenuhi kebutuhan primernya.
Hal yang ingin dikejar dalam perkawinan untuk aktualisasi diri adalah ekspresi diri. Mereka ingin, dengan menikah, segala potensi diri mereka bisa makin dioptimalkan, baik itu karier, hobi, potensi ekonomi, maupun kebutuhan spiritual tanpa melupakan cita-cita utama membangun keluarga yang damai, tenteram, dan bahagia.
Calon pasangan yang ingin dikejar adalah sosok yang tidak hanya bisa membangun keintiman, tetapi juga bisa membantu pasangan menjadi lebih baik dan bisa mengoptimalkan apa yang dimiliki pasangan demi hasil yang dikehendaki. Semua itu membuat sosok calon pasangan idaman adalah seseorang yang ideal yang bisa memenuhi segala hal yang dicita-citakan.
Kita kerap beranggapan bahwa pasangan kita memiliki banyak kekurangan. Padahal, itu karena kita terlalu banyak meminta.
Besarnya harapan itu membuat pernikahan atau hubungan menjadi penuh tekanan. Terlebih jika ternyata pasangan yang didapat tidak sesuai harapan. Risikonya, potensi terjadinya perceraian menjadi lebih besar. Karena itu, tak mengherankan jika angka perceraian di Indonesia terus meningkat di tengah terus turunnya jumlah perkawinan.
Pingkan mengatakan, tak salah menikah karena ingin mengaktualisasikan diri. Namun, sejak awal harus disadari bahwa pasangan kita tak mungkin memenuhi atau melakukan semua harapan kita. ”Kita kerap beranggapan bahwa pasangan kita memiliki banyak kekurangan. Padahal, itu karena kita terlalu banyak meminta,” ujarnya.
Selain soal kebutuhan, perkawinan modern menjadi tidak mudah karena banyaknya pilihan pasangan. Dengan media sosial atau berbagai aplikasi kencan, seseorang bisa mengirimkan tanda suka kepada siapa pun yang dianggapnya menarik. Selanjutnya, algoritma sistem akan mencocokkan mereka dan membuka kesempatan mereka untuk berkomunikasi.
Baca juga: Di Balik Teror Pertanyaan “Kapan Nikah”
Kondisi itu tentu berbeda dengan pemilihan pasangan beberapa dekade lalu. Pasangan umumnya diperoleh dari lingkungan terdekat, apakah itu teman sekolah, teman kerja, tetangga, teman orangtua, hingga temannya teman. Kini, kita bisa memilih orang dari belahan dunia mana pun dengan segala standar ukuran kecantikan atau ketampanan hanya dengan menggerakkan jari.
Di satu sisi, banyaknya pilihan dipastikan akan membuat seseorang makin bingung memilih hingga akhirnya pilihan justru jatuh bukan pada pilihan terbaik. Tak hanya itu, banyaknya pilihan di aplikasi kencan juga meningkatkan potensi sakit hati karena ditolak, dirisak, ditinggalkan tanpa kejelasan (ghosting), hingga diabaikan oleh orang yang kita inginkan.
”Penolakan adalah ancaman terhadap harga diri dan sanksi yang ingin kita hindari,” kata Gery Karantzas, psikolog di Universitas Deakin, Australia. Meski demikian, jika berhasil mengatasi ketakutan, berani menanggung potensi sakit hati, hingga berhasil mendapat pasangan seperti yang diidam-idamkan, kepuasan dan kebahagiaannya pun sebanding dengan risikonya.
Pengalaman ditolak itu membuat banyak orang yang sejatinya bersungguh-sungguh mencari pasangan memilih diam. Mereka juga menghindar untuk membangun hubungan baru karena lelah dengan segala susah payahnya. Akibatnya, mereka pun makin lama melajang dan makin sulit mendapat pasangan.
Jangan berhenti
Meski terasa melelahkan, orang lajang yang memang berniat untuk menikah atau membangun hubungan serius sepatutnya tidak pernah berhenti berusaha. Laura Lane, salah satu penulis buku This is Why You're Single (2015) mengatakan, banyak orang yang tidak bahagia mencoba mencari kebahagiaan melalui orang lain. Padahal, sejatinya, tidak ada orang yang akan benar-benar cocok atau memenuhi semua harapan kita.
Baca juga: Muda Menikah Rawan Mengundang Mara
Karena itu, para kaum lajang seharusnya bisa menemukan dalam diri mereka apa yang bisa membuatnya bahagia. Selain itu, apa yang diinginkan dari pasangan dan apa yang pasangan harapkan dari kita perlu didiskusikan bersama secara terbuka. Namun, menurut Karantzas, keterbukaan dan kejujuran ini terkadang menyakitkan karena kita harus siap dengan segala kemungkinannya.
Menurut Pingkan, membangun hubungan romantis yang baik di tengah kebutuhan untuk aktualisasi diri membutuhkan investasi waktu dan tenaga. Setiap pasangan harus mampu berpendapat, mendengarkan, hingga bernegoisasi secara setara. Dengan demikian, setiap pasangan bisa menyesuaikan diri serta saling memahami harapan pasangannya hingga bisa tumbuh dan berkembang bersama.
”Pernikahan yang amat memuaskan tidak bisa didapat jika kita tidak meluangkan waktu dan energi untuk saling memahami pasangan dan membantu mereka tumbuh lebih baik,” tulis Olga Khazan dalam ”We Expect Too Much from Our Romantic Partners” di Theatlantic.com, 29 September 2017.
Investasi waktu dan tenaga itu diperlukan bukan hanya untuk lajang yang ingin membangun hubungan berkomitmen dengan serius, tetapi juga mereka yang sudah menjadi pasangan dan ingin mempertahankan hubungannya.
Baca juga: Asia dan Fenomena Lajang
Bagaimanapun, cinta adalah sesuatu yang fluktuatif dan indahnya ”bunga-bunga” cinta hanya bertahan 2-3 tahun. Hal yang pasti, cinta beserta hubungan romantis berkomitmen atau pernikahan harus terus dirawat dan diperjuangkan, tidak bisa dibiarkan mengalir alami.