Kapan Nikah... Kapan Nikah... Kapan Nikah...
Tanpa disadari, pertanyaan ”kapan nikah” acap kali menyinggung perasaan saat diucapkan pada kesempatan dan konteks yang tak tepat. Di sisi lain, kaum lajang perlu menyikapi pertanyaan ini dengan lebih dewasa.
Lebaran segera tiba. Agenda pertemuan keluarga, kerabat, dan teman sudah di depan mata walau tahun ini kemungkinan akan dirayakan kembali secara daring. Inilah saat-saat paling menekan bagi mereka yang masih membujang. Para single, sudahkah kalian siap dengan pertanyaaan, ”Kapan nikah?”
Bu Tejo dalam film Tilik (2018) berkata, ”Wong wis umurane kok ra ndang rabi-rabi (Orang sudah masuk umurnya, kok, tidak segera menikah).” Tetangga bilang, ”Rumah ada empat kamar, kok, ditempati sendirian.” Bahkan, teman melempar candaan tak asyik, ”Itunya (kelamin), kok, cuma dipakai pipis doang.”
Agama menyebut manusia diciptakan berpasangan, laki-laki dan perempuan. Dalam konteks agama dan budaya Indonesia, berpasangan itu harus diikat aturan agama dan sosial dalam bentuk pernikahan.
Banyak studi menunjukkan, orang yang bahagia dengan pernikahannya memiliki umur lebih panjang; risiko stroke, serangan jantung, dan depresi lebih rendah; lebih cepat pulih saat menjalani operasi; serta berpeluang hidup lebih panjang jika jadi penyintas kanker. Namun, riset juga membuktikan pernikahan yang tidak bahagia lebih buruk dampaknya dibandingkan dengan mereka yang hidup membujang tetapi dikelilingi keluarga, teman, dan lingkungan yang mendukung.
Nyatanya, jalan hidup manusia tidak sama. Perubahan zaman membuat pandangan sebagian orang tentang pernikahan bergeser. Prioritas, target, dan tujuan hidup setiap orang juga berbeda. Belum lagi pengalaman masa lalu yang tak sama juga akan memengaruhi pandangan setiap individu tentang perkawinan.
”Makin banyak orang muda, laki-laki usia lebih dari 35 tahun dan perempuan umur lebih dari 30 tahun, di kota-kota besar di Indonesia yang belum menikah,” kata sosiolog kesehatan yang banyak meneliti kesehatan reproduksi dan dosen Program Studi Sosiologi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Argyo Demartoto, Rabu (5/5/2021).
Orangtua perlu mengarahkan anaknya apa pun pilihannya terhadap pernikahan agar anak-anak mereka tidak terjebak pada seks bebas atau melakukan hal-hal yang melampaui batas.
Anak muda saat ini lebih independen, makin banyak yang menempatkan pernikahan bukan sebagai prioritas walau tetap menginginkannya. Mereka juga lebih rasional, lebih memikirkan berbagai risiko yang terbentuk akibat perkawinan. Meski masih ada yang bernasib seperti Siti Nurbaya, tak banyak lagi anak muda yang mau dipaksa kawin dengan orang yang tak dicintainya.
Karena itu, psikolog klinis peneliti hubungan romantis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Pingkan CB Rumondor mengatakan, pertanyaan kapan nikah sangat mengganggu dan menekan para bujang. Pertanyaan itu mengingatkan mereka atas capaian yang seharusnya sudah diraih dalam hidupnya sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Orang dewasa muda berumur 20-40 tahun dianggap sudah mampu melewati fase perkembangan psikologisnya jika sudah memiliki relasi romantis dengan orang lain sembari tetap menjadi diri sendiri. Dalam konteks Indonesia, menjalin hubungan romantis itu dimaknai sebagai menikah.
Selain dianggap terlalu masuk dalam ranah privat seseorang, pertanyaan kapan nikah sering disampaikan dalam situasi dan waktu yang tidak tepat. Nada pertanyaan pun sering kali merendahkan dan mengintimidasi yang sering dibungkus sebagai candaan. Tudingan terlalu pemilih, tak percaya rezeki Tuhan, hingga tudingan berorientasi seksual berbeda sering dilemparkan.
Mereka yang lebih tua umumnya menanyakan pertanyaan itu dengan dibungkus nasihat, mulai dari dampak pada anak jika menikah di usia terlalu tua, keterbatasan usia reproduktif perempuan, hingga kekhawatiran akan menghabiskan masa tua sendirian.
Namun, yang sering terlupakan, sebagian besar penanya tidak pernah tahu jatuh bangunnya usaha para bujang demi segera menikah. Penanya juga tak tahu kondisi bujang yang belum menikah yang sedang memulihkan luka dari hubungan sebelumnya, bergumul dengan kehidupan seksualnya, mencoba berdamai dari trauma masa lalu akibat perceraian orangtua atau memang tidak ingin menikah.
Baca juga: Mengoptimalkan Potensi Pemuda
”Persoalannya, pernikahan di Indonesia dianggap sebagai achievement (pencapaian) sosial,” kata Pingkan. Akibatnya, sebagus apa pun kemapanan ekonomi dan karier yang dimiliki hingga sebaik apa pun amal ibadah, semua dianggap tak berarti apa-apa hanya gara-gara belum menikah.
Argyo mengatakan, pertanyaan kapan nikah dalam konteks budaya Indonesia sebenarnya wajar dan sah-sah saja. Terlebih pernikahan dianggap sebagai wujud bakti anak kepada orangtua yang menentukan nama baik orangtua. Menikahnya anak dianggap sebagai tuntasnya tugas orangtua dalam mendidik anak.
Budaya itu juga ditemukan di sejumlah negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Myanmar. ”Itu adalah alat kontrol sosial dan bentuk solidaritas dari masyarakat yang komunal, tidak seindividualistik masyarakat Barat,” katanya.
Baca juga: Muda Menikah Rawan Mengundang Mara
Meski demikian, sering kali pertanyaan itu disampaikan dalam kesempatan dan waktu yang tidak tepat, penuh syak wasangka, penghakiman, pemaksaan kehendak, hingga perundungan. Alih-alih menasihati, pertanyaan itu justru lebih sering menimbullkan rasa sakit hati, merendahkan harga diri, serta membuat orang yang ditanya merasa tidak cukup baik dan tidak berharga.
Bahkan, pada beberapa kasus, lanjut Pingkan, tekanan pertanyaan kapan nikah bisa mendorong seseorang memiliki pikiran bunuh diri. Tentu, kasus ini hanya terjadi pada orang-orang tertentu yang sudah mempunyai berbagai kerentanan untuk bunuh diri, bukan akibat pertanyaan kapan nikah semata.
”Orangtua seharusnya juga bisa memahami dan menerima pemikiran anak di tengah perubahan nilai sosial, ekonomi, dan budaya yang mereka alami saat ini, termasuk jika anak menyatakan tidak ingin menikah” tambah Argyo. Walau demikian, orangtua perlu mengarahkan anaknya apa pun pilihannya terhadap pernikahan agar anak-anak mereka tidak terjebak pada seks bebas atau melakukan hal-hal yang melampaui batas.
Tidak diterima
Budaya Indonesia memang belum bisa menerima orang yang tidak menikah. Pernikahan sebagai keharusan, bukan pilihan seperti di negara-negara maju.
Joko Kusmanto dari Politeknik Negeri Medan dalam ”Exploring The Cultural Cognition and The Conceptual Metaphor of Marriage in Indonesia” di Lingua Vol. 11, Desember 2016, menulis ekspresi linguistik ”tidak menikah” (not married) tidak bisa diterima dalam budaya masyarakat Indonesia. Orang Indonesia hanya mengenal ”sudah menikah” (married) dan ”belum menikah” (unmarried).
Kultur itu dilanggengkan negara. Akibatnya, dalam kartu keluarga atau kartu tanda penduduk hanya ada istilah ”kawin” dan ”belum kawin”, tidak ada pilihan ”tidak kawin”. Sistem itu juga digunakan negara dalam pendataan status perkawinan penduduk yang hanya mengenal istilah: kawin, belum kawin, serta cerai hidup atau cerai mati.
Sikap masyarakat yang tak bisa menerima pilihan tidak menikah dan sering bertanya kapan nikah dinilai Argyo terkait kuatnya pandangan heteronormativitas di masyarakat.
Dalam nilai ini, seseorang dituntut menjadi heteroseksual dan konsekuensinya harus menikah. Pandangan ini terus disosialisasikan dan diwariskan dalam keluarga lintas generasi.
Budaya bertanya kapan nikah di masyarakat, lanjut Pingkan, banyak didasari ketidaktahuan dan ketidaksadaran bahwa pertanyaan itu terlalu mencampuri ranah privat orang lain. Terlebih, batasan privasi di Indonesia masih sangat longgar. Ketidaksadaran itu bisa terjadi karena mereka juga mengalami hal yang sama di masa lalu, tidak memiliki kedekatan emosional dengan yang ditanya, atau memang tipe orang yang tidak peduli dengan perasaan orang lain.
Selain itu, pertanyaan kapan nikah juga didorong pandangan masyarakat bahwa pernikahan selalu berkorelasi dengan kebahagiaan. Namun, kebahagiaan itu bukan dalam arti bahagia dengan pernikahannya, tetapi bahagia akibat terjadinya pernikahan, lepasnya status lajang, dan terpenuhinya harapan masyarakat.
Baca juga: Anak Muda Cemas Hadapi Masa Depan yang Tak Pasti
Fakta terus meningkatnya perceraian, bahkan di usia perkawinan yang kurang dari lima tahun, berbagai konflik dan dampak yang muncul dari perceraian, kurang menjadi perhatian masyarakat. Masyarakat jauh lebih mudah bertanya kapan nikah dibandingkan dengan bertanya mengapa bercerai.
”Tekanan masyarakat itu membuat banyak orang ingin segera menikah hanya demi membuktikan mereka mampu menikah, lepas dari pertanyaan kapan nikah, meski mereka sebenarnya tidak siap untuk menikah, apalagi membangun rumah tangga,” ucap Pingkan.
Banyak di antara mereka yang memaksakan diri menikah sejatinya belum siap melepas kebebasannya sebagai bujang, belum siap berkomitmen dengan orang lain dalam ikatan perkawinan, hingga tidak memiliki gambaran peran dan tanggung jawab apa yang diemban saat menjadi suami-istri.
Banyak di antara mereka juga belum mengenal kepribadian pasangan secara mendalam hingga rentan menimbulkan konflik dalam pernikahan. Keterkejutan-keterkejutan yang muncul akibat perkawinan itu membuat tingkat kepuasan mereka terhadap pernikahan menjadi rendah hingga membuat perkawinan tidak bahagia dan rentan terjadi perceraian.
Siapkan diri
Namun, para bujang juga harus bersiap diri menghadapi tekanan ini. Pertanyaan itu bisa jadi berulang setiap waktu, tidak hanya dalam momen Lebaran saat ini.
”Butuh kesadaran diri yang tinggi agar pertanyaan itu tidak memancing kemarahan diri dan memunculkan rasa tertekan,” kata Pingkan.
Kesadaran diri itu bertumpu pada pemahaman bahwa keputusan untuk menunda pernikahan atau tidak menikah itu merupakan putusan pribadi, bukan urusan orang lain. Bujang yang memiliki sikap ini umumnya akan merasa aman (secure) saat pertanyaan kapan nikah muncul. Pertanyaan itu juga tidak akan mengurangi keberhargaan dirinya.
”Yakinkan dalam diri bahwa kita berharga, apa pun kondisinya dan apa pun omongan orang tentang kita. Kebahagiaan dan keberhargaan kita tidak ditentukan oleh omongan orang lain,” kata Pingkan. Ini tantangan berat bagi banyak orang Indonesia karena sebagian besar dari mereka membentuk diri mereka (self construction) berdasarkan omongan orang lain.
Selain itu, para bujang juga perlu mengenali sikap dan nilai diri tentang pernikahan. Apa pun pilihanmu, tetap ingin menikah atau tidak menikah, yakin dan peganglah pilihanmu itu. Semakin kamu bisa menunjukkan otentifikasi dirimu, Anda tidak akan mudah terombang-ambing oleh pertanyaan orang lain.
Saat pertanyaan kapan nikah itu benar-benar datang, ambillah napas dalam, senyum, serta jawablah dengan tenang dan sesuai nilai kesopanan umum. Tak perlu marah atau sakit hati karena itu hanya akan menyakiti diri Anda sendiri.
Jika kamu tidak nyaman dengan pertanyaan itu, Anda berhak untuk mengungkapkan ketidaknyamanan tersebut. Ini bukan sikap yang egois karena tindakan itu tidak menyakiti orang lain.
Baca juga: Pemuda dalam Impitan Demografi dan Pandemi
Jika Anda memiliki energi lebih, kamu bisa bertanya kembali kepada mereka yang bertanya, apa sebenarnya yang mereka inginkan dengan pertanyaan itu. Bisa jadi mereka ingin mengenalkan para bujang dengan orang lain atau bisa juga sekadar omongan kosong.
”Jika mereka yang bertanya hanya ingin sekedar mem-bully (merundung), jawablah dengan menunjukkan prestasimu,” kata Argyo. Cara ini akan membuat para bujang yang belum menikah akan bisa lebih menghargai diri sendiri dan orang yang bertanya pun akhirnya bisa menghargai keputusanmu.
Pada akhirnya, apa pun pilihanmu, memantaskan diri lebih dahulu demi mewujudkan pernikahan yang benar-benar bahagia lahir batin atau memang tidak ingin menikah, dirimu tetap berharga. Kamu berhak bahagia atas pilihan hidupmu dengan cara yang kamu inginkan.
Baca juga: Pemuda Memikul Beban Berat Menghadapi Indonesia 2045