Jangan Lupakan Korban Yatim Piatu dan Difabel
Tragedi Kanjuruhan masih menyisakan sejumlah persoalan. Proses hukum yang sesuai dengan rasa keadilan korban serta pemenuhan hak sejumlah korban masih dinanti.
Tragedi Kanjuruhan yang merenggut 135 nyawa dan melukai sekitar 500 orang pada 1 Oktober 2022 telah setahun berlalu. Namun, peristiwa memilukan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, tersebut masih meninggalkan sejumlah pekerjaan rumah. Salah satunya ialah nasib anak yatim piatu dan korban yang menjadi penyandang disabilitas.
Selain pemenuhan hak-hak korban dan penegakan hukum yang dinilai belum memenuhi rasa keadilan korban, sejumlah pertanyaan masih tersisa. Bagaimana nasib anak-anak yatim piatu yang orangtuanya meninggal dalam tragedi tersebut? Bagaimana pula penanganan lanjutan bagi korban yang berisiko menjadi penyandang disabilitas?
Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada 44 anak meninggal dunia dan 212 anak mengalami luka berat, sedang, dan ringan akibat Tragedi Kanjuruhan. Data tersebut belum mencakup anak-anak yang menjadi korban tidak langsung, misalnya orangtua atau saudaranya meninggal/terluka sehingga mereka menjadi anak yatim piatu.
”Kondisi demikian mengakibatkan mereka berada dalam situasi rentan sehingga membutuhkan dukungan rehabilitasi psikososial yang berkelanjutan serta pemenuhan hak dasarnya, seperti pendidikan, hidup layak, dan kesehatan,” ujar Diyah Puspitarini, komisioner KPAI, pada Refleksi Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan, Jumat (6/10/2023), di Kantor KPAI Jakarta.
Baca juga: Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan dan Proses Hukum yang Belum Usai
Refleksi digelar KPAI bersama sejumlah lembaga hak asasi manusia (HAM) dan lembaga negara, yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Disabilitas (KND), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Melalui refleksi tersebut, KPAI dan lembaga HAM mengingatkan semua pihak yang terkait bahwa masih ada pekerjaan rumah yang belum tuntas pascatragedi tersebut. Dengan jatuhnya korban anak-anak, KPAI meminta PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) agar ke depan terdapat regulasi tentang pembedaan antara tiket dewasa dan anak-anak.
Pembedaan tiket tersebut penting sebagai upaya perlindungan terhadap anak. Diharapkan, bila terjadi kondisi yang tidak bisa dikendalikan, akan lebih memudahkan dalam pendataan.
PSSI juga diminta membuat mitigasi situasi darurat yang berlaku di seluruh Indonesia. Hal ini untuk pencegahan bila terjadi kondisi yang tidak dapat dikendalikan ataupun kerusuhan saat pertandingan berlangsung dan/atau pascapertandingan.
KPAI juga merekomendasikan agar Polri meninjau kembali Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian pada penggunaan gas air mata. Sebab, hal tersebut menjadi salah satu penyebab meninggalnya korban anak-anak.
Sementara bantuan sosial yang sesuai dengan tingkat kerugian yang dialami korban ataupun keluarga korban penting untuk memastikan pengobatan lanjutan pada perempuan dan anak-anak yang mengalami luka berat, sedang, dan ringan. ”Sejatinya, mereka berada pada situasi darurat sehingga perlu mendapatkan pendampingan psikososial dan juga pendampingan tingkat lanjut sehingga di kemudian hari mereka bisa tetap melanjutkan hidup,” tegas Diyah.
Selain anak yatim piatu, situasi dan kondisi perempuan korban Tragedi Kanjuruhan juga disoroti Komnas Perempuan. Pada Agustus 2023, ketika menemui sejumlah komunitas keluarga korban Kanjuruhan, Komnas Perempuan mendapatkan sejumlah informasi terkait situasi perempuan keluarga korban.
”Misalnya, ada seorang ibu yang kehilangan anaknya mengalami stres hingga berkeinginan bunuh diri. Setiap teringat anak, ia berkendara motor mengelilingi Kota Malang. Banyak orangtua korban yang kehilangan semangat hidupnya, seperti mencari nafkah dan bekerja, bahkan hanya untuk memasak,” papar Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan.
Tragedi Kanjuruhan meninggalkan duka nestapa bagi keluarga korban. Bahkan, sejumlah korban mengalami masalah mental yang serius dan memerlukan bantuan psikis dan pemulihan lainnya. Selain pemulihan para korban, Komnas Perempuan juga menemukan masih ada pendataan korban yang tumpang tindih oleh pemerintah daerah. Hal ini membuat layanan kurang terjangkau ke semua pihak korban.
Baca juga: Tim Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan Harus Fokus terhadap Korban
”Yang paling mendasar adalah akses atas keadilan bagi para korban. Bagaimana bisa ada putusan bebas walaupun dianulir, tapi tetap saja ringan. Ini sama sekali belum mencerminkan rasa keadilan, bahkan mencederai rasa keadilan korban,” ujar Anis Hidayah, komisioner Komnas HAM.
Karena itulah, Komnas HAM menyoroti secara tajam soal belum tuntasnya penegakan hukum dari Tragedi Kanjuruhan yang terjadi setahun lalu seusai pertandingan Arema FC melawan Persebaya. Bahkan, masih ada sejumlah persoalan terkait pemulihan korban.
Selain putusan pengadilan tidak mengatur atau menegaskan tanggung jawab pelaku dalam restitusi/rehabilitasi korban, juga layanan dan bantuan untuk pemulihan korban, termasuk layanan pemulihan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi, belum merata dan cenderung tidak tepat sasaran.
Supaya tidak berulang, maka harus ada reformasi sepak bola Indonesia. Tata kelolanya mesti dibongkar, tidak hanya aspek bisnis, tapi (juga) bagaimana mempertimbangkan prinsip HAM.
Begitu juga mekanisme penerimaan dan penyaluran bantuan terhadap korban masih sporadis, tidak terkonsolidasi, dan tergantung pada kelompok, organisasi, atau lembaga tertentu. ”Supaya tidak berulang, maka harus ada reformasi sepak bola Indonesia. Tata kelolanya mesti dibongkar, tidak hanya aspek bisnis, tapi juga bagaimana mempertimbangkan prinsip HAM, memperhatikan kelompok rentan, perempuan, dan anak penyandang disabilitas yang selama ini nyaris tidak dianggap hal yang penting,” tegas Anis.
Di stadion bukan cuma laki-laki
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengingatkan bahwa dari Tragedi Kanjuruhan, ada pembelajaran penting yang harus diingat. Ia mengatakan, tempat pertandingan sepak bola bukan cuma berisi laki-laki, tetapi juga ada satu keluarga yang bisa hadir, termasuk perempuan dan anak. ”Jadi, pentingnya ada perhatian pada kemanusiaan, termasuk pada perempuan dan anak,” kata Mariana.
KND mengingatkan soal korban dan keluarga yang menjadi penyandang disabilitas, agar ada jaminan dan intervensi khusus dari pemerintah terutama mengenai pembiayaan dalam upaya rehabilitasi medis, konseling, penyediaan alat bantu, dan terapi secara berkelanjutan.
Jadi, pentingnya ada perhatian pada kemanusiaan, termasuk pada perempuan dan anak.
Fatimah Asri Mutmainnah, komisioner KND, mengingatkan, anak-anak yang menjadi penyandang disabilitas perlu dukungan untuk keberlanjutan akses pendidikan inklusif sesuai kebutuhan dan perkembangan terbaik mereka. Hal ini termasuk dukungan alat bantu, media belajar, transportasi, dan pendampingan.
Dalam proses hukum, Wakil Ketua LPSK Susilaningtias mengungkapkan, LPKS memberikan perlindungan kepada 23 saksi dan korban serta memfasilitasi 58 korban atau keluarga korban untuk mengajukan hak atas restitusi. Ada sejumlah catatan LPSK selama pendampingan saksi dan korban, seperti adanya intimidasi terhadap keluarga korban dari oknum kepolisian ataupun orang tak dikenal. Bahkan, LPSK tidak diizinkan melakukan pendampingan terhadap salah satu pelapor saat gelar perkara.
Tantangan lain, berkas pengajuan restitusi untuk 41 orang keluarga korban yang dihitung oleh LPSK tidak dimasukkan pada berkas tuntutan. Kemudian, LPSK mengajukan permohonan restitusi pascaputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dari refleksi setahun Tragedi Kanjuruhan, pemeriksaan ORI juga menemukan tidak terdapat pihak yang merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan jumlah penonton sesuai dengan daya tampung stadion. Begitu juga soal perizinan dan standar operasional keamanan saat pertandingan, tidak jalan.
Johanes Widijantoro, anggota ORI, mengungkapkan, dari temuan ORI, kebijakan pemenuhan hak korban juga kurang terkoordinasikan. Selain bantuan pada korban tidak merata, termasuk dalam hal ini layanan kesehatan jiwa dan trauma healing yang terkonsentrasi di Malang Raya.
Tragedi Kanjuruhan seharusnya memberikan pelajaran berharga, ada kelompok rentan—perempuan dan anak—yang rentan menjadi korban dalam sebuah pertandingan olahraga. Semoga tragedi ini tidak akan terulang kembali di Indonesia.