Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan dan Proses Hukum yang Belum Usai
Keluarga korban tragedi Kanjuruhan bersama Aremania memperingati satu tahun peristiwa yang merenggut 135 nyawa dengan kegiatan doa bersama. Mereka menilai proses hukum yang berkeadilan belum terwujud.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
”Ya Allah…lapo anakku dipateni? Salah opo anakku?...(Ya Allah... kenapa anakku dibunuh? Salah apa anakku?),” pekik Rini Hanifa, seorang ibu korban tragedi Kanjuruhan, Agustiansyah Tole, sesaat setelah sampai di halaman Tribune Basket di kompleks Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (1/10/2023).
Rini yang masih dalam kondisi menangis—setelah sebelumnya sempat kolaps—terus dirangkul oleh beberapa ibu korban Tragedi Kanjuruhan yang lain, yang sebagian di antaranya juga masih dalam kondisi terisak. Mereka pun terus menguatkan mental sang ibu asal Pasuruan itu agar tetap kuat menghadapi kenyataan.
Sore itu, sekitar 30 keluarga korban Tragedi Kanjuruhan sengaja datang bersama ratusan Aremania untuk menggelar doa bersama setahun tragedi. Mereka long march dari Stadion Gajayana di Kota Malang yang berjarak 25 kilometer mengendarai sepeda motor.
Tragedi Kanjuruhan terjadi 1 Oktober 2022 lalu seusai pertandingan Arema FC melawan Persebaya dengan skor 2-3 untuk kemenangan Persebaya. Tragedi menewaskan 135 orang dan melukai lebih dari 500 orang lainnya.
Aremania dan keluarga korban meninggal berdoa bersama di pintu 13 saat peringatan satu tahun tragedi Kanjuruhan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (1/10/2023).
Begitu sampai di Kanjuruhan mereka membentangkan spanduk di pagar pembatas renovasi stadion dan kerangka teras pintu utama stadion. Berbagai poster bernada tuntutan akan penuntasan kasus ikut mewarnai. Mereka kemudian membacakan pernyataan sikap bersama Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan secara bergantian.
”Tidak ada keadilan di Indonesia. Genap satu tahun sudah 135 anak-anak rakyat yang mencintai sepak bola Indonesia dibunuh di rumah kami sendiri, Stadion Kanjuruhan. Kematian 135 jiwa akibat tembakan gas air mata aparat kepolisian dalam pertandingan sepak bola Arema FC-Persebaya,” kata Rini yang mendapat kesempatan pertama membacakan pernyataan sikap.
Peringatan diakhiri dengan membaca doa bersama di depan pintu 13 stadion. Pintu ini menjadi lokasi di mana terjadi banyak korban jiwa dalam tragedi itu. Meski kondisi stadion tengah direnovasi dan tertutup pagar, lokasi ini ternyata bisa datangi dengan akses memutar.
Tangis haru pun kembali pecah seusai doa-doa dilantunkan. Beberapa ibu tak kuasa menahan diri. Mereka berlama-lama mencium foto sang anak yang terpasang berjajar dalam satu bingkai berisi 135 korban jiwa seolah enggan terpisah.
Minggu malam, agenda dilanjutkan dengan doa bersama di depan Tribune Basket oleh beberapa komunitas dengan waktu bergantian. Gelaran yang sama juga dilakukan di sejumlah titik di luar stadion, seperti di depan Balai Kota Malang, Lawang, Karangploso, dan lainnya.
Sejumlah kegiatan memang dilakukan untuk mengenang satu tahun tragedi dengan jumlah korban terbesar kedua di dunia sepak bola itu. Sabtu malam, Aremania bersama warga juga mengadakan doa bersama lintas agama di Jalan Pattimura, Klojen, Kota Malang.
Selain pembacaan Yasin dan Tahlil juga dilaksanakan beberapa kegiatan sosial, seperti sunatan masal, santunan kepada anak yatim, pemeriksaan kesehatan, dan donor darah. Sementara keluarga korban juga menggelar doa di rumah masing-masing dengan mengundang tetangga sekitar.
Sebelumnya, sejumlah mahasiswa dan seniman juga menggelar pameran seni di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, 25-29 September. Mengambil tema ”Merawat Ingat Menolak Lupa” puluhan karya, mulai dari lukisan, puisi, sampai sketsa ditampilkan.
Pada akhir pameran diputar film dokumenter kronologi peristiwa pascalaga Arema FC dan Persebaya, termasuk lontaran gas air mata dari aparat yang jatuh ke arah tribune penonton. Juga film pendek perjalanan Miftahuddin Ramly alias Midun dari Malang menuju Jakarta menggunakan sepeda. Sebagai penutup, digelar diskusi yang menghadirkan keluarga korban tragedi.
”Kami masih kecewa berat dengan miskinnya keadilan di negeri ini. Setiap hari kita masih menangis, masih sakit hati, karena belum mendapat keadilan,” tutur Cholifatul Nur (40), salah satu orangtua korban tragedi Kanjuruhan, yang hadir pada diskusi. Orangtua tunggal itu kehilangan anak semata wayangnya, Jofan Farellino (15).
Sejumlah upaya telah ditempuh keluarga korban dalam setahun terakhir, mulai mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, dan Kantor Sekretariat Presiden, hingga melapor ke Kepolisian Resor Malang (laporan model B) dengan sangkaan pasal pembunuhan dan pembunuhan berencana.
Bambang Lismono (52), orangtua dari korban Putri Lestari (21), asal Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, mengatakan, dirinya masih prihatin dengan penegakan hukum yang terjadi. Dia pun berharap proses hukum tidak terhenti pada lima orang yang telah divonis. ”Fokusnya selesaikan dulu permasalahannya, baru setelah itu pemerintah merenovasi stadion atau apa, terserah,” katanya.
Aremania memenuhi lapangan Stadion Kanjuruhan pada peringatan satu tahun tragedi Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Minggu (1/10/2023). Banyak dari Aremania yang masuk merupakan penyintas dan masih mengalami trauma.
Sebelumnya, proses hukum baru menjerat lima orang yang telah divonis. Mereka adalah Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris, Security Officer Arema FC Suko Sutrisno, serta Komandan Kompi 1 Brimob Polda Jatim Hasdarmawan, Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan Kabag Ops Polres Malang Komisaris Wahyu S Pranoto.
Oleh Pengadilan Negeri Surabaya, Abdul Haris dan Hasdarmawan divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan Suko Sutrisno 1 tahun penjara. Sedangkan Bambang Sidik dan Wahyu S Pranoto divonis bebas. Namun, dalam kasasi di Mahkamah Agung (MA) Bambang dihukum 2 tahun, Wahyu 2 tahun 6 bulan, dan Abdul Haris menjadi 2 tahun penjara.
Daniel A Siagian Koordinator LBH Surabaya Pos Malang mengatakan pihaknya bersama keluarga korban akan mengajukan beberapa langkah hukum, salah satunya berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk menindaklanjuti soal legal opini tentang pelanggaran HAM berat Tragedi Kanjuruhan yang dibentuk Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan dan riset gas air mata yang harus ditindaklanjuti terkait dugaan pelanggaran HAM berat.
Daniel juga sudah berkoordinasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terkait proses penyelidikan di polres yang tidak menyertakan pasal soal kekerasan terhadap anak sehingga meninggal. Dia juga berkoordinasi dan mendesak Bareskrim Polri mengambil alih penghentian penyelidikan laporan model A di Polres Malang.