Mengurai Kompleksitas Pengakuan Hutan Adat Dalem Tamblingan
Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Bali masih terkendala terkait batas wilayah. Hal ini membuat mereka belum mendapat pengakuan atas hutan adatnya.
Masyarakat adat di berbagai wilayah telah ada jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai suatu negara. Bahkan, berbagai peninggalan sejarah seperti prasasti membuktikan bahwa mereka telah eksis dan menempati ruang hidupnya sejak ratusan tahun lalu.
Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT) di Buleleng, Bali, merupakan salah satu komunitas yang telah menempati ruang hidupnya di sekitar danau dan hutan sejak abad ke-9. Terdapat tiga prasasti yang menguatkan fakta keberadaan MADT, yakni prasasti Ugrasena (922 Masehi), Udayana (tanpa angka tahun, 991 M-1018 M), dan Suradipa (1119 M).
Pada akhir abad ke-14, leluhur MADT memutuskan untuk meninggalkan wilayah danau dan hutan mereka yang disebut Alas Mertajati. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelestarian hutan dan kesucian air danau sebagai sumber kehidupan yang telah memberikan kesembuhan. Sejak dahulu, Alas Mertajati adalah hutan penangkap air yang kemudian mengalirkannya ke tanah-tanah pertanian dan perkebunan di bawahnya.
Dari segi kebudayaan dan fakta lapangan, penetapan hutan adat Tamblingan akan membuat fungsi wilayah tersebut sebagai kawasan konservasi jauh lebih kuat dibandingkan fungsi yang ada sekarang, yakni taman wisata alam.
Seiring berkembangnya zaman, Danau Tamblingan dan Alas Mertajati mulai mengalami dinamika status pengelolaan hutan. Pada masa pemerintah kolonial Belanda tahun 1927, Tamblingan ditetapkan menjadi hutan wisata. Setelah merdeka, Pemerintah Indonesia menetapkan kawasan tersebut sebagai Taman Wisata Alam (TWA) dengan luas 1.336 hektar berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor144 Tahun 1996.
Sebagian besar masyarakat menilai perubahan status Alas Mertajati dan Danau Tamblingan menjadi TWA justru mengancam kelestarian kawasan yang disucikan MADT tersebut. Bahkan, hal ini juga akan membuka peluang bagi ekstraksi sumber daya alamkhususnya yang berasal dari investor untuk dijadikan wisata massal.
Sejak tahun 2015, terdapat tiga usulan usaha yang telah melalui izin dan pengesahan dari pemerintah pusat. Namun, sampai sekarang masyarakat masih tegas pada pendiriannya untuk menolak perluasan industri pariwisata di Alas Mertajati.
Salah satu upaya yang dilakukan MADT untuk mempertahankan ruang hidupnya adalah dengan mengajukan pengakuan Alas Mertajati sebagai hutan adat kepada pemerintah sejak 2019. Adanya pengakuan hutan adat ini akan membuat MADT dapat mengelola dan menjaga kelestarian ekosistem kawasan tersebut dengan lebih optimal.
Meski demikian, upaya pengakuan hutan adat ini juga tidak mudah karena berbagai faktor dan kompleksitasnya, termasuk terkait dengan pemetaan batas wilayah. Masyarakat lalu membentuk Tim 9 dengan salah satu fokus tugasnya adalah mengorganisasi pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh anak-anak muda MADT.
MADT telah melakukan pemetaan partisipatif yang mencakup pemetaan spasial, sosial-budaya, hingga potensi ekonomi. Masyarakat dengan dibantu Yayasan Wisnu juga telah menginventarisasi keanekaragaman hayati flora dan fauna di Alas Mertajati.
Ketua Tim 9 MADT Putu Ardana saat ditemui di Desa Gobleg, Buleleng, Bali, pertengahan September lalu, menyampaikan, empat desa adat telah menandatangani deklarasi bersama untuk meminta agar Alas Mertajati dijadikan hutan adat. Deklarasi juga menyetujui untuk menyerahkan pengelolaan hutan adat sepenuhnya kepada pengerajeg atau pemimpin adat.
Empat desa adat tersebut adalah Gobleg, Munduk, Gesing, dan Umajero di Kabupaten Buleleng. Meski secara administrasi terdapat perbedaan kecamatan, keempat desa ini sejak dulu merupakan satu kawasan dalam kesatuan wilayah Adat DalemTamblingan yang pada saat itu hingga kini atau dalam konteks adat berstatus sebagai banjar.
Segmen batas
Faktor lain yang menjadi kendala dalam pengakuan hutan adat MADT adalah terkait penetapan batas wilayah adat. Salah satu desa lain yang berbatasan dengan wilayah Adat DalemTamblingan sampai sekarang belum menyetujui segmen batas tersebut.
Berdasarkan administrasi, wilayah Adat Dalem Tamblingan seluas 7.015 hektar berbatasan dengan sembilan desa di tiga kecamatan dan satu kabupaten. Sembilan desa tersebut adalah Pujungan, Bengkel, Kayuputih, Kedawuh, Pancasari, Panji, Tegallingga, Wanagiri, dan Selat. Pujungan merupakan satu-satunya desa yang masuk wilayah Kabupaten Tabanan.
Baca juga: Ruang Hidup Masyarakat Adat Dalem Tamblingan Hadapi Tekanan
Putu menjelaskan, sebelum dirilis, proses penetapan segmen batas pada pemetaan partisipatif terlebih dahulu dilakukan melalui proses tumpang lapis (overlay) dengan peta milik Kementerian Dalam Negeri dan Tata Pemerintahan Kabupaten Buleleng. Hasil overlay ini memang menunjukkan adanya garis atau segmen batas yang tidak sama.
”Kami mengerjakan pemetaan partisipatif ini jauh lebih detail. Misalnya wilayah kami berbatasan dengan Desa Pujungan, maka kami juga meminta masyarakat Pujungan untuk ikut melakukan verifikasi batas dan mereka turut menandatangani berita acara. Ini juga berlaku untuk wilayah yang berbatasan dengan desa lainnya,” katanya.
Putu menegaskan bahwa mereka siap memperbaiki hasil pemetaan partisipatif apabila dianggap tidak sesuai dengan batas yang ditetapkan. Namun, pemerintah daerah (pemda) tidak hanya menyalahkan, tetapi juga seharusnya turut memfasilitasi proses perbaikan ini.
”Diskusi grup terfokus terakhir dengan DPRD dan beberapa perwakilan dari kementerian dua tahun lalu juga meminta agar Pemkab Buleleng bisa segera menindaklanjuti persoalan ini. Akan tetapi, sampai sekarang tidak ada tindak lanjut dari pemda,” ucapnya.
Ketua Pembina Yayasan Wisnu I Made Suarnatha mengatakan, Bali terdiri atas 1.493 desa adat dan beberapa wilayah adat sudah dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW). Oleh karena itu, semua desa adat diharapkan dapat segera membuat peta wilayah dan hal ini tengah disepakati oleh Majelis Desa Adat.
”Apabila berbicara peta, memang ada beberapa permasalahan di lapangan dan perbedaan persepsi antara pemda dan masyarakat. Terkadang wilayah ini disepakati melalui batas alam dan lainnya menggunakan kepemilikan lahan sebagai batas. Analisis ini terkadang yang membuat beda persepsi,” tuturnya.
Komitmen pemda
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo mengatakan, komitmen pemda untuk memfasilitasi dan menetapkan surat keputusan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya mempercepat pengakuan hutan adat. Di sisi lain, pemerintah pusat, khususnya setiap unit direktorat jenderal di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), juga perlu meningkatkan koordinasi untuk menyelesaikan usulan hutan adat di wilayah konservasi.
”Jadi, sebenarnya dari segi kebudayaan dan fakta lapangan, penetapan hutan adat Tamblingan akan membuat fungsi wilayah tersebut sebagai kawasan konservasi jauh lebih kuat dibandingkan fungsi yang ada sekarang, yakni taman wisata alam,” tuturnya.
Selama ini hambatan di tingkat daerah memang kerap terjadi dalam upaya pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya. Banyak pihak di daerah belum memahami proses dan prosedur verifikasi wilayah adat. Hambatan lainnya juga berkaitan dengan minimnya anggaran di pemda untuk program pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya.
Baca juga : Percepatan Pengakuan Wilayah Adat Butuh Komitmen Pemerintah Daerah
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Daerah Kabupaten Buleleng Gede Suyasa menyebut bahwa permohonan hutan adat dari MADT dari pemetaan ini sudah diusulkan sejak satu tahun lalu. Namun, bupati saat itu masih belum berani memberikan tanda tangan atau pengesahan karena masih memerlukan verifikasi.
”Usulan masih dikoordinasikan dengan lembaga yang mempunyai kewenangan tentang pembuatan peta, khususnya terkait deliniasi wilayah dengan desa yang berbatasan,” katanya.