Jalan Panjang Melarang Kantong Plastik Sekali Pakai
Tidak mudah mengurangi kantong plastik sekali pakai. Ada cerita perjuangan puluhan tahun lalu, bahkan sampai ke meja hijau.
Kantong plastik kresek yang kini jarang ditemui di beberapa ritel dan pasar di Indonesia tidak terjadi secara alami, terjadi begitu saja. Ada cerita perjuangan panjang sejak 13 tahun lalu yang kemudian melahirkan berbagai pro dan kontra di masyarakat, bahkan sampai ke meja hijau.
Tahun 2010, muncul kampanye diet kantong plastik dengan tagar #pay4plastic. Kampanye ini diinisiasi oleh Greeneration Indonesia yang mengajak masyarakat mengurangi penggunaan kantong plastik dan mendorong ritel menerapkan kantong plastik berbayar.
Kampanye ini diikuti oleh minimarket Circle K yang menerapkan harga Rp 100 untuk satu lembar kantong plastik kepada konsumen. Mereka juga mendorong konsumen untuk membeli tas belanja seharga Rp 25.000. Dana yang terkumpul digunakan untuk aksi bersih-bersih kota.
Sayangnya, kampanye ini tidak diikuti secara masif oleh perusahaan lain. Kemudian, pada 2013, adalah Tiza Mafira (39), seorang perempuan Jakarta yang gusar dengan sampah plastik di mana-mana, membuat Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP). Bersama teman-temannya, ia membuat petisi daring yang mendesak pengelola ritel untuk tidak lagi memberikan kantong plastik secara gratis.
”Ini bikin heboh tahun 2013, waktu itu saya suntuk di kantor, saya bilang kepada teman saya di Change.org bisa buat petisi ini tidak. Oke bisa. Change.org sudah tiada, tetapi legasinya dan dampak yang ditinggalkannya selalu ada,” kata Tiza.
Tiza tanpa henti mengirimkan surat elektronik kepada semua pengelola ritel tentang perkembangan petisi tersebut. Meski sangat jarang mendapatkan balasan, surat elektronik itu tetap saja mengusik para pengelola ritel untuk terlibat menyelamatkan lingkungan.
Jagat maya pun ”berisik”, ada yang mendukung, ada yang pesimistis dengan petisi bisa mengubah pola konsumsi plastik masyarakat. Namun, nyatanya, lebih dari 72.000 orang menandatangani petisi tersebut.
Tiga tahun berselang, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tergerak oleh petisi tersebut. KLHK lalu melakukan uji coba penerapan harga pada setiap kantong plastik di setiap ritel di 22 kota pada Februari sampai Mei 2016, dan diperpanjang enam bulan kemudian.
Kebijakan ini bukan tanpa halangan, penetapan harga pun berlangsung alot, pengelola ritel khawatir konsumen terbebani. Maka, tercapailah kesepakatan penetapan harga Rp 200 untuk setiap kantong plastik. Hasilnya, sampah plastik bisa dikurangi hingga 55 persen dan 91,6 persen bersedia membawa tas belanja sendiri dari rumah.
Dengan capaian itu, Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina berani mengeluarkan peraturan tegas yang melarang ritel dan toko modern menggunakan kantong plastik. Pemerintah Kota Banjarmasin juga membagikan tas belanja untuk mendorong perubahan perilaku warganya.
Harus kita akui, pengelolaan sampah belum selesai, tetapi kita sebagai negara besar, dalam satu dekade ini sudah banyak sekali metamorfosis yang terjadi.
”Banjarmasin waktu itu mengatakan ’tanggung sekali 200 rupiah, murah banget’. Tiba-tiba Banjarmasin inisiatif sendiri menjadi kota pertama di Indonesia yang melarang kantong plastik,” ucap penerima penghargaan UN Ocean Hero oleh United Nations Environment (2018) ini.
Gara-gara Pemkot Banjarmasin, sebanyak 22 pemerintah daerah yang sudah melakukan uji coba bersama KLHK kembali berkumpul. Mereka menggodok aturan hukum yang lebih kuat untuk melarang penggunaan kantong plastik. Adapun 22 daerah tersebut adalah Banda Aceh, Medan, Pekanbaru, Palembang, DKI Jakarta, Bandung, Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor, Semarang, Solo, Surabaya, Yogyakarta, Banjarmasin, Balikpapan, Makassar, Denpasar, Kendari, Ambon, Jayapura, dan Papua.
Baca juga: Perusahaan Didorong Ajak Karyawan Tak Gunakan Plastik Sekali Pakai
KLHK kemudian menyerahkan kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan sendiri dalam penerapan kantong plastik berbayar. Upaya ini menemui jalan terjal, Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) menggugat Peraturan Gubernur Provinsi Bali I Wayan Koster, yang saat itu menyusul Banjarmasin melarang kantong plastik, ke Mahkamah Agung.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai itu dinilai AGUPI bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juncto UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan UU Pemda Nomor 30 Tahun 2014.
Namun, Ketua Majelis Hakim MA Supandi, dengan anggota Yulius dan Yodi Martono, dalam sidang putusan pada 11 Juli 2019 memutuskan menolak semua gugatan perusahaan plastik dan justru menegaskan bahwa setiap pemerintah daerah berhak membatasi atau melarang penggunaan plastik sekali pakai di daerah masing-masing. Hasilnya, hari ini, 113 kota dan kabupaten sudah melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai.
”Harus kita akui, pengelolaan sampah belum selesai, tetapi kita sebagai negara besar, dalam satu dekade ini sudah banyak sekali metamorfosis yang terjadi. Mudah-mudahan tahun 2025, sebanyak 514 kabupaten/kota bisa menerapkannya,” kata Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar.
Perjuangan belum usai, fakta lain menunjukkan, 70 persen masyarakat Indonesia belanjanya ke pasar tradisional, sedangkan aturan yang ada baru melarang plastik di ritel. Sementara saat ini baru beberapa pasar tradisional di enam kota di Indonesia yang baru menggerakkan pasar tradisional bebas plastik. Enam kota itu adalah Jakarta, Bali, Bandung, Banjarmasin, Bali, dan Surabaya.
Selain itu, tas belanja sendiri yang biasa terbuat dari kain menjadi masalah sampah baru karena banyak masyarakat yang menggunakannya hanya beberapa kali saja, lalu dibuang. Maka dari itu, masyarakat didorong untuk menggunakan terus-menerus barang-barang tersebut sebagai substitusi plastik.
”Awalnya ini gerakan tidak realistis, ini seperti sebuah revolusi, bagaimana caranya kita membuat revolusi ini berhasil. Dan ternyata revolusi itu bisa, jangan pernah percaya kita tidak bisa menciptakan revolusi, apalagi kalau dilakukan bersama-sama,” ujar Tiza.
Baca juga: Sampah Plastik Kini Bisa Diubah Menjadi Sabun Mandi
Konsumen mendukung
General Manager of Corporate Affairs dan Sustainability Lion Super Indo Yuvlinda Susanta, yang terus-menerus menerima surat elektronik dari Tiza, menegaskan, pengelola ritel bukan tidak peduli lingkungan. Namun, dari segi bisnis, gerakan ini bisa mengancam karena kantong plastik gratis dianggap sebagai hak setiap konsumen.
”Ketika harus bayar, itu sesuatu yang ekstrem waktu itu, tetapi gara-gara email dari Tiza masuk terus, kami berpikir mungkin juga kami pelajari dan mencoba gerakan ini,” kata Yulvinda.
Sebelum ada gerakan ini, Superindo sebenarnya sudah menyiapkan pilihan tas belanja dan kardus bagi konsumennya. Ternyata, setelah diberlakukan kantong plastik berbayar, konsumen tidak terlalu keberatan, justru mendukung karena mereka juga merasakan keresahan yang sama pada sampah plastik.
Lebih jauh lagi, masyarakat bisa ikut menekan pelaku usaha untuk lebih peduli terhadap penanganan sampah kemasan dari produk yang dihasilkan. Karena saat ini terdapat kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha untuk bertanggung jawab terhadap sampah yang berasal dari produk yang mereka hasilkan yang dikenal dengan kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR).
Sampai sekarang, tercatat sudah ada 15 badan usaha yang telah menerapkan EPR dengan jumlah sampah terkurangi sebesar 1.145,5 ton. Pemerintah juga tengah melakukan pendampingan teknis peta jalan pengurangan sampah pada 353 badan usaha.