Eksepsi Pemerintah Ditolak, Sidang Kasus Gangguan Ginjal Akut Terus Berlanjut
Persidangan dilanjutkan demi mengungkap tragedi gangguan ginjal yang menewaskan ratusan anak akhir tahun lalu.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak seluruh keberatan atau eksepsi dari tiga instansi pemerintah bersama tiga perusahaan farmasi dan penyalur obat terhadap gugatan class action para keluarga anak-anak korban obat sirop beracun, Senin (2/10/2023). Persidangan dilanjutkan demi mengungkap penyebab tragedi gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) yang menewaskan ratusan anak pada akhir tahun lalu.
Dalam sidang dengan agenda putusan sela secara daring (e-court) dengan nomor perkara 771/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst ini, Ketua Majelis Hakim Yusuf Pranowo memutus, menolak semua eksepsi dari keenam tergugat dan melanjutkan perkara sampai putusan akhir. Keenam tergugat itu adalah Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Keuangan; serta dua perusahaan penyalur obat, PT Tirta Buana Kemindo dan CV Samudera Chemical; dan satu perusahaan farmasi, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry.
”Menolak eksepsi kompetensi dari tergugat I, tergugat IX, dan tergugat X; menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara ini; memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan persidangan; dan menangguhkan biaya perkara sampai putusan akhir,” demikian putusan sela yang terbit pada Senin (2/10/2023).
Kuasa hukum yang mewakili 41 korban GGAPA, Siti Habiba, mengatakan putusan sela yang diberikan oleh hakim sudah obyektif. Dia berharap para korban, baik yang sudah meninggal maupun yang masih berjuang, akan mendapatkan keadilan melalui sidang yang sudah berlangsung setahun ini.
”Tentu ini bukan perjalanan yang mudah, setelah ini masih ada proses pembuktian. Kami yakin melalui majelis hakim yang kompeten para keluarga korban akan mendapat keadilan,” kata Habiba, saat dihubungi, Senin (2/10/2023).
Habiba menegaskan, gugatan class action ini bukan sekadar menuntut uang kompensasi. Namun, proses hukum tetap diperlukan demi mengungkap tragedi obat sirop beracun dan perbaikan sistem kesehatan agar kejadian ini tidak terulang lagi di masa depan.
Dalam sidang ini, lima dari 11 tergugat dikeluarkan sebagai tergugat karena sudah mencapai kesepakatan damai setelah delapan kali mediasi dengan para korban. Sementara enam tergugat lainnya, termasuk tiga lembaga pemerintah itu, memilih melanjutkan perkara.
Santunan belum jelas
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengungkapkan, dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta pada Rabu (27/9/2023), Presiden Joko Widodo sudah memberikan arahan lanjutan mengenai besaran pemberian bantuan kepada korban GGAPA. Namun, sampai sekarang belum diungkap berapa besaran, kapan, dan teknis pemberian santunan tersebut.
”Presiden Joko Widodo telah menyetujui pemberian bantuan kepada para korban yang terdampak. Presiden berkenan memberikan santunan sebagai bentuk ikut berduka cita dan juga prihatin kepada para korban yang masih dapat diselamatkan, pemerintah turut berempati,” kata Muhadjir.
Mekanisme pemberian bantuan akan dilakukan melalui Kementerian Sosial dengan didukung data dari Kementerian Kesehatan, serta koordinasi dengan Kementerian Keuangan tentang alokasi anggaran yang dapat disalurkan.
Muhadjir memastikan, santunan akan diberikan kepada semua korban yang berjumlah 326 pasien di 27 provinsi yang tercatat di Kementerian Kesehatan. Sebanyak 204 korban meninggal akan mendapatkan santunan kematian, sedangkan 122 orang yang selamat mendapatkan santunan perawatan lanjutan dan biaya hidup.
Muhadjir menegaskan, santunan ini tidak akan berpengaruh pada proses peradilan yang ditempuh para korban di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Proses hukum terhadap industri yang terlibat kasus GGAPA ini juga akan segera diselesaikan kepolisian. ”Penegakan hukum harus tetap jalan agar betul-betul bisa memberikan rasa keadilan karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak mengenai obat-obatan,” tuturnya.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Jasra Putra mendesak proses realisasi santunan dan proses hukumnya dilakukan dengan cepat dan efisien. Sebab, kasus ini sudah berlangsung selama satu tahun, tetapi para korban belum mendapatkan keadilan, bahkan bantuan dari pemerintah.
”Saya kira sudah ada aturannya, ya, ketika terjadi pelanggaran hak anak untuk segera ditindak, apalagi dalam persoalan anak, aparat penegak hukum punya mandat dalam Undang-Undang Peradilan Pidana Anak ada kewajiban mempercepat prosesnya,” kata Jasra.