Dampak Lanjutan Mengintai Anak dengan Gangguan Ginjal Akut
Sejumlah anak yang mengalami gangguan ginjal akut progresif atipikal akibat paparan senyawa EG dan DEG hingga kini masih mengalami dampak lanjutan. Pemerintah diharapkan bisa memberikan kompensasi yang sesuai.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak-anak yang mengalami gangguan ginjal akut progresif atipikal akibat paparan senyawa etilen glikol dan dietilen glikol berisiko mengalami dampak lanjutan lainnya. Paparan kedua senyawa tersebut bisa mematikan serta merusak seluruh organ tubuh sehingga risiko kematian dan kecacatan pun amat tinggi.
Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinis Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Zullies Ikawati mengatakan, tingkat bahaya dari paparan senyawa etilen glikol dan dietilen glikol bergantung pada besarnya dosis serta kerentanan individu yang terpapar. Selain itu, dampak dari paparan tersebut juga bergantung pada organ tubuh yang sudah dipengaruhi.
”Pada dasarnya sifat keracunan dari senyawa ini memang bersifat sistemik. Artinya dapat memengaruhi seluruh tubuh, tidak hanya ginjal,” tuturnya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (15/7/2023).
Zullies menyampaikan, dampak paparan senyawa etilen glikol dan dietilen glikol pada tahap awal dapat menyerang sistem saraf pusat. Hal tersebut membuat risiko kematian menjadi tinggi. Pada sejumlah kasus kondisi itu bisa menimbulkan kecacatan, seperti lumpuh ataupun gangguan pernapasan.
Merujuk pada Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (Environmental Protection Agency/EPA), terdapat tiga tahap gejala keracunan dari paparan oral etilen glikol (EG). Pada tahap awal selama 30 menit-12 jam dari paparan EG, seseorang bisa mengalami gangguan sistem saraf pusat dan saluran pernapasan. Gejala yang terjadi, antara lain, sakit kepala, pusing, sakit perut, dan muntah.
Pada dasarnya sifat keracunan dari senyawa ini memang bersifat sistemik. Artinya dapat memengaruhi seluruh tubuh.
Setelah itu, tahap kedua terjadi selama 12-24 jam dari paparan EG yang menimbulkan efek pada paru-paru dan jantung. Gejalanya dapat berupa sesak napas, serangan jantung, bahkan meninggal.
Pada tahap ketiga, terjadi pada 24-72 jam sejak paparan EG terjadi. Jika pasien selamat dari tahap sebelumnya, gangguan akan terjadi pada fungsi ginjal. Itu ditandai dengan kondisi gangguan ginjal akut dan kencing berdarah. Pada kondisi ini, risiko kematian cukup tinggi. Selain itu, beberapa kasus ditemukan adanya gangguan saraf lanjutan.
Zullies menuturkan, senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dilarang untuk sengaja dimasukkan dalam obat ataupun makanan karena sifat racunnya yang tinggi. Namun, senyawa tersebut terkadang bisa menjadi cemaran dari bahan lain sehingga sulit untuk dihindari.
Pada kadar tertentu, paparan senyawa tersebut masih dinyatakan aman. Sesuai farmakope dan standar baku nasional yang diakui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ambang batas aman (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari.
Senyawa EG dan DEG bisa ditemukan sebagai cemaran dari senyawa propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan pada obat cair atau sirop. Cemaran EG dan DEG bisa disebabkan dari paparan lain selain dari cemaran konsumsi obat. Meski demikian, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menyatakan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) pada anak terjadi akibat cemaran EG dan DEG pada produk obat sirop.
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir mengatakan, pemerintah cenderung abai pada kondisi anak-anak yang mengalami gangguan ginjal akut. Penyakit tersebut telah menimbulkan dampak jangka panjang bagi anak-anak yang menjadi korban dari konsumsi obat yang tercemar. Akan tetapi, pemerintah hingga kini belum memberikan kompensasi apa pun bagi anak-anak yang terdampak. Upaya spesifik untuk melakukan pemulihan terhadap keluarga juga belum dilakukan.
Kementerian Kesehatan mencatat setidaknya ada 326 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal yang tersebar di 27 provinsi. Sekitar 200 kasus kematian di antaranya meninggal. Adapun usia yang paling banyak ditemukan dari kasus gangguan ginjal akut pada rentang usia 1-5 tahun.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan, pembiayaan untuk perawatan pasien GGAPA telah diatur mengikuti skema pembiayaan jaminan kesehatan nasional. Pemerintah juga telah memastikan ketersediaan antidotum fomepizole sebagai terapi untuk pasien.
Sementara terkait dengan kompensasi, ia menuturkan, hal itu hingga kini masih dalam pembahasan kementerian/lembaga terkait. ”(Kompensasi) masih dalam pembahasan. Usulan untuk itu sudah diajukan, tetapi masih dikaji aturan-aturan terkait antarkementerian,” katanya.