Korban Gangguan Ginjal Akut Tuntut Janji dari Pemerintah
Rencana santunan itu selalu terhambat birokrasi anggaran, padahal tragedi yang menewaskan ratusan anak ini sudah menggantung selama satu tahun. Anak yang selamat masih mengalami efek jangka panjang seperti kelumpuhan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keluarga anak-anak korban obat sirop beracun penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA putus asa mendengar wacana pemberian santunan oleh pemerintah yang tak kunjung mereka dapatkan. Rencana santunan itu selalu terhambat birokrasi anggaran, padahal tragedi yang menewaskan ratusan anak ini sudah menggantung selama satu tahun.
Kuasa hukum yang mewakili 41 korban GGAPA, Siti Habiba mengatakan, para korban kesal terlalu sering mendengar kabar akan diberikan santunan yang tak kunjung datang. Terutama, bagi anak selamat yang mengalami efek jangka panjang seperti kesulitan bicara, membutuhkan bantuan selang nasogastrik saat makan, hingga mengalami kelumpuhan.
"Kasus sudah berjalan satu tahun lebih, dari Juli tahun lalu sampai hari ini kita berada di September. Sangat lucu kalau hari ini pemerintah masih terus-terusan menggulirkan wacana santunan itu," kata Habiba di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (12/9/2023).
Selain itu, Habiba juga menyoroti istilah yang dipakai pemerintah sejak awal adalah santunan, bukan kompensasi atas dugaan kelalaian pemerintah mengawasi peredaran obat di masyarakat. Kata santunan, menurut Habiba, bisa berarti bantuan semata, bukan tanggung jawab atas tragedi yang menewaskan 204 korban meninggal dan 122 orang korban masih mengalami efek jangka panjang.
Jadi ada atau tidak adanya santunan yang diberikan pemerintah, itu seharusnya tidak akan menegasikan kasus perdatanya yang kami tempuh. Pemberian santunan dari pemerintah harus dilihat sebagai bentuk empati bukan tanggung jawab.
Dia juga khawatir, penggunaan kata santunan dapat berdampak pada gugatan bersama atau class action yang sedang berjalan di PN Jakarta Pusat. Sebab, dalam gugatan ini, keluarga korban yang meninggal menuntut kompensasi Rp 3 miliar per orang, sedangkan keluarga dari korban yang masih dalam pengobatan menuntut kompensasi Rp 2 miliar per orang.
"Jadi ada atau tidak adanya santunan yang diberikan pemerintah, itu seharusnya tidak akan menegasikan kasus perdatanya yang kami tempuh. Pemberian santunan dari pemerintah harus dilihat sebagai bentuk empati bukan tanggung jawab," ucapnya.
Ditemui terpisah, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengatakan, Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan untuk mempercepat pemberian santunan kepada para korban, baik yang meninggal ataupun yang masih pemulihan. Namun, perlu kehati-hatian dalam proses pemberian bantuan agar tepat sasaran dan tidak menyalahi aturan penggunaan anggaran.
"Masih terus sedang dikaji karena harus hati-hati, ini menyangkut penambahan anggaran dan orang atau korban calon penerimanya harus dipastikan dulu, tetapi bapak Presiden sudah menyetujui, tinggal bagaimana secara teknis agar sesuai dengan prosedur," kata Muhadjir di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Selasa (12/9/2023).
Rencana terakhir, proses penyaluran santunan akan dilakukan oleh Kementerian Sosial, tetapi waktu dan nilai santunan yang diberikan kepada para korban belum dipastikan. Pemerintah mengklaim santunan ini bentuk tanggung jawab pemerintah kepada korban GGAPA selain dari pelayanan BPJS Kesehatan, yang sejak awal kejadian sampai beberapa pasien rawat jalan tetap menerima manfaat secara penuh.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, menyebutkan bahwa semua biaya perawatan bagi anak yang masih berjuang tetap ditanggung negara melalui BPJS Kesehatan. Bahkan, dia mengupayakan agar beberapa tindakan medis bagi pasien GGAPA yang belum ditanggung BPJS bisa dibantu oleh negara.
"Nanti saya coba cek apakah itu bisa di-cover BPJS atau cukup dengan santunan satu kali itu. Kalau BPJS itu kan cover-nya ada di kita," kata Budi saat ditemui di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (11/9/2023).
Dalam sidang dengan agenda pembuktian hari ini, para korban menyerahkan sejumlah alat bukti kepada hakim. Mulai dari kartu keluarga, kartu tanda penduduk, sertifikat medis penyebab kematian, sertifikat keterangan kematian dari rumah sakit, rekam medis selama perawatan, akta kelahiran, akta kematian, hingga resep dokter dari fasilitas kesehatan tingkat 1 yang memberikan obat sirop beracun tercemar senyawa etilen glikol dan dietilen glikol.
Gugatan class action dengan nomor perkara 771/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst ini bukan sekadar menuntut uang kompensasi. Namun, proses hukum tetap diperlukan demi mengungkap tragedi obat sirop beracun dan perbaikan sistem kesehatan agar kejadian ini tidak terulang lagi di masa depan.
Dalam sidang ini, lima dari 11 tergugat dikeluarkan sebagai tergugat karena sudah mencapai kesepakatan damai setelah delapan kali mediasi dengan para korban. Sementara enam tergugat lainnya, termasuk tiga lembaga pemerintah, memilih melanjutkan perkara.
Keenam tergugat itu adalah Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Keuangan; dua perusahaan penyalur obat, PT Tirta Buana Kemindo dan CV Samudera Chemical; serta satu perusahaan farmasi, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry.